Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 2 - Luka yang menganga
Air hujan masih menetes dari ujung rambut Azura ketika ia akhirnya tiba di depan rumah megah bercat putih gading itu.
Pakaian panjangnya basah kuyup, bahkan lengket menempel di tubuh. Udara dingin membuatnya menggigil, tapi ia tetap menggenggam tas belanjaan yang basah, demi menyelamatkan apa pun yang tersisa.
Saat Azura membuka gerbang, suara sinis langsung menyambutnya tajam seperti duri.
"Wah! Wah! Wah! Ratu kita baru pulang rupanya. Disuruh belanja malah keluyuran!," seru Rita dari teras, seraya menyilangkan tangan di dada sambil mengerling ke arah Azura seolah gadis itu adalah parasit.
Namun, Azura hanya menunduk, tubuhnya semakin membungkuk karena dingin dan rasa lelah.
"Aku... tadi di jalan ada orang hampir tertabrak, Bu... jadi aku—"
"Alasan!," potong Rita, lalu ia melangkah sedikit mendekat dengan wajah yang penuh kekesalan. "Kau kira aku mau dengar drama tak pentingmu itu? Sana! Masuk! Jangan bikin malu, jangan sampai tetangga melihat kamu yang seperti gembel!."
BRAKK!!
Belum sempat Azura bergerak, tiba-tiba pintu utama terbuka dengan keras. Kemudian, saudari tirinya yang bernama Nadine keluar dengan wajah yang murka.
Lalu, Nadine berjalan mendekati Azura dan langsung merebut sebuah kantong plastik basah yang isinya sudah hancur.
"INI SEMUA SALAHMU!," teriak Nadine. "Makanan favoritku jadi rusak! Dasar nggak bisa diandalkan!."
BRAK!!
Sekali dorong, Azura pun terhempas ke arah dinding batu di samping pintu. Suara tubuhnya menghantam tembok hingga terdengar nyaring.
"Aw!!," pekik Azura kesakitan.
Akibatnya, lutut Azura kini tergores, dan siku kanannya memar seketika.
Tapi Nadine hanya menatapnya penuh jijik dan berseru, "Aku nggak mau tau! Kamu harus beli ulang! Sekarang juga! Jangan pulang kalau nggak bawa yang baru!."
Azura hanya menggigit bibirnya karena menahan sakit. Sementara itu, Rita malah tertawa kecil dan menimpali,
"Yah, Nadine. Anak ini memang keras kepala. Pantas kalau dikerasin balik. Sudah besar tapi otaknya lambat."
KEJAM!!
KETERLALUAN!!
Tak ada tangan yang menolong. Tak ada suara yang bertanya apakah ia baik-baik saja. Yang ada hanya sindiran dan tatapan penuh kebencian dari keluarga tirinya.
Kini, Azura perlahan berdiri sambil mengusap air matanya yang bercampur air hujan.
Ia tidak berkata apa-apa. Hanya melangkah ke belakang rumah, lalu menyusuri gang kecil menuju pintu dapur yang selalu dibiarkan terbuka.
Azura masuk tanpa suara, lalu mengganti bajunya dengan pakaian tipis seadanya, lalu ia duduk di lantai kamar kecil di dekat dapur. Di sana, ia memeluk lutut karena tubuhnya masih menggigil.
Matanya menatap kosong ke langit-langit. Dan saat itulah bayangan pria yang ia temui tadi dan hampir celaka terlintas di benaknya.
Tatapan kosong pria itu... gumamannya yang aneh... namun juga senyumnya yang samar. Tak tahu mengapa, Azura merasa seperti melihat dirinya sendiri di matanya. Terjebak. Luka. Terlupakan.
"Apa hidup semua orang serumit ini... atau cuma aku?," bisik Azura lirih.
**
Beberapa hari kemudian...
Hari itu rumah keluarga Azura tampak berbeda. Karpet merah dibentangkan dari pagar hingga ke ruang tamu.
Rita dan Nadine sibuk mondar-mandir dengan mengenakan pakaian terbaik mereka. Bahkan meja ruang tamu yang biasanya kosong kini dipenuhi camilan mahal dan vas bunga segar.
Sementara, Azura hanya bisa memperhatikan dari balik tirai dapur, dengan masih mengenakan daster lusuh dan rambut dikuncir seadanya.
"Ada tamu apa? Kok kayak mau lebaran," gumam Azura pelan.
Namun rasa penasarannya terhenti saat suara langkah kaki berat terdengar dari halaman. Tak lama kemudian, seorang pria berjas hitam masuk ke ruang tamu.
Wajahnya tegas, sorot matanya tajam namun bermartabat. Tidak hanya itu, beberapa pria berbadan besar menyertainya yang tampak seperti pengawal.
Dialah Adrian Atmaja. Konglomerat besar, pemilik jaringan rumah sakit dan properti, yang tak lain ayah dari laki-laki yang akan di jodohkan dengan Azura.
"Selamat datang, Pak Adrian... sungguh suatu kehormatan!," sambut Rita dengan senyuman palsu dan lebar, sambil menunduk rendah, lebih rendah dari biasanya.
Sementara, Wirawan hanya mengekor di belakang Rita tanpa banyak tingkah dan hanya bersikap sesuai yang Rita perintahkan.
Pak Adrian pun hanya mengangguk singkat, lalu duduk. Kemudian, tatapannya yang tajam menyapu seluruh ruangan seolah mencari sesuatu.
"Kita langsung saja. Aku ke sini bukan untuk basa-basi. Aku ingin menjodohkan putraku dengan anak perempuan Anda," tutur Adrian.
Mendengar penuturan itu, Rita dan Wirawan pun saling melirik, ekspresi mereka begitu nampak girang dan bersemangat.
"Wah... tentu, tentu... Tapi, Anda tahu kan Azura itu bukan anak kandung saya, Pak. Dia cuma anak dari istri pertama suami saya. Tapi, ya... bisa diatur," ujar Rita.
"Aku tahu. Dan aku justru memilih dia. Bukan Nadine, putri kandungmu," jawab Adrian seraya menatap langsung ke mata Rita, sehingga membuat wanita itu merasa kaku sejenak.
Melihat kecanggungan Rita dan Wirawan, Adrian pun tersenyum tipis. Bukan sebuah senyuman yang ramah, melainkan lebih seperti senyum dari pria yang sudah tahu isi hati lawannya.
"Aku tidak butuh wanita glamor. Aku butuh seorang istri yang bisa... merawat dan menemani putraku," jelas Adrian.
"Tentu saja. Kami sama sekali tidak keberatan."
Kemudian, Adrian berdiri perlahan dan berkata, "Putraku bernama Rangga. Mungkin kalian sudah mendengar. Ia memang memiliki gangguan. Tapi dia tetap anakku. Anak sulung di keluargaku. Dan aku ingin ia mendapatkan kehidupan yang layak, termasuk seorang istri yang tidak memandangnya sebagai aib."
"Tentu, tentu... kalau itu permintaan Bapak... ya, Azura bisa kami siapkan..." seru Rita yang berusaha tersenyum, tapi matanya menyipit penuh perhitungan.
"Bagus. Tapi aku minta ini menjadi urusan kita saja. Keluarga besarku tidak perlu tahu. Mereka menganggap Rangga sebagai aib. Tapi bagiku, dia tetap darah dagingku."
"Tentu, Pak. Rahasia aman. Kami tahu menempatkan diri," jawab Rita yang semakin membungkuk.
Tanpa basa-basi, Adrian lalu meninggalkan rumah, diiringi para pengawalnya.
Sementara itu di balik dapur, Azura hanya berdiri mematung. Ia mendengar semuanya. Jelas. Kata demi kata.
"Rangga...?."
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong