Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.
Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
" Hidup Dan Seseorang "
bandara soekarno-hatta, 06.10 pagi.
Langit Jakarta masih menggeliat malas, menyisakan sisa embun tipis di jendela-jendela kaca terminal. Tapi di dalam, lantai sudah ramai dengan langkah tergesa. Suara roda koper menyeret lantai granit, bercampur dengan nada-nada pengumuman dari speaker yang serak. Bau kopi dari gerai pojok menguar, bertabrakan dengan aroma parfum mahal—dan sedikit bau tubuh manusia yang bangun terlalu pagi.
Di antara keramaian itu, mereka berdiri.
Johan dan Liana.
Dua manusia, dua tiket kelas bisnis, satu tujuan: Paris.
Tapi tak ada yang terasa mewah dari keduanya.
Tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Bahkan senyum pun nyaris tak muncul.
Hanya dua sosok yang berdiri berdampingan, seperti dua titik di akhir kalimat yang terlalu panjang.
Johan menunduk, menatap tiket di tangannya.
Kursi 3A dan 3B. Bersebelahan. Tapi pikirannya tak ada di sana.
Entah tertinggal di rumah, entah terbang ke rute-rute kenangan.
Atau mungkin sedang menyusuri jalur jantungnya sendiri yang berdetak tak karuan sejak tadi.
Mungkin karena gugup. Mungkin karena Liana berdiri terlalu dekat.
Liana mengenakan hoodie biru kebesaran. Tudungnya diturunkan, rambutnya dikuncir asal, dan ada ransel kecil yang menggantung di punggungnya. Ia berdiri dekat jendela kaca besar, memandangi tubuh pesawat yang terparkir di luar sana.
Pesawat itu berkilau terkena cahaya matahari pagi. Hangat, tapi tak menghibur. Seperti masa depan yang belum tentu ramah, tapi tetap ingin dijemput.
“Ini pertama kalinya aku naik pesawat,” ucapnya pelan.
Nadanya datar. Tapi bukan karena takut. Juga bukan gugup.
Hanya kalimat polos dari seorang gadis yang jujur pada dunia.
Johan menoleh. Matanya menatapnya sebentar, lalu berkata, “Langsung ke Paris. Kamu kelewat semua tahap normal.”
Liana tersenyum. Sebentar. Tapi cukup untuk mengubah suhu sekitar mereka.
Seperti ada musik latar yang pelan-pelan mulai terdengar.
Seperti ada embun yang menguap dan menjadi udara.
Beberapa menit sebelum lepas landas.
Kabin pesawat dipenuhi suara samar: ritsleting dibuka, sabuk pengaman diklik, obrolan pelan dari penumpang yang masih mencari tempat duduk. Aroma plastik baru, kain jok, dan wangi samar parfum kru menyatu dengan hawa AC yang dinginnya seperti kabut tipis.
Dari kursi 3A, Liana duduk diam. Ransel kecil warna krem didekap di pangkuan. Sabuk pengaman sudah terpasang, dua kali dicek ulang. Ia tidak bicara banyak. Hanya pandangannya yang sibuk berpindah dari jendela bundar di sebelahnya, ke langit mendung yang mulai memudar jadi biru pucat.
Johan duduk di 3B. Bahunya nyaris bersentuhan dengan Liana, tapi mereka tetap menjaga jarak diam yang entah kenapa justru terasa akrab. Johan sempat melirik ke arah jendela, lalu ke Liana yang masih mencengkeram tasnya seolah benda itu bisa menyelamatkan dari apa pun yang akan datang.
“Kamu oke?” tanyanya pelan.
Liana mengangguk cepat. “Oke… cuma jantung aku kayak drum metal.”
Johan menahan tawa. “Nanti juga jadi akustik, tenang.”
Lalu terdengar suara dari speaker kabin:
“Selamat pagi, para penumpang yang terhormat…”
Suara itu datar tapi jelas, seperti rekaman, namun terasa akrab karena telah didengar banyak orang sepanjang hidup mereka. Lalu dua pramugari muncul di tengah lorong senyumnya lembut, gerakannya terlatih.
Satu berdiri tak jauh dari mereka. Matanya ramah, tubuhnya tegak, dan tangannya mulai memperagakan cara mengenakan sabuk pengaman. Klik. Dibuka. Ditarik. Dilepas.
Liana memperhatikan. Bibirnya tak bergerak, tapi matanya mencatat. Ia bahkan mencubit tali sabuknya sendiri, memastikan sudah seperti yang diperagakan.
