"Sudah pernah tidur dengan laki laki?"
"Sudah Tuan."
Ace menjawab dengan cepat tanpa ragu. Ace berpikir polos bahwa tidur yang dimaksudkan oleh pria itu adalah tidur seperti yang sering dia lakukan dengan adik laki lakinya.
"Siapkan dirimu menjadi pelayanku mulai besok."
Ace sangat senang. Meskipun dirinya mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan yang penting bisa membebaskan keluarganya dari kesulitan ekonomi. Dia tidak sadar bahwa pelayan yang dimaksudkan pria itu bukan sekedar pelayan biasa melainkan juga pelayan di ranjang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda manik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Hadiah
"Maaf ma. Ace gagal mempertahankan rumah ini," kata Ace penuh sesal. Mama Rani hanya duduk mematung memperhatikan kedua anaknya yang sudah menangis.
Jika ditanya apakah dirinya rela memberikan rumah itu sebagai pelunasan hutang. Tentu saja, mama Rani tidak rela. Tapi harus menyerahkan karena terpaksa.
Mama Rani merasa dirinya sebagai ibu yang buruk. Membiarkan anak anaknya berjuang sementara dirinya larut dalam keterpurukan. Hari ini mama Rani sadar, jika apa yang mereka alami saat ini karena dirinya yang terlalu larut dalam kesedihan karena perceraiannya dengan Andra. Andaikan, dirinya bisa menerima perceraian itu. Mungkin akan lain cerita Hari ini. Bisa saja restoran milik orangtuanya juga tidak jatuh ke tangan Andra.
Kini, tangisan Ace dan Rangga menyadarkan mama Rani. Melihat tangisan kedua anaknya. Mama Rani merasa sesak jauh lebih sakit dibandingkan mengetahui perselingkuhan Andra tiga tahun yang lalu.
"Mama, jangan sampai sakit lagi ya. Rangga akan berusaha untuk sukses supaya kita bisa memiliki rumah seperti ini lagi."
Tangis mama Rani pecah. Sungguh dia bersyukur mempunyai anak anak yang baik dan berbakti seperti Ace dan Rangga. Mama Rani membentangkan tangannya. Ace dan Rangga memeluk wanita itu. Mereka bertiga berpelukan sambil menangis.
Melihat mama Rani bisa menerima kenyataan ini tidak langsung membuat Ace merasa lega. Kini dirinya harus memikirkan tempat tinggal untuk mama dan adiknya itu.
"Ace," panggil pak Hardi. Ternyata pria itu ikut turun tangan untuk menyaksikan kepindahan Ace dan keluarganya dari rumah itu.
Ace, Rangga dan mama Rani keluar dari kamar. Wajah mereka bertiga terlihat sembab karena baru saja menangis tapi itu tidak membuat pak Hardi merasa kasihan. Yang ada, laki laki itu ingin secepatnya mengganti cat rumah itu yang sudah mulai memudar dengan warna kesukaannya.
"Ibu Rani. Supaya urusan kita selesai. Tolong tanda tangani surat ini," kata Pak Hardi. Tangannya mengulurkan selembar kertas kepada mama Rani.
"Jangan ma," larang Ace cepat. Sampai kapanpun dirinya tidak akan rela memberikan rumah itu kepada pak Hardi. Sore ini, mereka bertiga boleh meninggalkan rumah itu tapi tidak akan memberikan jejak apapun bagi pak Hardi jika mereka setuju rumah itu berpindah kepemilikan.
"Maaf pak Hardi. Hutang kami hanya ratusan juta rupiah tidak sebanding dengan harga rumah ini jika dijual. Kami memang miskin saat ini tapi tidak bodoh. Silahkan miliki rumah ini beberapa tahun. Dan kami anggap ratusan juta hutang kami sebagai biaya kontraknya."
Ace tidak akan membiarkan pak Hardi dengan mudah memiliki rumah itu.
"Ace sialan. Berani kamu bermain main dengan seorang pria yang bernama Hardi?" bentak pak Hardi marah. Ternyata untuk memiliki rumah itu tidak mudah. Ace terlalu licik baginya.
"Bukan bermain main Pak. Tapi bapak yang seenak hati memperlakukan kami seperti ini. Jika bapak menginginkan rumah kami ini setidaknya hargai dengan harga yang wajar."
Pak Hardi tertawa tapi dalam hati mengakui keberanian Ace.
