Lily Valencia seorang wanita yang cantik, yang mengandung dan membesarkan seorang anak seorang diri, tanpa tahu siapa yang menghamilinya.
Kehidupan yang keras ia lalui bersama Adam, putranya. Setelah Lily diusir karena di anggap aib oleh keluarganya.
Setelah Empat tahun berlalu, pria itu datang dan mengaku sebagai ayah biologis Adam.
"Dia anakku, kau tidak berhak memisahkan kami!"
"Dia lahir dari benih yang aku tanamkan di rahimmu. Suka atau tidak, Adam juga anakku!"
Lily tidak tahu seberapa besar bahaya yang akan mengancam hidupnya, jika ia bersama pria ini. Kehidupannya tak lagi bisa damai setelah ia bertemu dengan ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pisang goreng
Lily berniat menemui Aric di ruang kerja, tetapi ia bingung mau apa dia kesana. Tidak ada alasan untuk Lily menemui sang suami dan mengganggu perkerjaannya.
Sambil berpikir alasan yang tepat agar bisa masuk keruangan kerja Aric tanpa canggung, tanpa Lily sadari kakinya sudah melangkah ke ruang kerja.
"Aku harus ngomong apa sama dia? Hais ... ngapain juga sih aku ke sana," gumam Lily lirih kesal karena belum menemukan alasan yang bagus.
Suara pintu terbuka membuat Lily tersadar ia sudah ada di depan ruang itu. Lily segera bersembunyi di belakang guci besar yang ada taj jauh dari pintu. Rasanya sungguh malu jika bertemu dengan Aric sekarang.
"Nyonya apa yang sedang Anda lakukan di sana?"
Lily mengerutkan keningnya, suara itu bukan Aric. Ia pun memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya. Lily bernafas lega sambil memegang dadanya yang berdegup keras, karena terlalu gugup.
"Ehm ... Nggak apa-apa, cuma lagi liat Vas besar ini aja. Bagus ya," jawab Lily asal.
Wanita itu bangkit dari tempat ia sembunyi, sambil mengusap bagian guci besar berwarna biru tua, dengan detail naga berwarna keemasan.
"Selera Nyonya sangat bagus, ini adalah salah satu benda pemberian rekan kerja Tuan Aric dari China."
Seketika Lily menghentikan tangannya, lalu menarik sedikit menjauh.
"O ... begitu ya."
"Benar Nyonya, beliau sangat puas dengan keuntungan kerja sama dengan Tuan sehingga mengirimkan guci antik ini, sebenarnya ini bukan satu-satunya ada beberapa yang lebih mahal dan bagus dari ini" jelas Hakim.
"Ehm ... Memang berapa harga yang ini?"
"Kisaran 50 juta Nyonya."
Mata Lily melebar, ia langsung mengambil dua langkah aman dari guci besar itu. Hakim, tersenyum kecil, ia merasa lucu dengan tingkah sang Nyonya. Bagi Aric uang 50 juta bukanlah apa-apa di bandingkan istrinya, kenapa Lily terlihat begitu takut pada guci besar itu.
"Apa Nyonya ingin bertemu dengan Tuan?" tanya Hakim.
"Nggak, aku hanya bosan, dan jalan-jalan saja," Kilah Lily. Ia pun melangkah pergi dengan cepat meninggalkan Hakim.
Bingung mau kemana, akhirnya Lily pergi ke dapur. Tampak Mateo sedang menyiapkan sesuatu yang manis, Lily pun memutuskan untuk mendekat.
"Lagi buat apa Pak?" tanya Lily.
"Pisang goreng Nyonya."
Sebuah ide terbersit di benak Lily, bisa kan dengan alasan memberikan camilan pada Aric untuk masuk ke ruang kerjanya. Apalagi ini sudah waktunya jam untuk makanan selingan.
"Kalau begitu, tolong Pak Mateo siapkan, aku akan membawanya untuk Aric."
Tangan Mateo yang tadinya hendak membalikkan pisang goreng di penggorengan pun terhenti.
"Tuan tidak suka makan ini Nyonya."
"Kenapa, Pak?" tanya Lily dengan satu kerutan di keningnya, apa karena dia orang kaya sampai tidak sudi untuk makan makanan seperti ini.
"Itu, saya juga kurang tahu. Anda bisa menanyakan langsung pada Tuan, dan tolong panggil saya Mateo saja," jawab pria paruh baya itu dengan sopan.
"Tapi Pak Mateo lebih tua dari saya, Tidak sopan rasanya jika saya memanggil nama Pak Mateo langsung," kekeh Lily
"Kalau begitu terserah Nyonya saja." Mateo pun akhirnya mengalah.
