NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Sistem / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

" Hidup Dan Seseorang "

Bandara Soekarno-Hatta. Pagi.

Langit baru saja membuka matanya. Sementara bumi sudah berlari. Terminal keberangkatan penuh dengan langkah tergesa, suara koper yang beradu dengan lantai, pengumuman yang menggema dari pengeras suara, dan wajah-wajah yang membawa cerita yang berbeda-beda.

Namun, di tengah riuh itu, ada dua manusia yang diam. Tak ikut arus. Tak tergesa. Seperti titik koma dalam paragraf panjang kehidupan.

Johan dan Liana.

Mereka berdiri di dekat gate, berdampingan tapi tak bersentuhan. Hanya dinding sunyi yang berdiri di antara mereka—dinding yang tak terlihat, tapi terasa.

Johan menunduk menatap tiket di tangannya. Kelas bisnis. Dua kursi berdampingan. Tapi pikirannya tidak pada kursi empuk atau layar hiburan. Bukan juga pada keindahan Paris.

Melainkan pada sesuatu yang lebih rumit: detak jantungnya sendiri—yang entah kenapa, berlari seperti dihantui sesuatu. Atau mungkin, dikejar perasaan yang belum sempat diberi nama.

Liana mengenakan hoodie biru yang sedikit kebesaran, dengan ransel kecil di punggung. Ia menatap ke luar jendela besar terminal. Pesawat mereka sudah terparkir. Cahaya matahari pagi memantul pelan di badan logamnya, seperti kilau kenangan yang belum selesai.

“Ini pertama kalinya aku naik pesawat,” ucapnya lirih. Bukan gugup. Bukan juga takut. Hanya pengakuan sederhana dari seorang gadis yang jujur pada dunia.

Johan menoleh, menatapnya. “Dan langsung ke Paris. Kamu melewatkan fase-fase biasa.”

Liana tertawa. Tawa pendek yang nyaris tak terdengar. Tapi seperti tetes embun di pagi hari—pelan, jernih, dan menenangkan.

Lalu ia menoleh, menatap Johan. Matanya bening.

“Jo…”

“Hm?”

“Kalau pesawat kita jatuh, kamu bakal nolongin aku dulu… atau nyelametin laptop kamu?” tanyanya. Nadanya polos, tapi matanya nakal.

Johan terdiam sejenak. Pertanyaan itu tak ada dalam buku manual keselamatan. Lalu ia tertawa. Tawa lepas yang tak ia sadari sudah lama menghilang dari hidupnya. Seperti suara anak-anak di sore hari—jujur dan tak dibuat-buat.

“Kalau kita jatuh, ya jatuh bareng. Tapi selama kita belum jatuh…” Johan menatap matanya dalam-dalam, “jangan jatuh cinta dulu, ya.”

Liana mengangkat alis. “Kenapa?”

Johan menarik napas pelan. Ia ingin menjawab dengan bercanda, tapi suaranya terlalu jujur saat berkata, “Karena aku belum siap ngaku.”

Hening.

Bandara tetap riuh. Waktu tetap bergerak. Tapi dunia mereka berhenti sebentar.

Liana tidak menjawab. Hanya menunduk sedikit. Tapi senyumnya—ya Tuhan—senyumnya itu seperti surat rahasia yang tak pernah dikirim: lembut, sabar, dan terlalu jujur untuk disangkal. Seolah ia sudah tahu sejak awal. Seolah ia hanya menunggu Johan mengakuinya sendiri.

Dan pagi itu, sebelum pesawat benar-benar lepas landas, sebelum langit membentangkan jarak, dua hati sudah lebih dulu terbang. Tanpa sayap. Tanpa peta. Tapi tahu ke mana ingin pulang.

Di dalam pesawat.

Liana duduk di sebelah jendela. Wajahnya setengah tegang, setengah takjub. Sabuk pengaman sudah terpasang. Tangannya menggenggam erat ransel kecilnya, seolah benda itu bisa menyelamatkannya dari apa pun yang akan terjadi.