"Apa kamu tidak mengingat ketika kamu meminta uang itu kepada ku. Kamu terlihat menyedihkan saat itu Ace. Apa kamu bisa membayangkan jika aku tidak memberikan pinjaman itu kepada mu?.
Pak Hardi sengaja berhenti berbicara sebentar memberikan waktu kepada Ace untuk berpikir.
Ace menundukkan kepalanya. Saat itu pak Hardi memang malaikat penolongnya. Tapi kini, laki laki itu memanfaatkan keadaan keluarga Ace untuk mendapatkan rumah itu.
"Jika aku tidak memberikan pinjaman kepada kalian, bisa saja saat ini kalian tidak mempunyai mama."
Mata Rangga memerah dengan tangan terkepal. Jika hal buruk dikaitkan dengan sang mama. Amarahnya memuncak. Sama seperti Rangga, Ace juga sangat marah mendengar perkataan pak Hardi itu.
"Stop pak Hardi. Usia bukan manusia penentunya. Seharusnya kamu bersyukur dengan harta yang kamu punya bukan malah menindas kami orang lemah seperti ini," kata mama Rani. Sengaja wanita itu mengeluarkan suaranya untuk meredam amarah kedua anaknya.
"Tanda tangani surat ini sekarang juga. Jika tidak, kamu bisa melihat apa yang akan aku lakukan pada kedua anak mu ini," ancam pak Hardi dengan menatap tajam mama Rani. Tatapan itu sangat menakutkan. Sebagai seorang ibu, tentu saja tidak menginginkan hal buruk menimpa anak anaknya.
Ace menggelengkan kepalanya ketika mama Rani mengulurkan tangannya menerima kertas dan pulpen dari tangan pak Hardi.
Pandangan Mama Rani, Ace dan Rangga juga pak Hardi teralihkan dengan suara dari pintu. Setitik harapan muncul di hati Ace melihat Tuan Hans berjalan dengan gagah mendekati mereka. Di belakangnya Randi mengikuti langkah sang tuan Casanova.
"Siapa kamu?" tanya Pak Hardi tajam. Melihat pakaian yang melekat di tubuh Tuan Hans. Pria itu bukan tandingan pak Hardi.
"Perkenalkan pak. Saya Hans dan teman saya Randi," kata Tuan Hans tanpa menyapa Ace dan keluarga. Begitu juga dengan Randi. Pria itu berdiri tegap di sebelah Tuan Hans. Jangankan menyapa, melihat Ace dan keluarganya juga tidak. Mereka seperti orang asing yang tidak mengenal.
"Lalu, mengapa kalian ada disini?" tanya Pak Hardi penuh selidik.
"Kebetulan saja lewat pak. Dan kami melihat sepertinya ada yang akan pindah dari rumah ini. Dan kami berdua melihat pindahannya seperti terpaksa," jawab Tuan Hans.
"Mengapa Anda berkesimpulan seperti itu?" tanya Pak Hardi. Pak Hardi merasa waspada dengan keberadaan Tuan Hans dan Randi.
"Kami curiga dengan pria pria bertato itu Pak. Mereka seperti suruhan seseorang mengeluarkan barang dari rumah ini."
"Oo jadi karena itu. Sebenarnya memang mereka ini mau pindah dari rumah ini. Tapi bukan karena dipaksa tapi karena sudah kesepakatan."
"Kesepakatan?" tanya Tuan Hans pura pura bingung.
"Sebenarnya begini. Mereka ini mempunyai hutang kepada saya dengan jaminan rumah ini. Sesuai dengan kesepakatan. Hari ini batas pembayaran dan mereka tidak mampu membayar. Mereka kooperatif kok. Mereka bersedia pindah dari rumah ini."
Pak Hardi sengaja berbohong. Seolah olah pindah dari rumah itu tidak masalah bagi Ace dan keluarganya. Matanya juga berkeliling melihat ke penjuru rumah tapi orang orang suruhannya tidak ada lagi yang keluar masuk mengeluarkan barang barang milik Ace. Dia tidak tahu, jika orang orang suruhannya itu sudah dibayar Hans untuk pergi dari rumah itu.
Ace membulatkan matanya. Dia khawatir Tuan Hans terpengaruh dengan perkataan rentenir rakus itu. Ace sangat yakin kedatangan Tuan Hans dan Randi di rumah itu untuk membantu dirinya.
"Oo begitu ya. Tapi kalau hanya mendengar keterangan tanpa bukti. Sulit dipercaya pak. Jika tidak ada bukti. Bisa saja kami melihat masalah ini bukan masalah pinjam meminjam tapi masalah perampasan."
