"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 29
Mentari pagi menyinari SMA Nusa Tenggara, cahaya keemasannya menerobos jendela kelas XII IPA 2. Dirga, putra kesayangan sekolah yang juga pembalap handal, melangkah mantap menuju kelas Senja. Ia ingat senyum Senja yang ia lihat sekilas saat balapan bulan lalu, sebuah pemandangan yang terus menghantuinya. Hari ini, ia akan menyatakan perasaannya.
"Lo yakin, Gal, kalau Dirga nggak cuma main-main sama Senja?" tanya Radit, raut wajahnya penuh keraguan.
Galih, sahabat Dirga sekaligus kakaknya senja, menjawab dengan keyakinan. "Yakin lah. Lo kan tahu Dirga kayak apa. Dia nggak pernah main-main sama ucapannya."
Mereka berdua mengamati Dirga dari kejauhan. Dirga keluar dari kelasnya dengan santai, namun sorot matanya menunjukkan tekad yang kuat.
Kehadiran Dirga di kelas XI IPA 1 langsung menimbulkan kehebohan. Bisikan-bisikan memenuhi ruangan.
"Kak Dirga ke sini nyari gue, ya?" Salah satu teman Senja bertanya, suaranya bergetar karena gugup.
"Gak mungkin, dia pasti nyari gue!" Teman Senja lainnya menjawab dengan penuh percaya diri.
Caca, gadis populer tapi dulu bukan sekarang yang juga menyimpan rasa pada Dirga, terpaku. Dirga, most wanted sekolah, datang ke kelas Senja? Ini kesempatannya! Dengan langkah penuh percaya diri, ia menghampiri Dirga.
"Minggir semua! Kak Dirga nyari gue, bukan kalian! Ya kan, Kak Dirga?" Caca berkata dengan suara menggoda, mencoba menarik perhatian Dirga.
Para siswi lain langsung menatap Caca dengan tajam.
"Bukannya lo pacaran sama Hendra?" Salah satu teman Caca bertanya, suaranya terdengar sinis.
"Gue sama Hendra udah putus," jawab Caca, suaranya sedikit gemetar.
"Hendra, lo beneran udah putus sama Caca?" Lili, teman sekelas Senja, menanyakan hal yang sama kepada Hendra.
Hendra, yang sedang asyik berbincang dengan Senja dan dua sahabatnya, mengangguk. Ia bersyukur persahabatannya dengan Senja kembali pulih. Ia berjanji tak akan mengecewakan Senja lagi. Ia juga tahu, Dirga menyimpan perasaan pada Senja.
Caca mencoba meraih tangan Dirga, namun Dirga menghindar. Tatapannya dingin, menunjukkan ketegasan.
"Gue datang ke sini mau cari Senja, bukan kalian! Termasuk lo. Sorry, gue nggak kenal lo," ujar Dirga dingin, lalu menghampiri Senja dan teman-temannya. Ia duduk di samping Senja, detak jantungnya berdebar kencang.
Amarah membuncah dalam dada Caca. Bukan hanya karena ditolak mentah-mentah oleh Dirga, tapi lebih karena Dirga—Dirga yang selama ini ia anggap sebagai miliknya—terlihat begitu perhatian pada Senja. Ia merasa ada sesuatu yang menghalanginya, sesuatu yang membuatnya tak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan sesuatu itu adalah Dirga.
"Brengsek!" Umpatan itu lolos dari bibir Caca, suaranya teredam oleh amarahnya sendiri. Ia mengepalkan tangannya, kuku-kukunya menancap kuat ke telapak tangan. Ia tak terima. Ia tak terima jika Dirga menghampiri senja.
Caca bukanlah tipe gadis yang mudah menyerah. Ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Senja bagaikan tembok kokoh yang tak bisa ia tembus. Dirga, yang seharusnya menjadi senjata ampuhnya, justru menjadi penghalang. Ia merasa terjebak dalam permainan yang rumit, permainan yang membuatnya frustasi dan marah.
Pikirannya berputar-putar, mencari cara untuk menyingkirkan Senja dari hadapannya. Ia tak akan membiarkan Senja merebut Dirga begitu saja. Ia harus melakukan sesuatu, meski itu berarti harus bermain curang. Amarahnya berubah menjadi tekad yang membara. Ia akan membuat Senja menyesal telah menghalanginya. Ia akan membuat Senja merasakan bagaimana rasanya dikalahkan, merasakan bagaimana rasanya patah hati. Senja akan membayar semua ini. Caca bersumpah.
_______
Dirga mengatur napas, mencoba menenangkan debar jantungnya yang bergemuruh. Ia duduk di samping Senja, jarak mereka hanya sejengkal. Aroma rambut Senja, harum samar seperti bunga melati, menghiasi indra penciumannya. Ini adalah momen yang telah lama ia nantikan.
"Hai," sapa Dirga, suaranya sedikit serak. Ia berusaha bersikap santai, namun tangannya sedikit gemetar.
Senja tersenyum, senyum yang membuat jantung Dirga berdebar lebih kencang. "Hai juga," jawab Senja, suaranya lembut.
