Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Hari pertama mereka tinggal bersama dimulai tanpa pelukan hangat, tanpa sarapan berdua, dan tanpa obrolan manis di bawah selimut. Bahkan, hari itu dimulai tanpa saling menyapa.
Rumah yang mereka tinggali adalah milik Lily—warisan turun-temurun yang kini telah direnovasi menjadi hunian bergaya modern industrial. Berdiri di atas lahan 500 meter persegi di jantung Senopati, bangunan dua lantai itu tampak mencolok namun berkelas. Dinding depannya didominasi bata merah ekspos yang dilapisi lapisan pelindung tipis, memberi kesan hangat tapi kokoh. Pintu kayu gelondongan tebal menjadi gerbang ke dalam dunia yang kini mereka tempati—bersama, tapi tidak benar-benar bersama.
Interior rumah itu dipenuhi perpaduan material natural dan logam gelap. Lantai semen ekspose, tangga baja hitam dengan railing kayu jati, dan jendela-jendela besar yang menghadap ke halaman dalam berisi kolam kecil dan taman kaktus yang rapi. Ada ruang kerja masing-masing, dapur bersih berfasilitas lengkap, serta ruang baca yang menghubungkan dua kamar utama.
Namun semua itu tidak membuat rumah itu terasa seperti rumah.
Setidaknya, bukan rumah bagi pasangan baru menikah.
...****************...
Lily tinggal di kamar sebelah selatan, yang menghadap langsung ke halaman kering dengan lampu-lampu gantung kecil di atasnya. Andre diberi kamar di sisi utara, dengan akses langsung ke ruang kerja pribadinya. Kamar mereka tidak bersebelahan, dipisahkan oleh ruang tamu tengah.
“Kalau kamu butuh sesuatu, bilang ke Mbak Ami,” kata Lily saat mereka masuk rumah untuk pertama kali. “Semua staf sudah diberi instruksi.”
Staf rumah terdiri dari tiga orang, Mbak Ami, kepala rumah tangga yang sudah bekerja sejak Lily kecil. Pak Rinto, sopir pribadi yang mantan anggota pengamanan Istana saat zaman kakeknya. Mas Arga, satpam dan teknisi rumah yang sehari-harinya seperti bayangan.
Mereka semua bukan orang sembarangan. Sejak bekerja di rumah keluarga mantan presiden, mereka sudah disumpah untuk tidak pernah bergosip, tidak mencampuri urusan pribadi, dan tidak menjawab pertanyaan wartawan.
Karena itu, meskipun Andre dan Lily nyaris tidak pernah bertegur sapa selama beberapa hari setelah tinggal bersama, tak satu pun staf rumah menanyakan atau menunjukkan ketertarikan.
Semua berjalan seperti biasa. Seperti mereka bukan pasangan suami istri.
...****************...
Kehangatan yang mereka rasakan di hari museum—walau ringan dan penuh canda—sirna seiring berjalannya hari.
Lily kembali ke dunia yang ia kuasai: dua restoran steak-nya yang kini semakin sibuk sejak pemberitaan pernikahan muncul di berbagai media. Ia keluar rumah jam 10 pagi, kembali kadang jam 10 malam, kadang lebih, dan lebih sering tidak pulang sama sekali saat harus mengawasi dapur pusat.
Sementara Andre sibuk dengan proyek real estate barunya di Cikini, proyek yang ia coba hidupkan kembali setelah sebelumnya mati suri akibat tekanan dari internal keluarga. Ia berangkat sebelum matahari muncul dan baru pulang saat langit hampir gelap.
Mereka seperti dua planet yang mengelilingi matahari yang berbeda. Tidak pernah berpapasan, hanya saling tahu dari cahaya yang mengabur di lorong rumah.
...****************...
Hari Ketiga
Pagi itu, Andre bangun lebih siang dari biasanya. Hujan semalam membuat udara di rumah terasa dingin dan lembap. Ia berjalan ke dapur mengenakan hoodie abu-abu dan celana pendek training. Di sana, ia menemukan secangkir kopi sudah tersaji.