"Tidak pak.Tidak. Sama sekali bukan perampasan."
"Bagaimana kami bisa percaya kalau ini bukan perampasan pak. Tolong berikan kami bukti supaya kami bisa pergi dari sini secepatnya."
Dalam hati, pak Hardi bertanya tanya siapa sebenarnya dua laki laki ini. Dan supaya tujuannya cepat tercapai. Pak Hardi membuka tas yang sedari tadi menggantung di pundaknya. Dari dalam tas itu. Pak Hardi mengeluarkan sertifikat rumah itu.
"Boleh saya lihat pak?" tanya Tuan Hans.
"Boleh."
Hans membalikkan kertas demi kertas itu sebentar.
"Benar ini sertifikat rumah ini?" tanya Tuan Hans kepada mama Rani. Mama Rani memastikan sebentar jika itu sertifikat rumah miliknya.
"Benar," jawab mama Rani singkat.
"Benar, kalian mempunyai hutang ke Bapak ini. Jika benar. Berapa?" tanya Tuan Hans lagi. Pak Hardi terlihat gelisah. Bagaimana pun dia mengetahui jika hutang keluarga Ace tidak sebanding dengan nilai jual rumah itu.
"Lima ratus juta lain bunga tiga tahun," jawab Pak Hardi cepat.
"Bohong. Ikut bunga hanya sekitar dua ratus jutaan. Aku masih menyimpan buktinya," kata Ace dengan cepat.
"Randi, berikan bapak ini dua ratus lima puluh juta," perintah tuan Hans. Tuan Hans langsung memberikan sertifikat rumah itu kepada Rangga.
"Siap tuan."
"Ibu, Rangga. Masuk lah ke kamar."
"Apa maksud kamu. Dan mengapa kamu bertindak seperti hakim bagi kami?" tanya Pak Hardi marah.
'Saya adalah menantu mama Rani. Suami dari Ace Calista."
"Tidak mungkin. Ace belum menikah. Jangan mencampuri urusan saya," bentak pak Hardi.
"Saya tidak memaksa anda percaya pak. Tapi saya memaksa anda keluar dari rumah ini. Terima uang Anda," perintah tuan Hans. Di tangan Randi sudah ada tumpukan uang ratusan juta. Sengaja, Hans membayar dengan cash karena bila lewat rekening. Hans sudah memprediksi pak Hardi tidak akan memberikan nomor rekeningnya.
Mengingat jumlah uang yang selalu ditagih Ace kepada dirinya untuk membayar hutang itu. Hans sudah bisa menilai jika si rentenir sangat terobsesi dengan rumah milik keluarga Ace itu.
"Tidak bisa. Saya tetap menginginkan rumah ini."
Hans tertawa. Pak Hardi terlalu kecil untuk dihadapi sebenarnya. Pak Hardi terlihat bodoh di Mata Hans. Bagaimana pak Hardi masih mempertahankan tujuannya sedangkan sertifikat rumah itu sudah tidak di tangannya lagi.
"Boleh, boleh saja Anda tetap berkeinginan seperti itu. Tidak Ada yang melarang. Tapi satu Hal yang anda harus ingat. Saya tidak akan membiarkan itu terjadi," kata Hans dengan penuh penekanan.
"Anda menerima atau tidak menerima uang ini. Hutang keluarga Ace dianggap lunas. Jika anda berani mengganggu keluarga ini. Maka bukan dengan polisi anda berurusan tapi dengan saya. Dan sebelum anda berurusan dengan saya. Pastikan anda mengetahui siapa saya sebenarnya," kata Hans.
Kata kata Hans dengan intonasi yang menakutkan membuat Pak Hardi tidak bisa berbuat apa apa lagi selain menerima uang dari tangan Randi kemudian memasukkankannya ke dalam tas.
"Tunggu dulu," kata Hans. Pak Hardi yang sudah kesal setengah mati hanya bisa membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang disodorkan Randi. Surat keterangan bahwa hutang keluarga Ace sudah lunas.
"Terima kasih tuan," kata Ace setelah pak Hardi pergi dari rumah itu. Ace sangat lega. Rumah itu kini sudah aman. Tuan Hans tidak menjawab. Laki laki itu justru melangkah ke kamar dimana mama Rani dan Rangga berada.
"Makasih ya nak," kata mama Rani tulus. Hans sudah menjadi penyelamat bagi keluarganya.