Johan melirik dari samping. “Kamu oke?”

Liana mengangguk cepat. “Oke… tapi jantung aku kayak lagi main drum.”

Johan tertawa pelan. “Nanti juga biasa.”

Lalu mesin mulai meraung, roda mulai berputar kencang. Pesawat meluncur di landasan. Dan saat tubuh mereka terangkat dari tanah, Liana langsung menempelkan wajahnya ke jendela bulat itu.

“Jo! Kita terbang beneran!” bisiknya, matanya membesar seperti anak kecil yang baru pertama kali naik komidi putar.

“Emang kamu pikir kita cuma nonton di simulator?” goda Johan.

Liana tidak menjawab. Ia terlalu sibuk menatap ke bawah—melihat daratan yang perlahan mengecil, mobil-mobil yang berubah jadi titik-titik mungil, dan bangunan yang seperti miniatur.

“Liat tuh… rumah-rumah kayak mainan. Lucuuu banget. Eh, itu jalan tol ya? Ih, serem banget ternyata kita udah setinggi ini.”

Johan mengangguk. Tapi diam-diam, ia menatap gadis di sampingnya itu lebih lama.

Ada sesuatu yang meneduhkan saat melihat Liana tak berusaha tampil sempurna. Ia takut, ia kagum, dan ia tidak menyembunyikannya.

Lalu pesawat mulai stabil di udara. Liana masih sesekali menengok ke bawah, lalu menoleh ke Johan sambil berbisik, “Ternyata di atas sini, bumi kelihatan damai ya.”

“Kenapa?”

“Soalnya gak kelihatan orang-orang yang marah-marah.”

Johan menatapnya, tersenyum. “Kamu bisa jadi penulis, tahu nggak?”

“Bisa dong,” kan anaknya papa pandu, hehe, “Tapi nanti kamu yang nerbitin ya.”

 

Beberapa menit kemudian, pramugari datang menawarkan makanan.

“Madame, would you like chicken or beef?”

Liana langsung menoleh ke Johan. “Aku ikut dia aja.”

Pramugari tersenyum. Johan menoleh dengan dahi berkerut. “Kenapa selalu ikut aku?”

“Soalnya aku nggak ngerti menu Prancis. Tapi kalau kamu yang pilih, aku percaya.”

Kata itu lagi.

Percaya.

Seperti jendela yang baru dibuka setelah lama tertutup.

Dan entah kenapa, saat Johan menandai pilihan menu, tangannya sedikit gemetar. Mungkin karena makanan. Tapi mungkin juga karena perempuan di sebelahnya.

Paris, sore hari.

Langit Paris berwarna kelabu pucat, seperti kanvas tua yang belum selesai dilukis. Udara dingin menyambut langkah pertama Johan dan Liana ketika mereka turun dari pesawat dan melewati lorong kedatangan. Liana memeluk jaketnya rapat-rapat, matanya menyisir segala yang asing—teks-teks Prancis di papan informasi, orang-orang dengan coat tebal dan langkah terburu, hingga aroma khas bandara internasional yang berbeda dari Jakarta.

Lalu, di balik sekat kaca bandara, seseorang melambai hangat, seperti kerabat lama yang menyapa dari sisi lain dunia.

“Monsieur Johan!” serunya dengan aksen khas Eropa yang mengalun, berat namun bersahabat.

Sosok pria bertubuh jangkung berdiri dengan tenang, mengenakan coat hitam panjang dan syal abu-abu yang melingkar rapi di lehernya. Di tangannya, sebuah papan kecil sederhana bertuliskan: Welcome, Johan & Liana.

Johan tersenyum—senyum yang menyiratkan nostalgia yang tak butuh kata. Mereka berpelukan singkat. Hangat. Penuh kesan, seperti dua sahabat yang pernah berbagi musim dingin yang sama, entah di mana.

“Pierre,” ucap Johan lirih, dengan nada penuh ketulusan.

Lelaki Prancis itu membungkuk sopan ke arah Liana, matanya lembut, suaranya pelan namun jelas, “Enchanté, Mademoiselle. Bienvenue à Paris.”

