Menjalin bahtera rumah tangga selama delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi seorang Marisa dan juga Galvin.
Namun pernikahan yang dilandaskan perjodohan itu tak membuat hati Galvin luluh dan memandang sosok sang istri yang selalu sabar menunggu.
Adanya buah hati pun tak membuat hubungan mereka menghangat layaknya keluarga kecil yang lain.
Hingga suatu hari keputusan Marisa membuat Galvin gusar tak karuan.
Instagraam: @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingkar Janji
Keduanya kini sudah terbaring dengan posisi saling membelakangi, setelah mereka masuk ke dalam kamar tak ada perbincangan apapun melainkan merebahkan tubuh untuk melanjutkan tidur malam.
Tapi sepertinya bukan rasa kantuk yang mereka dapat, tetapi rasa kantuk itu justru hilang entah kemana.
Udara dingin membuat Galvin dan Marisa terjaga dari tidurnya, ternyata tidur berdua malah menjadi sesuatu yang buruk untuk dilakukan.
Marisa menghembuskan nafas kasar, kini ia sedikit menyesal mengajak Galvin tidur di kamarnya.Tapi Marisa juga tak tega membiarkan Galvin tidur di atas sofa.
Hembusan nafas Marisa terdengar jelas di telinga Galvin, indera pendengarannya meyakinkan Galvin jika Marisa juga belum tidur sama seperti dirinya.
Sepasang suami-istri itu sama-sama tak mengeluarkan suara sedikitpun, keduanya benar-benar kaku di tengah kesunyian malam. Padahal mereka bisa saja mengisi waktu yang terkuras dengan obrolan ringan di malam hari.
"Ekhemmm.....!!"
Galvin berdehem cukup keras untuk meyakinkan jika Marisa masih terjaga sekarang, ada yang perlu galvin bicarakan dengan sang istri.
Suara Galvin membuat mata Marisa lebih terbuka lagi, lirikan matanya menoleh ke samping meski tetap tak bisa melihat tubuh suaminya.
"Kau sudah tidur?" Seru Galvin membelah keheningan.
Marisa dibuat tak percaya, ternyata Galvin sedari tadi tidaklah tidur. Marisa pikir hanya dirinya sendiri yang masih membuka mata di tengah malam seperti ini, tapi pria di sampingnya juga diam-diam masih dalam keadaan sadar.
"Be-belum..... " Lirih Marisa hampir tak terdengar.
Galvin membelalakkan mata saat mendengar jawaban dari Marisa, hatinya bersorak saat wanita itu mendengar pertanyaannya.
"Aku.... Ingin bertanya sesuatu" Ujar Galvin gugup.
"K-katakan saja..... "
Galvin terdiam sebentar, sebenarnya ini memang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah yang ingin ia bahas, tetapi mereka tak punya waktu banyak. Semakin cepat semakin baik, Galvin harus memanfaatkan waktu yang ada.
"Ini..... Tentang masalah gugatan perceraian"
Galvin menjeda kalimat sebelum ia melanjutkan perkataannya lagi.
"Apa kau..... Benar-benar serius melakukan itu?" Tanya Galvin dengan perasaan tak karuan, takut jika jawaban Marisa tak sesuai harapan.
Marisa membisu cukup lama, ia menelan ludah dengan susah payah mendapat pertanyaan tersebut.
Hatinya kembali redup memikirkan hal itu, kenapa Galvin harus bertanya masalah perceraian? Bukan ini yang Marisa inginkan!
"Aku tak pernah bercanda, Galvin.... "
Srettttt!!
Sayatan di lubuk hati Galvin begitu terasa hingga ke jantung utama ketika mendengar jawaban yang terucap dari bibir Marisa.
Galvin memejamkan mata menahan rasa sakit yang terdalam, bukan ini yang ia harapkan.
Lima menit mereka saling diam sampai dimana Marisa pun mengeluarkan suara terlebih dahulu.
"Apa sudah ditandatangani?" Tanya Marisa dalam posisi yang sama.
Galvin menghela nafas panjang, bolehkan ia tidak menjawab pertanyaan ini? Apa Marisa akan marah jika Galvin memilih diam? Ini terlalu sulit untuknya.
Sedangkan Marisa menunggu jawaban Galvin dengan perasaan was-was.
"Bagaimana jika aku tidak mau menandatangani surat itu?" Ucap Galvin menantang.
Marisa seketika berdiri dari tidurnya dan menatap ke arah Galvin dengan tatapan marah sekaligus terkejut.
"Apa maksudmu?? Kau sudah berjanji, Galvin!" ucap Marisa tak terima.
Galvin pun ikut beranjak dari tidurnya dan berdiri berhadap-hadapan dengan Marisa yang terhalang ranjang besar.
"Aku tidak pernah berjanji, Marisa. Kapan aku berkata seperti itu?" Ucap Galvin mengingatkan.
Dengan kekesalannya Marisa membisu mendapat pernyataan yang Galvin lontar.
"Walaupun kau tidak berjanji kau harus tetap menandatangani surat itu, Galvin!"
"Aku tidak harus menandatangani nya, orang yang menandatangani surat itu adalah orang yang setuju untuk bercerai. Jika aku tidak setuju maka aku tidak perlu melakukannya" Ucap Galvin yang mana semakin membuat Marisa tersulut emosi.
"Aku yakin kau juga ingin bercerai denganku, maka kau bisa tanda tangani surat itu secepatnya" Ujar Marisa menatap Galvin dengan tatapan tajam.
"Kenapa kau selalu berpikir sesuka hatimu, Marisa? Sejak kapan aku mengatakan jika aku ingin bercerai?"
"Kalau begitu kenapa kau tidak ingin bercerai? Apa alasanmu mempertahankan rumah tangga ini?! Katakan....! Karena aku sudah tidak tahan menjalani hubungan yang tidak jelas ini!!!" Ucap Marisa menggebu-gebu.
Mendengar ungkapan Marisa Galvin semakin teriris mendengarnya, hubungan tidak jelas katanya?? Ya, Galvin mengerti kenapa Marisa mengatakan itu.
Bukannya menjawab Galvin justru berjalan mendekat ke arah Marisa, berjalan memutar ranjang yang menghalangi mereka hingga ia berhenti tepat di depan istrinya.
"Katakan bagian mana yang tidak jelas" Pinta Galvin.
"Semua..!! Hubungan kita tidak seperti layaknya suami istri pada umumnya.
Tidak ada pasangan suami istri yang hanya sibuk dengan urusannya masing-masing, tidak ada pasangan suami istri yang hanya diam jika bertemu padahal banyak yang harus mereka bicarakan, coba pikirkan Galvin apa hubungan kita layak disebut suami istri selama delapan tahun ini?!! Tidak Galvin... Tidak!!" Sentak Marisa dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
"Kita bisa perbaiki semuanya, Marisa. Kita bisa melakukannya dari nol" Tutur Galvin memberitahu.
"Untuk apa?! Semua sudah terlambat bagiku. Tidak ada perbaikan apapun, untuk kali ini aku ingin memikirkan hidupku sendiri delapan tahun sudah cukup bagiku" Ungkap Marisa dengan tekad bulatnya.
Galvin mematung ditempat, tak ada kesempatan kedua untuknya. Semua sudah terlambat untuk diperbaiki, Marisa mungkin sudah mendapatkan kebahagiaan diluar sana. Kini Galvin hanya terdiam dengan seribu penyesalan.
"Aku ingin kau menyebutkan dimana kekurangan ku, aku ingin tahu apa yang sudah aku perbuat hingga menyakiti perasaan mu begitu dalam" Suruh Galvin dengan nada yang terdengar dingin.
Marisa menarik nafas panjang dan mulai menyebutkan letak kesalahan suaminya.
"Kau tidak pernah menatapku, kau tidak pernah mau berdekatan dengan ku, kau selalu menghindari ku, mengacuhkan ku, kau juga tidak pernah berbicara padaku. Kau lebih mementingkan pekerjaanmu, sahabat-sahabat mu, perusahaan. Kau tidak pernah peduli padaku dan kau juga..... "
Ucapan Marisa tiba-tiba berhenti di kalimat terakhir, merasa ragu untuk menyebutkan yang satu ini. Apa tanggapan pria itu nanti?
"Dan aku juga apa...?" Tanya Galvin menunggu lanjutan kalimat Marisa.
Marisa menunduk malu, jari-jemari nya saling bertautan di bawah sana hingga membuat rasa penasaran pada Galvin.
Galvin terus menunggu sampai Marisa mulai membuka mulut dan mengeluarkan suara kecilnya.
"Dan kau juga.........
T-tidak pernah....... Menyentuh ku.... " Lirih Marisa sendu.
Bola mata Galvin membesar seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar, namun dengan cepat Marisa kembali berbicara untuk menjelaskan maksud perkataannya.
"Tapi kau jangan salah paham dulu, maksudku..... Aku..... Aku tidak bermaksud mempermasalahkan urusan seperti itu... Hanya saja... Aku... Aku.... "
CUP!
Marisa terbelalak dengan lebar tak percaya dengan apa yang dilakukan Galvin.
Marisa Memberontak saat kesadaran muncul kembali, ia memukul bahu Galvin dengan keras berusaha menjauh dari sang pria agar berhenti.
Marisa mendorong dadaa bidang Galvin cukup kencang hingga membuat Galvin mundur beberapa langkah.
"Apa yang kau lakukan....?!!" Bentak Marisa tak terima.
"Memang kenapa? Kau marah saat aku tidak menyentuhmu dan sekarang saat aku melakukannya kau juga marah padaku" Tutur Galvin tak paham.
Marisa diam mendengar perkataan Galvin, kini kedua sama-sama mengeluarkan tatapan tajam. Namun tak lama raut wajah Galvin berubah menjadi sayu.
"Apa kau pikir aku tidak mau menyentuhmu selama ini, Marisa??"
"Tentu aku, mau! Tapi aku tidak berani mengatakannya, nyali ku terlalu kecil Marisa....!
Aku menginginkan mu! Tapi aku takut, takut jika kau menolak.... "
Tesss!
Air mata Marisa pun jatuh mengalir di kedua pipinya, kata-kata Galvin sukses membuat Marisa tak bisa menahan rasa sesak yang dia rasakan.
Untuk pertama kalinya Marisa mendengar kata-kata berbeda yang begitu indah di telinganya hingga tanpa sadar Marisa mendekat terlebih dahulu.