Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Aksara membuka kerudungku dengan paksa hingga terlepas seutuhnya. Dia menatapku penuh hasrat.
"Aksara, aku mohon jangan apa-apa kan aku!" pintaku seraya menangis.
Aksara tertawa mendengarnya, dia mulai mendekati aku yang duduk ketakutan di atas kasur.
"Kamu cantik sekali Nur tanpa kain itu," pujinya sembari membelai kepalaku dengan lembut.
Tubuhku semakin bergetar ketakutan, "Aksara, aku mohon lepasin aku!" ucapku memelas.
Dia mendekatkan wajahnya pada telingaku, "tidak akan Nur!"
Aku bergidik ngeri mendengarnya, ucapannya semakin membuatku ketakutan. Aksara menindih tubuhku yang dia dorong hingga aku terlentang.
Argh.....
Tolong.....
Teriak setengah mati pun rasanya tidak akan ada yang menolongku. Aksara merobek baju bagian bahu dengan paksa.
"Aksara berhenti!" ucapku sembari berusaha menyingkirkan tubuh laki-laki itu di atas tubuhku.
Tenaganya sangat kuat, aku mulai kalut dalam situasi ini.
Ya Tuhan tolong selamatkan aku!
Tangisku terus terurai sembari menahan tangan Aksara yang semakin merajalela menyentuh lekuk tubuhku. Wajahnya semakin terlihat gila dengan tatapan mesumnya.
Brak...
Pintu kamar hotel terdobrak, seseorang masuk dengan amarahnya. Dia mendorong dan memukul Aksara hingga laki-laki itu terkapar tidak sadarkan diri.
Aku masih terus menangis sembari tangan yang menutup auratku. Dia dengan sigap membuka kemeja yang dipakainya lalu dipasangkan padaku.
"Kamu gak apa-apa kan Nur?" tanyanya dengan wajah yang sangat cemas.
Tanganku menghambur memeluk tubuhnya yang berdiri tepat di depanku, "Kak Furqan...."
Kak Furqan mengusap punggungku hangat, dia mencoba menenangkan. Dia melepaskan tanganku lalu menatapku erat, "Udah ya! Kak Furqan di sini Nur."
Aku menghapus air mataku kasar, tanganku masih bergetar karena kejadian tadi. Pegawai hotel hanya terdiam melihat pintu yang sudah dirusak Kak Furqan tadi.
Pasalnya hotel itu, memang hotel yang bebas dikunjungi siapapun tanpa syarat apapun bila memesan kamar dengan lawan jenis.
Kak Furqan memangku tubuhku yang mulai dingin karena ketakutan. Membiarkan Aksara yang masih tersungkur pingsan di lantai kamar.
Dia membawaku ke tempat kerjanya, menyajikan aku teh manis hangat agar lebih tenang.
"Kamu udah berapa lama kenal laki-laki itu Nur?" tanyanya pelan.
"Sekitar sebulan lalu Kak. Dia awalnya hanya sering komentar di novel Nur terus gak lama dari itu dia menghubungi Nur di Instagram. Sampe pas Nur pasang foto waktu di sini, dia tiba-tiba bilang kalau dia kerja di Surabaya dan mengatur pertemuan kita," jelas-ku panjang lebar padanya.
Kak Furqan menghela napasnya, "neng lain kali jangan mau kalau diajakin ketemuan di hotel."
"Kok manggilnya Neng lagi?" protes-ku membuatnya terkekeh.
"Ngeuh aja lagi," gumamnya pelan.
"Jangan bahas itu dulu! Untung tadi kamu gak apa-apa. Coba kalau dia udah ngelakuin hal itu gimana," omelnya.
"Ya kan Nur gak tau kalau dia ternyata cowok brengsek kayak Kak Furqan," bantahku membuat menganga.
"Emang kapan Kak Furqan robek baju kamu? Kapan Kak Furqan sentuh area sensitif kamu?" tanyanya beruntun.
"Tapi brengseknya Kak Furqan tinggalin aku tiba-tiba," sanggah-ku berhasil membuatnya terdiam.
Dia menggeser kursinya untuk lebih dekat denganku, "maaf ya! Maaf untuk semuanya yang pernah bikin kamu sakit."
Tatapannya benar-benar lekat kali ini, terlihat ketulusan di dalamnya. Pipiku langsung memerah ketika mata kita bertemu dengan jarak yang sangat berdekatan.
"Pipi kamu merah tuh!" ledeknya sembari menahan tawa.