Lalu pramugari itu menunjukkan masker oksigen. Menariknya dengan gerakan perlahan, memasangkannya di wajah, lalu menekankan pentingnya memakai masker sendiri sebelum menolong orang lain. Tangannya cekatan. Tenang. Seperti penari yang sudah hafal setiap irama.
“Jo…” bisik Liana tanpa mengalihkan pandangannya dari pramugari. “Kamu apal nggak prosedur darurat itu?”
“Setengah apal,” sahut Johan pelan. “Tapi kalau panik, ya blank juga.”
Liana mendecak pelan. “Jangan bilang kamu lebih milih nyelametin laptop daripada aku.”
“Lho? Kalau laptopnya ada datamu juga, kan harus diselametin dua-duanya.”
Dia nyengir. Liana mencibir, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
Pramugari kini memperagakan pelampung keselamatan. Ditarik dari bawah kursi. Dipasang. Dipompa. Ditiup lewat dua sisi.
Liana berbisik lagi, “Kenapa ya aku deg-degan banget padahal belum ngapa-ngapain?”
“Karena kita manusia. Gampang takut sebelum mulai, gampang kangen sebelum pergi.”
Senyap sejenak. Kemudian terdengar suara mesin menyala. Perlahan-lahan getarannya terasa di lantai, menjalar ke sandaran kursi, hingga ke tangan Liana yang kini mengepal di atas tasnya.
Saat pesawat mulai bergerak ke landasan, Johan sempat melirik—dan melihat betapa jujurnya ketegangan di wajah Liana. Tapi juga betapa beraninya dia menahan itu semua tanpa berpura-pura.
Roda menggelinding cepat. Pesawat melaju. Raungan mesin makin keras. Liana menahan napas, lalu menoleh ke jendela saat pesawat mulai terangkat. Wajahnya nyaris menempel ke kaca bundar itu.
“Jo! Kita beneran terbang!” bisiknya, matanya berbinar seperti anak kecil melihat kembang api pertama kalinya.
“Kirain kamu pikir ini simulator?” Johan menggodanya.
Tapi Liana tak menjawab. Ia terlalu sibuk menatap ke bawah—daratan yang mengecil, mobil-mobil yang jadi titik, dan rumah-rumah yang terlihat seperti mainan.
“Liat tuh… semua kayak peta 3D. Eh, itu jalan tol ya? Gila, setinggi ini kita, tapi rasanya kayak… mimpi.”
Johan mengangguk, tapi matanya lebih lama menatap Liana.
Ketika pesawat mulai stabil di udara, lampu sabuk pengaman padam dengan bunyi ting. Liana bersandar. Bahunya melepas ketegangan yang tadi digenggam erat.
Dia menarik napas. Lalu menoleh.
“Jo…”
“Hm?”
“Dari atas sini, bumi kelihatan damai banget, ya.”
Johan tersenyum kecil. “Kenapa?”
“Soalnya gak kelihatan orang-orang yang saling teriak.”
Diam sebentar. Tapi bukan diam yang kosong. Diam yang mengendap di dada.
“Kamu bisa jadi penulis, tahu nggak?” ujar Johan pelan.
Liana mengerutkan dahi. “Ya bisa dong. Anak siapa dulu,” ucapnya bangga. “Anaknya Papa Pandu, hehe. Tapi kamu yang nerbitin, ya.”
Johan tertawa. Bukan karena lucu. Tapi karena senang. Karena nyaman. Karena, mungkin, dari ribuan kaki di atas tanah ini, mereka sedang turun perlahan ke hal yang lebih dalam dari sekadar percakapan.
Beberapa menit kemudian, pramugari datang mendorong troli makanan, senyumnya tetap terjaga meski mungkin ini sudah penumpang ke seratus.
“Madame, would you like chicken or beef?” tanyanya ramah sambil menatap Liana.
Liana langsung menoleh ke Johan tanpa pikir panjang.
“Aku ikut dia aja,” katanya sambil menunjuk Johan.
Pramugari tersenyum, menunggu jawaban Johan. Johan menoleh, dahi sedikit berkerut.
“Kenapa selalu ikut aku, sih?”
Liana mengangkat bahu santai. “Soalnya aku nggak ngerti menu Prancis. Tapi kalau kamu keracunan, aku keracunan bareng. Kita tim.”
Pramugari yang mendengar itu sempat terdiam sebentar, lalu tertawa kecil, tak bisa menahannya.
“Well, that’s one way to build trust in a relationship,” katanya sambil tersenyum lebar.
Johan hanya menggeleng pelan. “Tapi ini menu Indonesia.”
Liana membelalak. “Hah?! Kirain ‘beef’ itu singkatan dari ‘bouef-something’ yang susah dieja. Ternyata sapi biasa?!”
Pramugari menahan tawa lagi, menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menyerahkan nampan.
“Sapi biasa, tapi disajikan dengan cinta, Madame.”
Liana tertawa, mengambil makanannya. “Nah, itu yang penting. Cintanya.”
Johan cuma bisa tersenyum lebar melihat tingkah lugu Liana.
Paris, sore hari.
Langit Paris tampak kelabu pucat. Bukan kelabu muram, melainkan kelabu dingin yang menyelimuti kota tua dengan angin dari utara. Awan menggantung rendah, seolah malas bergerak, dan udara musim dingin langsung menyergap kulit saat pintu pesawat terbuka.
Begitu kaki mereka menginjak lantai lorong kedatangan, lantai granit mengilap memantulkan langkah sepatu penumpang yang terburu. Liana menarik resleting jaketnya sampai leher, tangannya menggenggam erat tali ransel, sementara napasnya mulai terlihat mengepul tipis. Suara roda koper beradu dengan lantai, terdengar nyaring di antara pengumuman berbahasa Prancis yang melayang dari speaker.
Mata Liana sibuk menyapu sekitar: papan informasi digital yang berkedip cepat dalam bahasa asing, wajah-wajah bule dengan coat tebal dan langkah pasti, serta bau kopi, parfum mahal, dan logam yang tak biasa. Semuanya terasa asing, tapi entah kenapa… juga menyenangkan.
Lalu, di balik sekat kaca besar yang memisahkan zona steril dengan ruang tunggu, ada seseorang yang melambaikan tangan. Tangan yang hangat—bahkan dari jauh terasa seperti milik seseorang yang pernah dikenal lama.
“Monsieur Johan!” seru pria itu lantang, dengan aksen Prancis yang tebal tapi hangat, seperti suara dari film-film klasik yang dulu Johan tonton sambil makan mi instan malam-malam.
Sosok jangkung itu mengenakan coat panjang hitam, syal abu-abu melilit rapi di leher, dan sepatu kulit yang dipoles mengilap. Tangannya memegang papan sederhana bertuliskan: Welcome, Johan & Liana.
Johan tersenyum. Bukan senyum basa-basi. Tapi senyum yang tumbuh dari ingatan yang dalam, dari masa yang tak selalu sempat dituliskan.
“Pierre,” ucap Johan, menyalaminya dengan pelukan singkat—hangat, tanpa banyak kata. Pelukan seperti itu hanya milik dua orang yang pernah melewati badai yang sama, meski di benua berbeda.
Pierre lalu membungkuk sopan ke arah Liana, matanya lembut, gerak-geriknya penuh kehormatan.
“Enchanté, Mademoiselle. Bienvenue à Paris,” ucapnya, suaranya dalam seperti gesekan cello.
Liana refleks membulatkan mata. “Eh... iya... saya juga... eh, merci? Eh, dia ngomong apa, Jo?”
Ada kerutan di keningnya, lucu dan jujur. Antara bingung, kagum, dan geli dengan dirinya sendiri. Liana memang sudah cukup lihai dalam bahasa Inggris hasil perjuangan di sekolah paket C yang selalu semangat ke sekolah. Tapi ucapan pria itu terasa seperti alunan puisi asing dari planet lain.
Johan tertawa pelan, menoleh padanya. “Dia bilang senang bertemu kamu, dan... selamat datang di Paris.”
“Oh.” Liana mengangguk pelan, pipinya merah. Bukan karena dingin, tapi karena malu yang manis.
Dia menarik napas dalam, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru bandara. Semuanya terasa seperti film. Seperti buku cerita yang tiba-tiba punya aroma nyata.
Lalu Johan menepuk bahu Pierre. “Pierre, this is Liana. First time abroad. Be kind.”
Pierre menatap Johan, lalu menatap Liana, lalu mengangkat kedua tangannya seperti hendak bersumpah di altar gereja.
“Ah, mais bien sûr!” katanya dengan dramatis. “I will treat her like a princess.”
Dan memang, Pierre menepati janjinya.
Di luar terminal, sebuah sedan hitam mengilap menunggu di bawah langit Paris yang masih diselimuti kabut tipis. Pelat nomor mobil itu berkilau terkena cahaya lampu jalan. Begitu pintu dibuka, udara hangat dari pemanas langsung menyambut, membungkus tubuh mereka seperti selimut yang lembut. Dari speaker, terdengar lagu klasik Prancis: suara lembut Édith Piaf mengalun lirih, menyatu dengan bunyi gesekan roda koper yang mulai menjauh.
