Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BumbleBee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Butuh Uangmu
"Tidurmu nyenyak?"
Suara Max terdengar rendah tapi jelas saat matanya menyapu Laura dari atas ke bawah.
"Ya, lumayan."
Laura berusaha terdengar santai, tapi tubuhnya menegang. Tatapan Max menyentuh titik lemahnya. Ia berharap pria itu tak menyadarinya.
"Aku tidak sama sekali," lanjut Max pelan, pandangannya tak beranjak dari wajah Laura. "Aku gelisah. Semalaman aku tak bisa tidur. Aku terus..."
"Kita bicara di sana," potong Laura cepat. Ia menunjuk bangku taman di sudut area. Sheila masih berdiri tak jauh, memperhatikan mereka dengan dahi berkerut. Laura tahu, jika Max terus bicara, semuanya bisa terbongkar.
Ia terbiasa menceritakan segalanya pada Sheila. Tapi tidak soal ini. Tidak tentang Max. Tidak tentang... kebodohan yang sempat ia lakukan.
Sesuatu yang terlalu panas, terlalu memalukan untuk diakui.
"Bukankah dia—"
“Sheila.”
Laura memotong ucapan sahabatnya sebelum kalimat itu selesai.
"Tunggu aku sebentar. Sepuluh menit, oke?"
Tanpa menunggu jawaban, Laura berjalan cepat ke arah bangku. Max sudah duduk di sana. Ia menepuk sisi kosong di sebelahnya.
"Aku senang melihatmu pagi ini," ucap Max ringan.
Laura menghela napas, lalu duduk dengan jarak yang cukup aman.
"Kuharap lain kali jika kita bertemu, kita tidak perlu saling menyapa."
Max tersenyum miring. "Kenapa begitu?"
"Karena aku tidak ingin!" Nada suaranya meninggi. "Aku sudah bilang, hubungan singkat kita sudah selesai. Aku akan mengirim bayaranmu. Hari ini juga."
Ia berdiri, merasa semua sudah cukup dikatakan. Tapi Max tidak semudah itu melepaskannya.
Tangan pria itu terulur, mencengkeram pergelangan tangannya. Tidak kasar, tapi cukup untuk membuatnya berhenti.
"Lau..."
Suaranya rendah dan serius. Tak seperti biasanya.
"Aku tidak butuh uangmu."
Laura menahan napas. Ia ingin menarik tangannya, tapi hatinya justru berdebar aneh. Max menatapnya dengan cara yang membuatnya ingin percaya... dan melarikan diri sekaligus.
"Butuh atau tidak butuh, aku akan mengirimnya. Bukankah kamu bekerja untuk itu. Aku akan membayar jasamu."
Max menatap Laura lebih lama, jemarinya masih membungkus pergelangan tangan wanita itu. Ada ketegangan di antara mereka, seperti aliran listrik yang tak terlihat tapi terasa.
"Jika kamu tetap memaksa," ucap Max pelan, matanya mengunci pada milik Laura, "seharusnya tugasku belum selesai, jika kita mengingat kontrak yang kita buat."
Laura mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Aku dibayar untuk menjadi pasanganmu, bukan hanya untuk satu malam. Kontraknya jelas, bukan? Kita sepakat selama satu bulan penuh."
"Tapi aku ingin mengakhiri semuanya."
"Kamu bisa saja ingin, tapi secara teknis, aku masih bekerja untukmu. Dan menurutku, aku belum menyelesaikan tugasku." Max mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Suaranya menurun, tapi ada tekanan di dalamnya. "Aku belum benar-benar membuat senang. Aku tidak suka gagal, Lau."
"Max—"
"Dan aku orang yang menyelesaikan apa yang sudah aku mulai, Lau."
Laura terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia benci betapa masuk akalnya ucapan Max. Benci karena ada bagian dalam dirinya yang... tidak ingin Max pergi begitu saja.
