Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. menantang
Lorong panjang itu terasa semakin sempit ketika seluruh keluarga besar Asmirandah berjalan menuju satu titik, ruangan tempat Anna disekap. Dirga berjalan di barisan tengah, namun seluruh tubuhnya terasa seperti diikat tali tak kasat mata, setiap langkah memaksa napasnya pendek dan panas.
Jam 03.30 subuh. Cahaya lampu-lampu kuning pucat di sepanjang lorong membuat wajah orang-orang di sekelilingnya tampak lebih dingin, lebih bengis. Tatapan Tuan Asmir, tajam dan berat, terarah langsung pada Dirga seolah ingin menembus kulit dan membaca isi kepalanya. Sedikit saja ia salah bicara, semuanya bisa runtuh.
Paman Asmirandah berjalan di sisi Tuan Asmir, bahunya tegang, wajahnya memancarkan ketidaksenangan yang jelas. Sejak awal, pria itu memang tak pernah menyukai keberadaan Dirga di rumah ini. Dan malam atau tepatnya subuh itu, kebenciannya semakin kental.
Di antara ketegangan itu, Asmirandah menggenggam lengan Dirga erat-erat, seolah ingin menenangkan meski nyatanya justru membuat Dirga semakin sulit bergerak. Genggaman itu bukan kasih sayang, tapi kepemilikan. Dan Dirga tahu, jika ia menunjukkan sedikit saja kegelisahan, gadis itu akan curiga.
“Mereka bilang ada yang mencurigakan di ruangan bawah,” bisik Asmirandah seolah ingin memberi alasan. “Ayah ingin memastikan semuanya aman.”
Dirga hanya mengangguk. Tenggorokannya terasa seperti disumpal pasir. Dalam hati, ia menghitung waktu berapa lama lagi sebelum pasukan Mayor Kevin mengepung mansion, 1 jam atau 2 jam dia harus bertahan. Hanya sampai subuh benar-benar tiba.
Mereka berhenti di depan pintu baja besar di ujung lorong. Dua pengawal yang berjaga langsung menunduk.
Tuan Asmir mengangkat sedikit tangannya. “Buka.”
Pengawal itu menekan kode dan memutar kunci manual. Suara mekanis berderit pelan, seperti monster tua yang terbangun dari tidur panjang.
Pintu terbuka, Anna duduk di kursi kayu, tangan terikat di belakang, wajahnya dipenuhi bekas tamparan. Rambutnya kusut, ujung bibirnya pecah. Pandangannya kosong, terayun di antara sadar dan pingsan.
Dirga hampir tak mampu mengatur ekspresinya. Dadanya menegang, kakinya hampir melangkah maju refleks namun Asmirandah mempererat pelukannya di lengan Dirga, menahan tubuhnya dengan cara yang tampak lembut namun menusuk seperti borgol.
Salah satu pengawal masuk membawa ember penuh air.
“Bangunkan dia,” perintah Tuan Asmir datar.
Dirga menahan napas. Air menghempas wajah Anna dengan keras. Gadis itu tersentak hebat, tubuhnya menegang, lalu batuk berulang kali, terengah-engah mencari napas.
'A—anna…'suaranya nyaris lolos dari tenggorokannya.
Tapi Dirga menggigit bibirnya kuat-kuat. Tidak sekarang, tidak saat semua mata tertuju padanya. Tangannya terkepal sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya menggembung karena ototnya menahan diri dari ledakan emosi. Di balik sorot matanya yang pura-pura datar, badai dahsyat sedang mengamuk.
Dalam hati, ia berjanji, bertahan sedikit lagi, Anna, subuh sebentar lagi datang. Dan setelah itu, neraka akan datang untuk keluarga ini.
Tubuh Anna masih bergetar setelah siraman air barusan. Tetes-tetes terakhir jatuh dari dagunya, menetes ke lantai dingin. Pandangannya kabur, namun ia tahu ke mana matanya harus berhenti.
Begitu tatapan mereka bertemu, dunia seolah membeku. Mata Anna yang bernanar merah, lelah, penuh luka bertemu dengan sorot mata Dirga yang tersembunyi di balik topeng tenang. Di antara mereka, ada puluhan kata yang tak bisa diucapkan. Ada kerinduan, ada ketakutan, ada permohonan untuk bertahan.
Namun Anna, meski tubuhnya gemetar, adalah gadis cerdas. Ia tahu ini bukan waktunya.
Bukan waktunya menatap lama. Bukan waktunya berharap. Bukan waktunya menagih janji. Ia hanya mengerjap pelan, memberikan sinyal kecil yang hanya bisa ditangkap oleh orang yang mengenalnya sedalam darahnya sendiri, aku masih hidup, jangan bodoh jangan sekarang. Dirga menangkap sinyal itu.
Tapi sebelum ia bisa memalingkan wajah, Asmirandah melangkah maju. Dengan anggun kejam seorang putri keluarga mafia, ia meraih rambut Anna menariknya keras hingga kepala Anna mendongak paksa. Napas Anna tercekat, rahangnya menegang menahan sakit.
“Berani sekali kau berbohong di rumah keluarga Asmir,” bisik Asmirandah, suaranya manis namun berbisa.
Plak!
Tangan Asmirandah mendarat di pipi Anna. Kepala Anna terhentak ke samping.
Plak!
Tamparan kedua lebih keras. Suara telaknya menggema di ruangan itu seperti cambuk. Dirga memejamkan mata sepersekian detik, beda tipis antara menahan emosi dan meledakkan seluruh rencana penyelamatan dari dalam dirinya.
Nafasnya putus-putus. Tangannya di samping tubuh mengeras, urat-urat muncul. Ia tahu Asmirandah sedang mengamatinya. Ia tahu gadis itu sengaja melakukannya di depan matanya, menunggu ia bereaksi, menunggu ia menunjukkan sesuatu yang tidak semestinya.
Asmirandah melirik Dirga, melihat tidak ada reaksi selain mata terpejam singkat, ia tersenyum kecil senyum yang menantang, senyum yang ingin memancing badai. Senyum yang berkata, aku ingin melihatmu kehilangan kendali.
Dirga membuka matanya perlahan. Napasnya ditahan. Badai di dadanya ditarik kembali ke kandang besi. Ia memaksakan wajah datar, menunduk sedikit, pura-pura tidak mau ikut campur.
“Andah, cukup,” ucap Tuan Asmir akhirnya.
Asmirandah melepaskan rambut Anna dengan kasar. Kepala Anna jatuh kembali, terguncang kecil, tapi ia tetap berusaha duduk tegak.
Asmirandah berpindah dan kembali berdiri di sisi Dirga, memeluk lengan Dirga dengan mesra untuk memperlihatkan pada pria itu kalau dia layak di sini Dirga.
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