Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warna Perang
Bunyi klik mekanis terdengar dari segala arah. Ajie dan Melly baru saja membereskan meja eksperimen ketika seluruh gudang tua itu tiba-tiba menyala dengan lampu sorot putih menyilaukan.
“Astaga... Mereka datang,” bisik Melly.
Puluhan titik merah dari laser penanda senjata menyasar langsung ke tubuh Ajie dari segala sudut jendela pecah, lubang di dinding, dan atap.
Lalu, suara terdengar dari pengeras suara kecil yang digantungkan di drone melayang.
> “Rahmad Ajie. Anda berada dalam pengawasan resmi Altheron. Kami minta Anda menyerahkan diri secara damai. Ini bukan negosiasi.”
Ajie mundur perlahan. “Altheron? Siapa mereka?”
Melly menelan ludah, wajahnya tegang. “Mereka bukan militer. Tapi lebih bahaya dari militer. Pasukan swasta. Dibayar perusahaan yang gak pengen rahasia kotor mereka bocor.”
Ajie melirik ke luar jendela—dua truk lapis baja parkir di luar, penuh pasukan berseragam hitam dengan helm reflektif. Mereka tidak mengenakan tanda negara apa pun. Hanya logo ‘A’ yang terlihat seperti mata satu yang menyipit di dada mereka.
Satu drone melayang masuk ke dalam gudang. Perlahan, ia menurunkan sesuatu... seperti proyektor hologram kecil. Lalu muncul wajah.
Seorang pria paruh baya, berjas rapi, berdiri di dalam proyeksi biru. Wajahnya tenang, hampir membosankan.
> “Tuan Ajie. Nama saya Director Cain, perwakilan dari Altheron. Kami sedang mengamankan aset berbahaya bernama WN-13 yang, sayangnya, kini berada di dalam tubuh Anda.”
Ajie menatap hologram itu. “Lo yang naruh cat radioaktif itu di pabrik bengkel?”
> “Cat itu bukan produk komersial. Itu bahan baku eksperimen stabilisasi senyawa kimia tinggi energi—Project WN-13. Anda bukan subjek yang direncanakan. Tapi sekarang, Anda menjadi liability.”
Ajie mengepalkan tangan.
“Lo kira gue bakal nyerah setelah lo bikin tubuh gue kayak kaleng bocor warna-warni?!”
Director Cain tidak terganggu. Suaranya tetap netral.
> “Jika Anda menyerahkan diri, kami jamin proses ekstraksi akan... minimal menyakitkan. Jika tidak, kami izinkan Unit Sentry untuk menggunakan kekuatan mematikan.”
Melly mencibir. “Gue benci orang yang ngomong kayak robot. Terlalu tenang buat seseorang yang nyuruh orang lain ditembak.”
Ajie memandang Melly. “Gue gak bakal ninggalin lo di sini.”
Melly mengangkat obeng besar yang diselipkan di pinggang. “Lo pikir gue bakal ninggalin lo juga? Lucu lo, Jie.”
Tiba-tiba—BRAAAKK!!
Dinding sebelah kiri roboh dihantam semacam robot penjaga, mirip tank berkaki empat. Di punggungnya ada senjata laras ganda yang menyala merah.
Melly mendorong Ajie.
“SEBAR!”
Satu tembakan laser menghantam lantai beton, meledak seperti granat petir. Asap membubung. Melly menarik Ajie ke balik meja besi.
“Warna, Jie. Lo punya warna!”
Ajie menarik napas. “Lo bilang merah ledakan, kuning listrik, biru es... Kita mulai dari panas dulu.”
Ia melompat keluar dan menghantamkan telapak tangannya ke lantai. Cat merah menyembur, meledak membentuk dinding api tinggi yang memisahkan mereka dari pasukan.
Melly berseru, “KABUTI MEREKA, JIE!”
Ajie mengalirkan cat hijau dari dadanya. Kabut licin dan tebal memenuhi ruangan. Para prajurit Altheron terpeleset, beberapa jatuh menabrak pilar gudang. Namun drone tetap melayang, menargetkan mereka.
BZZZZT!
Ajie menyentilkan jari. Petir kuning melesat dari lengannya, menghantam satu drone. Meledak.