Di sampingnya, secarik kertas kecil:
“Untukmu. Aku tahu kamu lebih suka kopi hitam. – L”
Andre menatap cangkir itu sejenak. Tak ada tanda bahwa Lily masih di rumah.
“Dia pergi jam 6, Mas,” kata Mbak Ami dari dekat kulkas. “Ada meeting supplier daging dari Australia.”
Andre hanya mengangguk, lalu duduk di kursi bar dapur yang sepi.
...****************...
Hari Keempat
Lily masuk ke rumah nyaris tengah malam. Sepatunya ia lepas di dekat pintu, dan langkahnya pelan menuju dapur. Ia membuka kulkas, mengeluarkan botol air, lalu menoleh ke arah ruang kerja di sudut.
Lampunya masih menyala.
Ia berjalan ke sana. Mengetuk pintu dua kali. Tak ada jawaban.
Begitu pintu terbuka, hanya ada laptop terbuka, file proyek berserakan, dan satu jas yang digantung di sisi sofa. Andre sepertinya baru keluar sebentar. Atau mungkin tidur di kamar. Lily tidak memeriksanya.
Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa detik, lalu kembali ke kamarnya. Dan malam itu pun berlalu seperti malam-malam sebelumnya: senyap, rapi, dan kosong.
...****************...
Hari Keenam – Ketegangan Kecil
Malam itu Lily pulang lebih awal, jam 9. Saat ia membuka pintu, Andre sedang duduk di ruang tengah, menatap TV yang tidak menyala.
Mereka saling menatap beberapa detik.
“Hai,” sapa Lily, singkat.
“Hai,” balas Andre, dengan nada yang sama.
Lily menggantung totebagnya dan duduk di ujung sofa. Jarak mereka hampir dua meter.
“Kamu gak tidur di hotel lagi?” tanya Andre.
“Capek. Dan aku kangen bantalku,” jawab Lily sambil melepaskan heels-nya.
Andre mengangguk, tapi kemudian menoleh. “Kita belum bicara soal apa pun sejak pindah ke sini.”
Lily membuka mulut, lalu menutupnya. “Kamu sibuk. Aku juga. Aku pikir… itu kesepakatan tak tertulis.”
Andre menatap lurus ke depan. “Masalahnya, aku bukan orang yang nyaman dengan diam terlalu lama. Aku bisa tahan gak disentuh. Tapi aku gak bisa tahan dianggap gak ada.”
Lily memiringkan kepala. “Maksudmu aku mengabaikanmu?”
Andre tidak menjawab.
Lily mendengus pelan. “Andre… aku gak tahu cara jadi istri yang baik. Aku bahkan gak yakin apa itu artinya. Tapi aku gak pernah niat ngegantung kamu di rumah ini.”
Andre berdiri. “Aku gak butuh kamu jadi istri yang sempurna. Aku cuma butuh tahu aku bukan boneka cadangan yang kamu taruh di rak.”
Sunyi.
Andre berjalan ke arah tangga. Tapi sebelum menghilang, ia berkata pelan, “Selamat malam.”
Lily memejamkan mata, menyandarkan kepalanya ke sofa.
Dan keheningan kembali turun seperti kabut—menyelimuti rumah bata merah itu, membuatnya terasa makin besar, makin indah, dan makin kosong.
...****************...
Rumah yang begitu lengkap. Bangunan yang disukai Andre sejak pertama kali melihatnya. Dapur mewah, ruang kerja pribadi, bahkan koleksi buku langka yang Lily sediakan untuknya di ruang baca lantai dua.
Tapi tak satu pun itu mampu menggantikan koneksi yang tak pernah benar-benar terbentuk.
Hari-hari berlalu seperti catatan pengeluaran. Rapi, terencana, dan tanpa emosi.
Dan meski tak satu pun dari mereka mengatakannya dengan suara keras…
Mereka berdua mulai merasa sendirian. Di dalam pernikahan yang sah. Di dalam rumah yang terlalu indah untuk dua orang yang tak pernah saling menyentuh.
...----------------...