HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siklus Bertengkar dan Berdamai
Tiga bulan setelah kejadian di rumah Rini.
Kehidupan Dewanga dan Tini masih seperti roda yang berputar—naik turun, panas dingin, bertengkar dan berdamai, lalu bertengkar lagi.
Hampir setiap hari.
Pagi itu, Dewanga bangun kesiangan—pukul 04.15, telat lima belas menit dari biasanya.
Ia langsung panik. Bergegas ke dapur, mulai membuat adonan dengan terburu-buru. Tangannya gemetar—takut telat berangkat, takut kehilangan pelanggan pagi yang biasa menunggu.
"Mah, baju Ayah di mananya? Ini udah siang, bentar lagi berangkat jualan." Dewanga berteriak pelan dari dapur—mencoba tidak terlalu keras agar tidak membangunkan Bimo.
Dari kamar, suara Tini menjawab dengan nada jengkel. "Tinggal cari aja sendiri! Kenapa sih lo selalu nanya?!"
Dewanga menghela napas. Ia berhenti sebentar, pergi ke kamar, membuka lemari dengan hati-hati.
Tapi baju yang biasa ia pakai tidak ada di sana.
"Tini... beneran gak ada. Kemarin kan aku kasih buat dicuci—"
Tini bangkit dari kasur dengan wajah merah. "SITU MATA TEH BUTA?! ITU DI JEMURAN! KENAPA GAK DIPAKE?! DASAR MATA GABLEG!"
Dewanga terdiam—baju memang ada di jemuran, tapi masih basah. Belum kering.
"Tapi... tapi masih basah, Tini—"
"TERUS?! SALAH GUA DONG?! LO YANG TELAT BANGUN! LO YANG GAK ATUR WAKTU! SEKARANG NYALAHIN GUA?!"
Suara Tini nyaring—memecah keheningan pagi.
Dari kamar sebelah, terdengar suara pintu dibuka keras.
"GARARANDENG TEA, ANJING! ARINDIT! KAITUH! LIEUR AING MAH!" Bimo berteriak dari dalam kamar—suaranya penuh amarah. Lalu pintu dibanting keras.
BRAK!
Dewanga menunduk. Dadanya sesak. Tangannya gemetar.
"Maaf... aku gak bermaksud—"
"EKA!" Tini berteriak keras—mengabaikan Dewanga sepenuhnya. "EKA BANGUN! NYARING SIAH! BUDAK TEU GUNA! EWEUH GADAG PISAN! WAYAH KIE MOLOR KENEH!"
Dari kamar kecil di sebelah, Eka terbangun dengan wajah bingung—matanya masih sembab, rambutnya acak-acakan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu keluar dengan langkah gontai.
"Mama... Eka masih ngantuk..." bisiknya pelan.
"NGANTUK?! INI UDAH JAM BERAPA?! AYAH MAU BERANGKAT, EH LO MASIH TIDUR! BANTUIN AYAH, CEPET!"
Eka mengangguk pelan—tidak berani membantah. Ia berjalan ke dapur dengan langkah lelah, menatap Dewanga dengan mata kosong.
Dewanga menatap Eka dengan hati sesak—anak kecil itu seharusnya masih tidur, bukan dibentak seperti ini.
"Eka, gak papa. Ayah bisa sendiri. Eka tidur lagi aja—"
"JANGAN DIMANJAIN!" Tini memotong tajam. "DIA HARUS BELAJAR BANTU ORANGTUA! JANGAN JADI ANAK MANJA!"
Dewanga tidak berani menjawab lagi. Ia hanya menunduk, melanjutkan membuat adonan dengan tangan gemetar.
Eka berdiri di sampingnya—diam, tidak tahu harus berbuat apa.
Siang hari. Dewanga pulang.
Rejeki hari ini lumayan—seratus delapan puluh ribu. Ia pulang dengan hati sedikit lega—setidaknya bisa setor uang yang cukup.
Ia masuk rumah dengan hati-hati. "Tini, aku pulang."
Tini duduk di sofa, menonton sinetron. Wajahnya sudah tidak merah lagi—sudah tenang, seolah tidak terjadi apa-apa pagi tadi.
"Tadi laku berapa?" tanyanya tanpa menoleh.
"Seratus delapan puluh ribu." Dewanga mengeluarkan uang dari sakunya, menyerahkannya pada Tini.
Tini mengambil uang itu, menghitung cepat. Lalu ia mengambil seratus tujuh puluh ribu, menyisakan sepuluh ribu di tangan Dewanga.
"Ini buat lo. Jajan besok." Nada suaranya datar—tidak ada kehangatan, tapi juga tidak ada kemarahan.
Dewanga menatap uang sepuluh ribu di tangannya. Ia ingin protes—ingin bilang bahwa ia butuh lebih untuk modal besok—tapi ia tidak berani.
"Terima kasih..." bisiknya pelan.
Tini menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil—senyum yang aneh, tidak hangat tapi juga tidak dingin. Hanya... datar.
"Udah makan?"
"Belum."
"Ada nasi di rice cooker. Sayur di kulkas. Angetin sendiri."
"Iya."
Dewanga berjalan ke dapur. Mengambil nasi. Memanaskan sayur lodeh. Duduk sendirian di meja makan kecil—makan dengan perlahan, mengunyah tanpa rasa.
Tidak ada yang menemani. Tidak ada yang bertanya "Gimana hari ini?" Tidak ada kehangatan.
Hanya rutinitas yang dingin.
Tapi setidaknya... tidak ada bentakan siang ini.
Dan bagi Dewanga, itu sudah cukup.
Malam hari.
Dewanga sedang mencuci piring di dapur. Tangannya masih pegal—sisa kerja seharian.
Tiba-tiba Tini datang dari belakang, memeluknya dari belakang—pelukan singkat, tidak erat, hanya sekilas.
"Dewa..."
Dewanga terdiam. Jantungnya berdegup—ini jarang terjadi.
"Iya?"
"Maaf ya... tadi pagi aku marah-marah."
Dewanga menoleh. Menatap wajah Tini yang... datar. Tidak ada penyesalan yang dalam di sana. Hanya... formalitas.
"Gak papa..." Dewanga berbisik pelan.
"Aku lagi banyak pikiran. Jadi gampang emosi."
"Aku ngerti."
Tini melepas pelukannya, lalu berbalik pergi—kembali ke sofa, melanjutkan menonton TV.
Tidak ada pelukan lebih lama. Tidak ada ciuman. Tidak ada percakapan lebih dalam.
Hanya "maaf" yang keluar karena kebiasaan, bukan karena rasa bersalah yang tulus.
Dewanga melanjutkan mencuci piring—air matanya hampir keluar, tapi ia menahannya.
"Ini sudah lebih baik dari kemarin," bisiknya pada diri sendiri. "Setidaknya dia minta maaf."
Tapi dalam hatinya, ia tahu—ini bukan perbaikan.
Ini hanya jeda sebelum badai berikutnya.