"Lagi ngapain?" tanya Dirga, mencoba memulai percakapan.
"Nugas," jawab Senja singkat, matanya masih tertuju pada buku di hadapannya.
"Nugas apa?" Dirga berusaha mendekatkan diri.
"Matematika," jawab Senja, suaranya terdengar sedikit malas.
"Susah ya?" Dirga mencoba mencari celah untuk memulai pembicaraan yang lebih intim.
Senja mengangguk. "sedikit ."
"Gue bisa bantu kok, kalau lo mau," Dirga menawarkan bantuannya, mencoba menunjukkan ketulusannya.
Senja mengangkat wajahnya, menatap Dirga dengan tatapan yang sulit diartikan. "Beneran?"
Dirga mengangguk mantap. "Beneran. Gue kan jago matematika." Ia tersenyum, mencoba membuat suasana lebih cair. Ia berharap, kesempatan ini bisa ia manfaatkan untuk lebih dekat dengan Senja. Ia ingin Senja tahu, bahwa ia tulus menyukainya. Ia ingin Senja merasakan ketulusan cintanya.
Hendra dan kedua sahabat senja geregetan dengan percakapan mereka itu.
Nadira, yang sudah cukup lama mengenal Dirga, mengelengkan kepala. "Astaga, Kak Dirga, bisa nggak menyapa dengan mesra? Jangan kayak gitu dong," ujarnya, suaranya terdengar sedikit menggoda.
Dirga, yang sedang berusaha keras untuk bersikap tenang, langsung mengerutkan dahi. "Bisa diem nggak lo, Cil?" ketusnya, suaranya sedikit keras.
Dinda, teman Senja yang lain, ikut nimbrung. "Kakak itu seharusnya bilang, 'Selamat pagi, Senja yang cantik. Udah sarapan belum?'" Ia menirukan gaya bicara yang lebih romantis, membuat Hendra tertawa.
Hendra memang hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabat Senja itu. Senja sendiri tampak tenang, tak terusik oleh canda mereka. Ia kembali fokus pada buku pelajarannya, mencoba mengabaikan kehebohan di sekitarnya.
Dirga menghela napas. Ia menyadari bahwa percobaannya untuk bersikap romantis agak gagal. Ia kembali mencoba, kali ini dengan lebih hati-hati. "Senja," panggilnya, suaranya lebih lembut kali ini. "Pagi."
Senja mengangkat wajahnya, menatap Dirga dengan tatapan yang masih sulit diartikan. "Pagi," jawabnya singkat.
Dirga melanjutkan, "Lo udah sarapan?" Pertanyaannya terdengar lebih sederhana, tanpa embel-embel pujian yang berlebihan. Ia menyadari bahwa pendekatan yang terlalu agresif justru akan membuat Senja merasa risih. Kali ini, ia memilih untuk bersikap lebih natural, lebih tulus. Ia berharap, ketulusannya bisa tersampaikan kepada Senja.
Ia ingin Senja tahu, bahwa ia benar-benar menyukainya, bukan hanya sekedar main-main. Ia menunggu jawaban Senja, menunggu kesempatan untuk lebih dekat dengan gadis yang telah berhasil mencuri hatinya.
Hendra, yang tak kuasa menahan tawanya, akhirnya berkomentar, "Bener-bener garing deh, Kak. Gue serius." Dirga hanya bisa manyun, merasa sedikit malu.
Nadira, yang tak bisa lagi menahan diri, menambahkan dengan nada mengejek, "Dasar si Muka Kulkas! Tauran nomor satu, tapi nggak tahu cara deketin cewek!" Ia lalu menarik tangan Hendra dan Dinda, meninggalkan Dirga dan Senja berdua di dalam kelas.
Kepergian ketiga sahabat Senja itu meninggalkan keheningan. Hanya suara bisik-bisik temannya yang terdengar. Dirga menatap Senja, merasakan sedikit kegugupan. Ia gagal membuat kesan yang baik. Ia merasa bodoh karena gagal bersikap romantis di depan Senja. Ia menghela napas panjang, kemudian mencoba lagi.
"Maaf," katanya, suaranya terdengar tulus. "Gue nggak pandai merayu." Ia tersenyum kecil, mencoba meredakan suasana tegang. "Tapi gue serius sama lo, Senja."
Senja menatap Dirga, tatapannya masih sulit diartikan. Ia tak langsung menjawab, tak langsung menunjukkan perasaannya. Ia hanya diam, menatap Dirga dengan tenang. Dirga menunggu, menunggu respon dari Senja. Ia tahu, ini adalah momen yang menentukan. Momen yang akan menentukan kelanjutan kisah perasaannya pada Senja. Ia berharap, Senja bisa menerima ketulusannya, menerima dirinya apa adanya. Ia menunggu, dengan jantung yang berdebar kencang. Keheningan di kelas itu terasa begitu panjang, menguji kesabaran dan keteguhan hatinya.
gimana endingnya kedepannya, karena senja juga terkenal cuek begitu pun dengan Dirga yang dingin dan tidak pernah dekat sama seorang perempuan..
!!!!
gak tau diri bgt sihhh loe cha