"Kalau kamu benar-benar ingin mengakhiri ini," lanjut Max, "batalin kontraknya secara resmi. Tulis. Kirim. Lalu aku akan pergi. Tapi selama itu belum terjadi..." Ia melepaskan tangannya perlahan, seolah memberikan kebebasan sekaligus peringatan. "...aku akan terus menjalankan tugasku."
Laura bangkit. Ia perlu menjauh. Napasnya pendek, dadanya terasa sesak.
"Sepuluh menit habis," ucapnya kaku. "Jangan ikuti aku."
Max tak menjawab. Ia hanya memandangi punggung Laura yang menjauh, dengan senyum samar yang sulit diartikan.
Langkah kaki Laura terasa berat saat ia kembali ke tempat Sheila berdiri. Gadis itu menyambutnya dengan tatapan penuh tanya, alis terangkat dan tangan terlipat di dada.
"Sepuluh menit?" sindir Sheila, menatap jam tangannya. "Itu nyaris dua puluh, Nona."
Laura mengembuskan napas, berusaha menyembunyikan riuh dalam dadanya. "Maaf. Sedikit lebih lama dari yang kupikirkan."
Sheila menatapnya lama, sebelum akhirnya berjalan menyusul Laura yang kini duduk di bangku dekat jalan setapak. Ia ikut duduk, menatap sahabatnya dalam diam.
Sheila mencondongkan tubuh. "Dia siapa, sih, sebenarnya?"
Laura menggigit bibir bawahnya. Ia menunduk, mempermainkan ujung jaketnya, mencoba mencari cara untuk menjawab tanpa benar-benar menjawab.
“Cuma... orang yang seharusnya tidak terlalu dekat denganku,” gumamnya akhirnya.
Sheila mengerutkan kening. “Kalian tidur bareng?”
Laura langsung menoleh. "Sheila!"
Sheila tertawa, "Astaga, aku hanya bergurau.”
"Gurauanmu tidak lucu sama sekali," ucapnya dengan wajah dongkol juga panik.
"Maafkan aku. Jadi, ceritakan padaku tentang pria itu. Tidak biasanya kamu mengenal seseorang tanpa kutahu."
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," bisiknya.
“Mulai dari kapan kamu ketemu dia.”
Laura menatap sahabatnya. Ia tahu, Sheila tak akan berhenti bertanya sampai ia mengeluarkan sesuatu.
"Beberapa minggu lalu. Aku dan dia bertemu di tempat Gym," katanya akhirnya, suara nyaris tak terdengar.
"Lalu?"
Laura menatap sahabatnya, lama. Lalu berkata, "hanya itu."
"Tidak ada acara makan siang atau makan malam berdua?" selidik Sheila.
"Tidak. Aku sudah punya suami. Untuk apa aku bersenang-senang dengan pria lain," kata Laura. Ia menunduk, memainkan tanah dengan kakinya.
"Aku tidak mengatakan kamu bersenang-senang, Laura," Sheila menepuk lengannya. "Tapi, jika kamu ingin melakukannya, kamu tidak perlu menahan diri."
Laura menoleh cepat ke arahnya. Sheila tersenyum penuh arti sambil memainkan matanya. "Sesekali nakal, bukan masalah besar, Laura. Kamu hanya perlu bermain aman agar Nicholas tidak menyadarinya."
Thor boleh aku kirim rudal Israel buat mereka,kelamaan nunggu mereka hancur,menangis,menyesal dan tak berani menampakkan giginya depan umum.viralkan Thor🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
geram aku sama kalian sejak dipaijo,digantung lagi hingga menghilang.untung kutemukan kalian disini,tempat neraka kalian
aku harap🙏🏻🙏🏻Niko menyesal dan sangat menyesal atas dosanya dan membawa kehancurannya,Badas Thor disini jangan nanggung
berat amat hidup Laura Thor sejak di Paijo sampai pindah sini masih begini😭😭😭😭kamu tega Thor,apakah kamu sekongkol sama Shella dan Niko juga max???