Satu prajurit menyelinap dari belakang. Melly berputar, menjambak kabel dari alat bor rakitan, dan memukulkannya ke helm pria itu.
“Kepala lo kayak plat nissan lama!”
Pria itu tumbang.
Ajie menatap lengannya yang terus-menerus berubah warna.
“Gue gak bisa kendaliin warnanya... Ini kayak... warna itu milih sendiri!”
Melly menariknya. “Otak lo stres! Fokus satu emosi! Ambil napas!”
Ajie memejamkan mata. Ia mencoba berpikir tenang—lalu tubuhnya menyala ungu.
Sebuah aliran cat ungu muncul, namun tidak menyembur. Ia mengambang di udara... lalu perlahan memadat menjadi pelindung melingkar seperti tameng. Peluru-peluru yang ditembakkan oleh drone terpental.
“Tameng?” gumam Ajie. “Ungu itu... pertahanan.”
Melly memekik kegirangan. “YES! Akhirnya ada warna buat bertahan!”
Satu pasukan elit melompat dari balkon, membawa senjata api ringan. Melly menekan tombol di helm las, kacamata turun otomatis, dan ia mengarahkan alat las mini ke pipa besi di dinding.
“Ajie, tahan mereka sepuluh detik!”
“SEPULUH DETIK BANYAK BANGET, WOY!”
Ajie berputar, menyebar kabut hijau sambil sesekali menyengatkan kilat kuning. Saat pasukan terpeleset, Melly menyambungkan dua kabel—dan pipa itu meledak, menimbulkan hujan percikan api dan asap yang menghalangi pandangan.
Mereka kabur ke lantai dua.
“Ke mana sekarang?” teriak Ajie.
“Ke loteng! Ada pintu atap!”
Mereka mendobrak pintu besi. Namun di atas, sudah menunggu satu unit robot Sentry terbaru—tiga meter tinggi, senjata plasma di lengan kanan dan peluncur gas air mata di kiri.
“Sekarang apa?!” Ajie panik.
Melly menatap robot itu.
“Lo percaya sama gue?”
Ajie menelan ludah. “Kalo gak percaya, gue udah loncat dari atap!”
Melly membuka ranselnya dan mengeluarkan satu benda kecil—seperti kompresor cat semprot yang dimodifikasi.
“Apa itu?!”
“Amplifier.”
“Amplifier apaan?!”
“Amplifier buat ledakin cat lo kayak granat sonik.”
“APA?!”
Melly menekankan benda itu ke dada Ajie.
“Pikirin semua kemarahan lo sekarang. Biarin warna merahnya keluar!”
Ajie menjerit, matanya menyala terang.
“PAK DARTO NGUBAH SIFT TANPA KABAR!!”
Seketika, semburan merah keluar dari seluruh tubuh Ajie, mengembang seperti kubah energi, lalu—BOOOM!!
Seluruh atap gudang bergetar. Robot Sentry terpental ke arah lift rusak, meledak saat menghantam dinding.
Mereka berdua terduduk, napas memburu.
“...gue benci Pak Darto,” gumam Ajie.
“Gue juga,” jawab Melly sambil tertawa.
Namun kesenangan itu tidak lama. Dari bawah terdengar langkah pasukan. Hologram Cain menyala kembali dari drone.
> “Tuan Ajie. Satu insiden lagi, dan kami akan beralih ke Protokol Pembersihan. Artinya, radius satu kilometer akan dimusnahkan.”
Ajie dan Melly saling pandang.
Melly berkata pelan, “Kita harus pergi. Sekarang.”
Ajie menatap langit Jakarta malam itu, penuh polusi dan cahaya.
“Kita pergi ke mana?”
Melly menariknya ke arah tangga besi di atap belakang.
“Kita ke orang-orang yang tahu lebih banyak soal cat itu. Orang-orang yang dulu kerja bareng Altheron... sebelum mereka menghilang.”
Ajie menarik napas panjang.
“Jadi ini baru permulaan?”
Melly menatap ke bawah. Jalan kosong menanti mereka. Tapi di kejauhan, sirine sudah mulai terdengar.
“Baru pemanasan, Jie.”
Mereka melompat ke bawah—menuju malam yang tak lagi diam.