Aku memukul dadanya cukup keras, "ih... tau ah," protes-ku sembari memalingkan wajah darinya.
Dia terkekeh lalu menggodaku seperti biasanya, "jangan marah lagi dong Sayang!"
"Dih Sayang, Sayang pala Lo peang!" protes-ku.
"Mulutnya, Lo Lo apaan," ucapnya sedikit menakutkan.
"Ya abisnya suruh siapa manggil sayang, sayang!"
"Emangnya mau di panggil apa?" tanyanya menatapku.
Aku segera menutup wajahnya dengan telapak tanganku karena malu, "kak Furqan gak usah natap kayak gitu!"
Lagi-lagi dia tertawa mendengarnya, "salting ya!" ledeknya sembari mencubit pipiku.
"Kenapa kejar Nur lagi?" tanyaku menatapnya.
"Ya emang dari awal juga gak mau pisah kalau gak terpaksa," jawabnya.
"Terus kenapa gak jelasin dulu ke aku tentang masalahnya? Malah main pergi-pergi aja, mana mutusin lewat telepon padahal kita sama sekali gak jadian," omel-ku terus menerus.
"Ya udah diem dulu! Kakak jelasin dari awal," pintanya.
Aku menatapnya mendengar dia menceritakan semuanya tentang masalah yang dialami Ayahnya hingga dia dan keluarga harus tinggal sementara di Surabaya.
"Terus kenapa putusin Nur? Buang Nur kayak kemarin?" tanyaku beruntun.
"Karena Kakak gak mau kamu ikut susah," ucapnya sembari menunduk.
"Emang Nur keliatan mata duitan banget ya di mata Kak Furqan?" pertanyaanku membuat terkekeh.
"Kok malah ketawa emangnya ada yang lucu?"
Kak Furqan mencubit pipiku, "kamu lucu Sayang!"
Aku memutar bola mataku malas, "sayang, sayang, gak lama ditinggalin lagi!"
"Enggak, kali ini gak bakal nyerah," jawabnya.
"Yakin?" tanyaku dijawab anggukan dengan cepat olehnya.
"Kenapa bisa seyakin itu? waktu ngelamar aku di tengah jalan juga Kak Furqan seyakin itu tapi ninggalin aku," tutur-ku.
"Sayang lupain ya tentang masalah kemarin. Semuanya aku ralat," pintanya memohon.
"Bukannya aku wanita murahan yang terus ganggu Kak Furqan, kok sekarang malah minta ralat ucapannya," sindir-ku.
Dah halal gw cium juga tuh mulut!
"Hah apa Kak Furqan?" tanyaku mendengarnya bergumam.
Dia menggelengkan kepalanya cepat, "kakak gak pernah keberatan diganggu sama kamu gimana pun, kapanpun itu."
Aku menjulurkan lidahku tidak percaya, "bohong banget."
"Beneran sayang,"
"Sayang, Sayang terus. Emang aku cewek apaan dipanggil sayang tanpa hubungan," protes-ku.
"Jadi mau hubungan apa emangnya?" tanya Kak Furqan.
"Gak tau, udah sana kerja dulu!" usir-ku karena salah tingkah.
"Tapi janji dulu, kita baikan kan?" tanyanya memastikan.
"Iya Kak Furqan," jawabku menatapnya tajam.
Dia tersenyum senang lalu kembali melayani pelanggan yang cukup ramai.
Rekan Kak Furqan mendekatinya dan berbisik, "bukannya kamu hari ini izin ya? Kok masuk setengah hari?"
"Tadinya mau izin, tapi ngeliat lo sibuk gak tega gw," jawab Kak Furqan. Rekannya itu mendelik mendengar ucapannya.
"Bohong banget, pasti karena tuh cewek kan?" tanyanya.
"Ya masa beneran karena lo," jawab Kak Furqan sembari terkekeh.
Aku menunggu Kak Furqan hingga selesai dengan pekerjaannya. Bang Daffa juga menghubungiku karena dikabarkan Kak Furqan tadi.
"Makanya hati-hati lain kali Nur!" peringat Bang Daffa.
"Iya Bang, enggak lagi deh kayak gitu. Amit-amit," ucapku.
"Mamah sama Bapak gak tau kan Bang?" tanyaku sedikit khawatir jika mereka tau.
"Tenang aja, bisa diamuk kamu kalau mereka sampe tau. Abang lagi di tempat kerja, jadi mereka gak tau tentang masalah ini," ucap Bang Daffa diangguki olehku.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica