Menjadi janda bukanlah sebuah pilihan bagiku,
Tahun pun telah berlalu dan waktu telah menjawab segala perbuatan seseorang.
Cinta itu datang kembali namun tidak sendiri, suamiku yang telah mencampakkan diriku dengan talak tiga yang ku terima secara mendadak. Kini Dia datang kembali di saat sebuah cinta yang lain telah menghampiri diriku yang sebenarnya telah menutup hati untuk siapapun..
Siapa yang harus aku pilih? Sedangkan hati ini masih ragu untuk melangkah kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernyataan Kedua Kalinya
Minggu yang mendebarkan akhirnya tiba juga, pagi-pagi mas Dian sudah menjemput dan membawakan mainan kesukaan Shasy, pada dasarnya Shasy sudah merasa dekat dengan mas Dian, di tambah dengan berbagai hadiah hadiah kecil dari mas Dian, semakin membuat Putriku lengket dan seolah-olah mas Dian adalah figur papa yang sesungguhnya.
"Mama cantik ya Nek! Hemmm harusnya om dokter yang jadi papa Shasy ya Nek, tapi mama nggak mau, gimana donk!"
Uhuk....uhuk....hhemmm...
Tenggorokanku tiba-tiba saja merasa kering, celoteh Shasy sontak membuatku berhenti melanjutkan aktivitas mempersiapkan keperluan buku dan meteran badan untuk pengukuran ibu dan bapaknya mas Dian.
"Ibu...!"
Ibuku hanya menoleh dan tertawa sambil menutupi mulutnya menghindar dari hadapan Shasy yang tiba-tiba rona wajahnya menciut.
"Mama! Mama jangan marah, Shasy salah ngomong," putriku mendekatiku dan memeluk diriku, tinggi badanya yang hanya sebatas perut ku saja membuat tanganku segera membelai rambutnya.
"Sayang... Mama tidak marah, mama tadi hanya terbatuk saja. Shasy makan sama kakek gih! Sebentar lagi om Dian datang, Shasy salim ya! Jangan lupa!" Hiburku mengalihkan ketakutannya ketika mendengar teriakanku yang sedikit bernada penekan pada ibu.
"Shasy sayang mama!" Aku jongkok kebawah menyampai tinggi badannya dan membalas pelukan tangan kecilnya.
Ku tahan sekuat mungkin airmata ini agar tidak runtuh, "Mama jelas sayang Shasy dong, ah... ayuk kita makan bareng kakek sama nenek, yuk...!"
Tangan kecil Shasy menarik ku menuju meja makan yang ternyata sudah ada mas Dian duduk di samping ayah.
"Shasy duduk di samping om Dian!" Tanpa komando, Shasy sudah langsung duduk saja di samping mas Dian.
Ayah hanya menggeleng dan melempar senyum penuh arti kepada mas Dian, dua orang laki-laki beda usia yang sama-sama menyimpan rahasia.
Kami sarapan dalam mode sunyi dan menikmati masakan ibu, sayur bayam dengan irisan jagung muda dengan wortel kesukaan Shasy, ikan gurami hasil ternak ayah plus sambal andalan ibu yang selalu menjadi kesukaan para pelanggan saat memesan paket penyetan.
🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️
Kota yang menyimpan terlalu banyak kepahitan dalam kehidupan ku dengan mas Iwan. Tangan mas Dian meraih tanganku telapak tangan ku bertautan dengannya dan sedikit memberikan kehangatan antara gugup dan mengulang memory rasa sakit selama bersama mas Iwan dalam mengarungi bahtera berumah tangga.
"Dek, kenapa! Masih merasa gugup?"
"Oh tidak mas, hanya saja tempat ini seperti tidak banyak terjadi perubahan," dustaku sambil menoleh kearah mas dian, pria yang selama ini baik kepadaku ternyata menaruh hati padaku juga, hal yang sulit untuk di percayai.
"Mas Dian.."
"Hemm, iya dek?"
"Kenapa mas Dian berani mengambil keputusan untuk menerima saya yang sudah janda beranak satu?"
"Saya bukan menerima dek, tapi mencinta dek Lintang siapapun itu, dan mungkin mas adalah pengganti cinta pertama Shasy yang memang seharusnya adalah saya,"
"Jadi biarkan cinta ini bersemi, seperti cinta pertamamu dengan Iwan, dan cinta pertamaku yang telah kandas bersama dusta, biarkan waktu menjawab, walaupun pelan mas akan tetap menunggu jawaban dek lintang,"
"Tapi mas...!"
"Mas tau dek, jangan ada tapi diantara kita! Rumah orang tua mas sudah sampai, yuk kita turun! Jadilah calon menantu yang cantik untuk orang tua mas!" Mas Dian mendekatkan bibirnya dan mencium punggung tanganku, membuatku terkesiap dengan ulahnya.