"Sama sama bu. Sudah seharusnya aku melakukan itu," kata Hans. Dari saku celananya, Hans mengeluarkan tumpukan uang dan diberikan kepada mama Rani.
"Jangan lagi nak. Yang membayar hutang tadi sudah cukup," kata mama Rani. Tangannya bergerak menghentikan tangan Hans yang terulur ke arah dirinya.
"Jangan ditolak bu. Hans ikhlas," kata Hans. Hans meletakkan uang itu di pangkuan mama Rani sehingga wanita itu tidak bisa lagi menolak.
Di pintu kamar itu. Ace hanya bisa berdiri mematung melihat perlakuan Tuan Hans kepada sang mama. Perlakuan yang manis kepada sang mama sedangkan kepada dirinya baru saja bersikap dingin.
"Sebenarnya Tuan Hans itu adalah orang baik," kata Randi. Randi mengikuti langkah Ace yang berniat membuatkan teh untuk suami pura puranya itu dan untuk Randi.
Randi tidak berbohong. Sebagai Asisten tuan Hans. Dirinya menjadi saksi di setiap kebaikan yang diperbuat laki laki itu. Bahkan keluarganya sudah menerima kebaikan itu lewat Amira. Hanya saja, Hans tidak sembarangan menabur kebaikan. Hans selalu memastikan jika kebaikannya diterima oleh orang yang tepat.
Seperti beberapa jam yang lalu ketika mereka baru saja tiba di kota ini dari perjalanan luar kota. Ketika Randi menceritakan kesulitan yang dihadapi oleh Ace. Hans langsung meminta ponsel Randi setelah mengetahui jika Ace sebagai pemanggil.
"Iya, aku tahu."
Hanya itu jawaban Ace. Tidak mungkin dirinya membantah perkataan Randi karena hari ini berkat kebaikan tuan Hans mereka selamat dari pengusiran paksa pak Hardi. Tapi dalam hati, Ace mengingat semua penghinaan yang pernah dikatakan Tuan Hans kepada dirinya. Lagipula, uang yang dibayarkan untuk melunasi hutang tadi adalah bagian dari perjanjian mereka. Meskipun begitu. Ace sangat berterima kasih kepada Tuan Hans dan menganggap pria itu adalah penyelamat keluarganya.
"Terima kasih sayang," kata Hans. Segelas teh sudah ada di hadapannya. Dan kini mereka sudah di ruang tamu.
"Sama sama mas."
Ace kembali berterima kasih kepada Hans meskipun hanya di dalam hati. Sandiwara Hans sempurna sehingga bau bau pernikahan sandirawa tidak tercium kepada orangtuanya.
Tidak lama Hans di rumah mertuanya. Ace juga ikut pulang bersama dengan suaminya. Tiba di rumah, Ace mendahului Hans masuk ke dalam kamar. Ace langsung memberikan pelayannya kepada suaminya itu. Mempersiapkan bath up dan juga mempersiapkan pakaian ganti untuk suaminya.
"Bagaimana penyelamatan saya tadi. Keren kan?" tanya Hans ketika Ace keluar dari kamar mandi. Ace menganggukkan kepalanya. Sungguh, dia juga tidak menyangka kedatangan Hans di rumahnya tadi mengingat sikap diam yang ditunjukkan oleh Hans ketika dirinya menceritakan alasan menjadi pelayan hingga bersedia menikah pura pura.
"Sangat keren tuan," jawab Ace. Ace sebenarnya mengagumi cara Hans menyelesaikan masalah tadi yang tidak ada kekasaran sama sekali. Tapi Ace tidak sanggup mengungkapkan kekaguman itu. Mereka tidak dekat layaknya sebagai suami istri sungguhan.
"Kamu mengakuinya keren. Maka aku minta hadiah dari kamu."
"Hadiah apa Tuan?" tanya Ace bingung.
"Pikir saja sendiri. Dan jangan sampai hadiah yang kamu berikan mengecewakan aku."
Hans langsung masuk ke dalam kamar Mandi sedangkan Ace masih berdiri di kamar itu memikirkan hadiah yang diinginkan oleh Hans dari dirinya.
"Sebaiknya aku bertanya ke Bibi Santi saja. Apa yang disukai oleh Tuan Hans," kata Ace dalam hati.
Aku masih setia menunggu 🤧🤧🤧
Update dong kak 🙏🙏🙏
lupain anak2nya hanya gara pelakor