Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Compromise
"Tapi saya nggak bisa gaji banyak, Mas."
K tersenyum bersahaja, layaknya anak sholeh yang sepanjang jalannya selalu diiringi doa ibunda. "Nggak apa-apa, Pak. Saya juga hitung-hitung isi waktu luang, sebelum nanti dapat pekerjaan baru," katanya. Tutur katanya lembut, sorot matanya teduh, membuai siapa saja yang tengah berbicara dengannya.
Pria tua di depannya menggaruk kening, lalu menghela napas pelan. "Kalau gitu, Mas bisa mulai kerjanya kapan?" tanyanya.
Senyum K terkembang. Wajahnya langsung tampak semringah. "Hari ini juga bisa, Pak." Balasannya terdengar antusias.
"Hari ini nggak ada jadwal pengiriman," kata si pria tua. Namanya Lukman, pemilik perkebunan kecil yang menyuplai sayur-mayur dan beragam buah ke beberapa tempat, termasuk panti jompo yang rutin Han Jean kunjungi. "Mas mulai besok ya. Nanti saya kasih jadwal pengirimannya."
K mengangguk semangat. "Siap, Pak! Terima kasih banyak udah kasih saya kesempatan," ujarnya girang. Tangan renta Pak Lukman diciumnya berkali-kali, menunjukkan kebahagiaan yang membuncah selayaknya pencari kerja yang akhirnya dapat kesempatan.
Cerita sedihnya soal dipecat sepihak, di saat dirinya harus membiayai ibu dan empat orang adik, berhasil menyentuh hati Pak Lukman. Pria tua kesepian itu sudah masuk dalam kepiawaian K bersandiwara. Satu hal yang sebenarnya sudah K perkirakan sejak kali pertama menjadikannya target.
"Hari ini, ada yang bisa saya bantu dulu? Gratis, Pak. Yang hari ini nggak perlu dihitung kerja," kata K lagi menawarkan. Diamatinya sejak tadi, gudang tempat Pak Lukman menyimpan hasil kebun tampak cukup berantakan. Sudah pasti pria tua ini kewalahan mengurusnya sendirian.
"Mas mau bantu saya? Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa dong, Pak. Saya malah senang," balas K seraya menyengir lebar. "Ayo, mana yang bisa saya bantu. Saya kerjakan sekarang juga, Bapak cukup duduk manis kasih instruksi."
Pak Lukman menggeleng pelan. Kerutan muncul di sudut matanya, ketika ujung-ujung bibirnya tertarik perlahan. "Ya sudah kalau Mas maksa. Mari, kita mulai beres-beres."
Dari situ, K benar-benar mengerjakan apa yang dia bisa dengan senang hati. Tidak ada menggerutu. Dia benar-benar menikmati perannya sebagai Dimas Badai, si pengangguran baru yang kini mendapat harapan setelah diterima kerja jadi driver mobil box sayur.
Di luar pontang-panting pekerjaannya, yang tidak jarang harus bertaruh nyawa, K cukup senang bisa merasakan banyak pengalaman di setiap penyamarannya. Dia senang bisa menjalani hari dengan identitas yang berbeda-beda, membuat hidupnya tidak terasa membosankan. Minusnya, kadang kala, dia jadi terlalu larut dalam karakter, sampai hampir lupa pada jati dirinya sendiri.
Drttt drttt…
Ponsel di sakunya bergetar, sewaktu dirinya sedang memilah sayur. K mengangguk sopan pada Pak Lukman, tak lupa tersenyum manis.
"Saya boleh telepon ibu saya sebentar? Dari tadi beliau kirim pesan terus," katanya.
Pak Lukman mempersilakan. K pun langsung bergegas keluar, mencari tempat aman untuk memeriksa ponselnya yang memang sudah sejak tadi bergetar tiada henti.
Di bagian belakang gudang, K mengeluarkan ponselnya setelah memastikan keadaan sekitar aman. Group chat dengan para agen penuh, terisi raturan pesan yang membuat K sejenak pening. Heran juga, karena tidak biasanya group chat mereka seramai ini. Didorong rasa penasaran, K menggulir layar sampai paling atas. Satu persatu pesan dibacanya, dan beragam reaksi muncul secara alami.
Mula-mula, pesan-pesan yang dibagikan masih normal saja. Berisi informasi posisi yang saling dikirimkan dan dibalas sebagaimana mestinya. Namun lama-lama, topik pembicaraan mereka melebar ke mana-mana. Daripada fokus mengatur strategi, mereka malah mulai membicarakan soal Nona Kertapati.
"Hei … mabuk kecubung kah kalian? Berani-beraninya ngomongin orang yang sedang dilingungi."
K menggeleng tak habis pikir. Dia berhenti menggulir layar, memutuskan menghubungi sang agen utama untuk memberikan peringatan. Teleponnya diangkat dalam waktu kurang dari dua detik sejak dibuat. Agen utama menyambutnya dengan sapaan sopan seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Apa-apaan isi group chat kita itu? Gimana kalau Chief Angger baca?"
"Chief Angger udah saya keluarin dari grup, Bos."
"Lah??" K setengah berseru. "Kenapa? Berani betul kamu keluarin bos besar?"
"Tenang, Bos, tenang." Agen utama berusaha menenangkan, mencegah K meledak. "Kita pindah ke grup baru, isinya cuma kita bertiga."
"Kenapa begitu?"
"Chief Angger yang minta," jawab si agen utama. "Biar lebih fokus, katanya. Habis agen kita kebanyakan sih, mungkin Chief Angger jadinya pusing."
K menggaruk pelipis. Bingung sudah mau berkomentar apa. Dirinya sibuk sendiri dari pagi, tidak ngeuh juga kalau ternyata sudah dibuatkan group chat baru. "Tapi tetap aja," katanya kemudian, "jangan sembarangan ngomongin Nona Kertapati."
Di seberang, agen utama terdengar menggerutu tidak jelas. K hampir menyemprotnya dengan kata-kata kasar, kalau ia tidak segera bersuara lebih dulu. "Iya, Bos, maaf. Kami cuma amazed aja, ternyata Nona Kertapati bukan orang menye-menye. Karena itu, kita harus ubah pendekatan, Bos. Harus ikut hati-hati juga biar nggak ketangkap basah."
K terdiam sebentar, matanya terpejam. Agak pusing kepalanya sekarang. "Udahlah, yang udah lewat biarin lewat, yang penting sekarang kita fokus ke tugas kita, jangan gampang terdistraksi. Kalian tahu kan, apa harga yang harus dibayar dari satu misi yang gagal?" ocehnya panjang lebar.
Agen utama menjawab dengan suara pelan, bahwa ia mengerti. Lantas telepon diputus, dan K langsung beralih memeriksa group chat baru yang katanya sudah dibuat. Saat room chat dibuka, isinya baru ada beberapa pesan, di antaranya foto seekor anak kucing. Agen utama menceritakan soal anak kucing itu serta hubungannya dengan Nuansa, yang kemudian diberi reaksi oleh Angger—intinya menunjukkan bahwa Angger tahu Nuansa memang menyukai hewan, terutama kucing.
"Chief tahu banyak banget soal Nona Kertapati," gumamnya, seraya menutup room chat dan memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. "Kalau kayak gitu, siapa yang bakal percaya kalau dibilang mereka musuh bebuyutan sewaktu SMA?" sambungnya, untuk ditinggalkan begitu saja di sana, hilang tersapu angin bersama debu-debu halus dari perkebunan di belakangnya.
...✨✨✨✨✨...
Yang lain pontang-panting di lapangan, Angger duduk manis di sofa empuk sambil mengunyah permen yupi. Selama itu pula, ponsel siaga di tangan, setiap notifikasi pesan langsung dia periksa, agar cepat dia pikirkan instruksi selanjutnya yang harus dia berikan pada para agen.
Sampai tiga menit lalu, agen utama masih mengiriminya pesan, mengonfirmasi bahwa Nuansa telah sampai di kediamannya dengan selamat, bersama dengan anak kucing yang dipungutnya dari taman. Agen utama itu juga sambil bercanda, mengatakan Nuansa disambut jin botak ketika hendak masuk rumah. Angger sempat menertawakan celetukan tentang jin botak itu, yang Angger tahu maksudnya adalah Amy.
"Oh…" ucapnya, pada seseorang yang kini berbicara dengannya melalui sambungan telepon. "Terus, apa lagi?"
"Deseu bilang sengaja mungut kucing itu buat jadi jimat, biar setan yang nempel di badan deseu hilang, terserap energi negatifnya sama si kucing."
Angger terkekeh pelan. "Lo bilang sama dia, justru kucing itu bakal bikin setannya makin nempel. Soalnya setan yang lagi ikutin dia sekarang ini, juga suka sama kucing."
"Ihhh … kalau eyke bilang begitu, nanti deseu curiga dong! Eyke kan masih pura-pura nggak tahu kalau setan yang deseu maksud itu yey."
Angger mengulum senyum. "Ya udah, terserah deh lo mau gimana sama keadaan ini. Yang penting kalau ada sesuatu yang lo rasa aneh, langsung kabarin gue."
"Siap! Eyke jamin semua aman terkendali di sini."
"Sip."
Telepon ditutup, dengan Angger yang merasa puas. Iya, barusan itu Amy. Tanpa sepengetahuan Nuansa, pria gemulai itu sesungguhnya sudah berhasil Angger lobi untuk ikut serta di dalam misi. Tentu saja setelah Angger selidiki lebih dulu, apakah Amy adalah pihak yang aman. Itu pun keterlibatannya hanya sebatas permukaan. Amy belum diberi tahu sampai terlalu jauh. Angger masih menunggu momen yang tepat, serta pertimbangan yang matang.
Satu lagi bungkus yupi dibuka, Angger kunyah permen kenyal itu perlahan, sambil otaknya kembali bekerja cermat.
Bersambung....