"Mas... Jangan mas, saya malu dan ini tidak pantas mas lakukan untuk Lintang!" Kutarik tanganku pelan, aku bahkan tidak sanggup untuk menatap mata mas Dian yang selalu intens menatapku.
"Lintang Prameswari, aku mencintaimu bukan karena siapa kamu, aku mencintaimu karena aku tulus dan ingin menjadi bagian dari hidupmu, juga Shasy seperti anakku sendiri,"
"Mas Dian..."
"Sudah yuk turun! Ibu pasti sudah menunggu kita," mas Dian turun lebih dulu dan berjalan melingkar lalu membuka pintu mobil untukku.
"Ayuk!" Ini kali kedua mas Dian mengutarakan isi hatinya dan aku masih juga belum siap untuk memberikan sebuah jawaban tentang kepastian.
Mas Dian tidak pernah melepas pegangan tangannya, walaupun kami berjalan hanya melewati halaman kecil untuk masuk kedalam rumah yang asri dengan tanaman hias yang hijau dan segar.
Sosok wanita tua, dengan dandanan wanita jaman sebelum masa Generasi Baby Boomers, walaupun usia sudah tidak tua lagi, namun gurat cantik dan kelembutan dalam bertutur kata memberikan kesimpulan beliau adalah wanita modern pada eranya.
"Ini pasti nak Lintang ya? Oh... Mari-mari silahkan! Bapak sudah menunggu dari tadi loh... Kenapa Satya terlambat datangnya," adem rasanya ketika mendengar cerita ibu mas Dian yg ang begitu mudah akrab denganku bahkan ini adalah kali pertama berjumpa.
Setelah aku duduk di kursi dan menikmati keasrian rumah besar dan bersih tempat hunian yang jelas akan membuat siapapun betah tinggal didalamnya.
"Loh si kecil kok ndak di ajak to Satya? Tadi sama bapak sudah menyiapkan mainan biar betah tinggal disini, si kimo bahkan sudah di keluarkan dari tempatnya," perbincangan yang lirih namun jelas ku dengar, aku hanya bisa tersenyum ketika mendengar protes ibu mas Dian.
Pembicaraan kami akhirnya berawal dengan seputar kain dan pengukuran untuk kebutuhan acara lamaran Ratih dan Rudi yang akan di gelar di rumah ayah.
Waktu berjalan tidak terasa sudah siang dan mengharuskan untuk kami pamit pulang, perkenalan pertama yang sangat mengesankan, membuat diriku merasa nyaman dan jauh dari seperti yang aku bayangkan semula.
Rupanya trauma tentang ibu mertua terlalu kuat mematri kedalam ingatan.
"Kita ke taman sebelum pulang ya dek, kita pacaran biar seperti mereka!" Mas Iwan berkata sambil menunjuk kearah beberapa pasangan yang sedang duduk atau sekedar berjalan di arena taman kota.
"Mas Dian, ini bukan termasuk gombalan kan?" Entah warna apa yang melekat pada wajahku ketika mas Dian kembali meraih tanganku dan meletakkan di dada kirinya dan tentu saja aku merasakan degup jantungnya sedikit tidak teratur.
"Tergantung dek,"
"Maksudnya?"
"Mas akan berhenti menggombal setelah mendengar ucapan dari dek Lintang, kalau cinta mas diterima dan telah memikat hati dek Lintang dan mampu meruntuhkan kekuatan yang selama ini menguasai trauma dek Lintang,"
"Mas...!"
"Heemm,"
"Beri waktu Lintang ya mas, ini sangat sulit bagi Lintang,"
"Selalu dek... Tapi jangan lama, kasihan Shasy!"
"Loh kok. Shasy mas!"
"Ya... Sebab mas sudah tidak sabar di panggil papa bukan om lagi,"
"Ha...ha...ha...ha"
Tawa mas Dian pecah ketika jariku mencubit punggung tangannya yang dari tadi masih juga menggenggam tanganku.
Mobil sudah berhenti di parkiran yang luas, dan mas Dian menyongsong ku lalu kembali meraih tanganku, lalu berjalan ketengah taman.
"Kita pacaran dek, yuk!" Tentu saja aku tertawa mendengar kata-kata itu kembali terucap dari bibir mas Dian.
Tapi mataku tanpa sengaja mendapati sosok yang sedang berjalan mendekat sambil menggulung lengan bajunya keatas, wajah begitu terlihat geram.
Bugh...akh.....
🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️
To be continued 😉
Idih sopo sih 😳 main bahgk bughk... aja ish... Oke oke segera lanjut bestie 🤭 biar nggak penasaran sih 🤣
Salam Sayang Selalu by RR 😘
awassss lohhh anumu ntar di sambel sama bini sahnya