Liana hanya bisa membeku. Matanya membulat, keningnya berkerut lucu.

“Eh… iya… saya juga… eh, merci? Ehhh, dia ngomong apa, Jo?”

Ada gugup di wajahnya, namun juga tawa yang tertahan. Liana memang sudah cukup lihai dalam bahasa Inggris—hasil perjuangan di sekolah paket C yang tak pernah ia sesali. Tapi ucapan pria itu terasa seperti alunan puisi asing dari planet lain.

Johan menyembunyikan senyum di balik bahunya. “Dia bilang, senang bertemu denganmu, Li. Dan… selamat datang di Paris.”

Liana mengangguk pelan. Ada rasa canggung, tapi juga takjub. Dunia di sekelilingnya berubah pelan, seperti lukisan cat minyak yang perlahan hidup di depan mata.

Johan menepuk bahu Pierre sambil berkata, “Pierre, this is Liana. First time abroad. Be kind.”

Pierre tertawa kecil. Lalu, dengan gaya dramatis khas orang Prancis, ia membuka kedua tangannya, seolah sedang bersumpah di altar cinta.

“Ah, mais bien sûr!” katanya. “I will treat her like a princess.”

Dan memang, Pierre menepati janjinya

Mobil sedan hitam mewah menunggu di luar. Pemanas dinyalakan, lagu klasik Prancis mengalun pelan. Di kursi belakang, ada kotak kecil berisi macarons dan selimut tipis. Liana membuka jendela sedikit, membiarkan udara Paris menyelinap masuk. Wajahnya masih dipenuhi rasa kagum.

“Paris kayak kota dongeng…” gumamnya.

Pierre yang menyetir mendengar itu dan tertawa. “Wait until you see Eiffel at night, Mademoiselle. Then you’ll really believe in magic.”

Perjalanan ke hotel hanya butuh tiga puluh menit, tapi bagi Liana rasanya seperti tur keliling dunia. Ia menempel ke jendela lagi, seperti saat di pesawat. “Itu sungai Seine ya, Jo? Ih, romantis banget. Eh, itu menara apa tuh? Kok kayak jam raksasa?”

Johan menjawab satu per satu, sabar. Seperti guru yang menjelaskan buku cerita pada murid yang belum pernah membacanya.

Hotel bintang lima di tepi sungai.

Saat mereka tiba, bellboy langsung menyambut. Liana bahkan belum selesai terkagum-kagum dengan lobby hotel yang megah, ketika satu suite eksklusif dibuka untuk mereka: dua kamar terhubung, dengan jendela menghadap Sungai Seine dan balkon kecil.

“Ini kayak di film,” desis Liana. “Tapi aku di dalamnya.”

Pierre menyerahkan satu map berisi jadwal pertemuan bisnis Johan. Tapi sebelum ia pamit, ia berkata sambil melirik Liana, “By the way, I cancelled Johan’s dinner meeting tonight.”

Johan mengerutkan dahi. “Why?”

Pierre menyeringai. “Because I booked you two a reservation—at the restaurant on top of Tour Montparnasse. You’re welcome.”

Liana masih belum paham apa itu Tour Montparnasse. Tapi saat mendengar kata “restaurant di atas menara,” ia langsung berseru, “Waaaah! Kita makan di atas awan dong?”

Johan menoleh ke Pierre. “You’re trying to get me killed.”

Pierre hanya melambai, tertawa. “Killed by romance, my friend!”

Malam itu, Paris bersinar.

Dan entah angin apa yang membawa dua hati ke kota yang konon diciptakan khusus untuk cinta. Tapi malam itu, di balkon hotel, sebelum mereka bersiap untuk makan malam mewah, Johan sempat menatap Liana yang sedang memotret langit.

Dan untuk sesaat, waktu seperti membeku.

Karena di balik semua cahaya kota, suara klakson, dan janji bisnis…

ada sesuatu yang jauh lebih penting.

Ada seseorang yang membuat segala hal terasa lebih hidup.

1
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!