Di kursi belakang, dua selimut tipis berbahan wol tertata rapi, dan di antara mereka terletak sebuah kotak kecil berhias pita merah—isi dalamnya: macarons warna-warni, manis dan harum, seolah baru keluar dari toko roti Saint-Germain.
Liana duduk di sebelah jendela, membuka sedikit kaca mobil. Udara dingin Paris masuk perlahan—bau asap rokok dari pejalan kaki di trotoar, bau roti dari boulangerie yang baru buka, dan sedikit aroma tanah lembap khas kota tua.
Wajahnya masih penuh kagum, seperti anak kecil yang baru melihat dunia dari balik jendela kaca mainan.
“Paris kayak… kota dongeng,” gumamnya pelan, nyaris seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Pierre mendengar dari kursi depan, tersenyum lewat kaca spion. “Wait until you see Eiffel at night, Mademoiselle. Then you’ll really believe in magic.”
Perjalanan ke hotel hanya tiga puluh menit, tapi bagi Liana, itu terasa seperti film pendek tanpa dialog penuh adegan cantik yang terus berganti.
Ia menempelkan dahinya ke kaca mobil, matanya tak lepas dari pemandangan: toko-toko kecil dengan lampu kuning temaram, café dengan payung-payung merah yang masih kosong, dan jalan-jalan berbatu yang terasa seperti lembaran puisi.
“Itu Sungai Seine ya, Jo? Ih, romantis banget. Eh, itu menara apa tuh? Kok kayak jam raksasa? Tapi kok keren banget?”
Johan menjawab satu per satu dengan sabar, senyumnya tak lepas.
Seperti guru yang sedang menjelaskan buku dongeng pada murid yang benar-benar ingin tahu.
“Yang itu Menara Saint-Jacques… dan itu, Notre-Dame. Iya, itu sungai Seine. Dan ini… adalah kamu yang lagi jatuh cinta sama kota.”
Liana menoleh cepat. “Eh?! Aku jatuh cinta sama… suasananya, bukan kamu, tahu!”
“Katanya belum ditanya,” balas Johan cepat, suaranya pelan tapi nakal.
Pierre mendengarnya. Ia pura-pura batuk kecil di depan, tapi tidak bisa menahan tawa yang nyaris meledak. “Ah, young love… so easy to spot.”
Akhirnya mereka tiba.
Hotel bintang lima di tepi Sungai Seine. Pintu kaca otomatis terbuka, menyambut mereka dengan aroma kayu manis dari diffuser dan kemewahan yang tenang. Di dalam lobi, langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal berkilauan. Bellboy langsung menyambut, membungkuk, lalu mengambil koper mereka dengan cekatan.
Sebelum Liana sempat berkata “wow,” lift emas sudah membawa mereka ke lantai atas. Dan saat suite dibuka…
Sebuah ruangan luas dengan dua kamar terhubung, dipisahkan pintu geser. Jendela kaca besar terbuka ke arah Sungai Seine, lengkap dengan balkon kecil dan dua kursi rotan. Tirai linen putih melambai ditiup angin, membawa aroma air sungai dan daun maple dari taman di seberang.
Liana berdiri diam. Nafasnya menggantung. “Ini kayak di film,” bisiknya, setengah tak percaya. “Tapi... aku di dalamnya.”
Pierre menyerahkan sebuah map kulit hitam berisi jadwal pertemuan bisnis Johan, lalu merapikan syalnya, bersiap pamit. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia berhenti sejenak, menatap Johan dengan senyum licik khas sahabat lama.
“Oh, by the way,” katanya ringan, “I cancelled your dinner meeting tonight.”
Johan langsung memicingkan mata. “Why?”
Pierre mengangkat bahu, seperti tak berdosa. “Because I booked you two a reservation. At Le Ciel de Paris… restaurant paling romantis di atas Tour Montparnasse. Highest point in the city.”
Liana belum paham apa itu Tour Montparnasse, tapi saat mendengar kata “restaurant di atas menara,” dia langsung menjerit kecil.
“Waaah! Kita makan di atas awan dong?! Gila keren banget! Aku harus selfie banyak banget nanti!”
Johan menoleh ke Pierre, pura-pura mengeluh. “You’re trying to get me killed.”
Pierre tertawa keras sambil berjalan mundur ke lift.
“Killed by romance, mon frère. The best way to die!”
Dan pintu lift tertutup dengan suara ‘ding’ yang nyaris dramatis.