"Kalau Aric tidak mau, mau Bapak apakan pisang goreng ini?"
"Untuk para pelayan di sini Nyonya, dari pada mubasir. Pisang yang saya beli, sudah terlalu matang."
Lily berpikir sejenak, kalau Lily tidak mengantarkan pisang goreng ini. Ia tidak punya alasan untuk bertemu dengan Aric, diakuinya atau tidak, Lily sangat ingin melihat wajah suaminya itu. Namun, ia merasa malu jika harus nyelonong ke sana tanpa alasan.
"Pak, boleh saya goreng pisang untuk Aric, mungkin dia akan mau jika saya yang membuatnya."
"Tapi Nyonya ..."
"Ish ... kelamaan, sini pisangnya."
Lily mengambil tiga buah pisang, memotongnya menjadi bulatan kecil kemudian menggorengnya.
Setelah selesai, Lily mengantarkannya ke ruang kerja Aric, tak lupa ia juga membawa segelas teh hangat. Lily mengambil nafas dalam sebelum mengetuk pintu yang ada dihadapannya.
"Masuk," sahut Aric saat mendengar suara ketukan pintu.
Lily pun masuk setelah membuka pintu besar itu. Aric masih sibuk berkutat dengan perkembangannya, tanpa berniat sedikitpun untuk melihat siapa yang masuk.
"Apa kau sibuk?" tanya Lily.
Mendengar suara yang begitu lembut dari wanita kesayangannya, Aric segera mendongakkan kepalanya. Mata hazel Aric berbinar melihat kedatangan sang permaisuri.
"Kenapa diam? Apa aku menganggu mu?" Aric menggelengkan kepalanya cepat.
"Tidak, aku malah senang. Sangat senang." Dengan cepat Aric bangkit dari duduknya, ia berjalan menghampiri Lily yang sedang meletakkan nampan yang ia bawa di meja.
"Aku hanya membawa ini untuk camilan, istirahatlah sebentar. Jangan terlalu lelah."
Lily membalikkan badan saat Aric berdiri tepat dibelakangnya. Alhasil wanita itu menabrak dada bidang suaminya.
"Terima kasih." Aric memeluk erat tubuh sang istri, ia sangat bahagia Lily mulai bisa dekat dengannya seperti ini.
"Sa-sama-sama, cepat makan mumpung masih hangat," ujar Lily menutupi kegugupannya.
Jantungnya berdegup kencang berada sedekat ini dengan Aric, aroma parfum yang bercampur keringat menguar memenuhi indra penciumannya, sungguh memabukkan.
"Apa yang kau bawa?"
"Pisang goreng."
Aric menelan salivanya, tengorokan pria itu tiba-tiba terasa kering mendengar nama buah berwarna kuning itu.
"Apa kau tidak suka? Aku membuatnya sendiri untukmu." Suara Lily terdengar sedih, jika sudah seperti itu bagaimana Aric bisa menolaknya.
"Tentu saja suka, aku akan memakan apapun yang dibuat oleh kedua tangan ini." Aric meraih tangan Lily kemudian mengecupnya.
Lily tersenyum, kedua pipinya bersemu merah. Aric menarik lembut tangan Lily, membawa sang permaisuri duduk diatas pangkuannya. Lily pun menurut saja, tidak bisa ia pungkiri, Lily merasa bahagia dengan cara lembut dan mesra Aric memperlakukannya.
"Suapi aku Istriku," pinta Aric dengan sungguh-sungguh.
"Dasar bayi besar manja." Aric menyengir memamerkan jajaran giginya yang putih.
Lily menarik piring yang berisi pisang goreng mendekat, ia menusuk satu pisang dengan garpu lalu menyuapkannya pada Aric.
"Enak?" Aric menjawabnya dengan anggukan, mulutnya masih mengunyah walaupun dengan tidak ikhlas. Dengan susah payah akhirnya ia bisa menelan makanan di mulutnya itu.
"Ehem ... aku mau ke kamar mandi sebentar." Aric menarik lembut Lily agar bangkit dari pangkuannya. Tanpa curiga Lily pun menurut.
Aric mulai merasa tak nyaman pada tubuhnya, ia melangkah dengan cepat menuju kamar mandi. Aric menutup pintu kamar mandi dengan kasar, hingga membuat Lily terkejut.
Nafas Aric mulai tidak beraturan dan terengah-engah, kulitnya mulai memerah dan gatal.
"Agh ... Sial!" umpat Aric saat merasakan gatal dan panas yang teramat sangat pada tubuhnya.
lucunya liat anne yang masih kecil tapi dah nurut ke adam apa mereka bakal berjodoh