Vanya sengaja menyamar menjadi sekretaris yang culun di perusahaan milik pria yang dijodohkan dengannya, Ethan. Dia berniat membuat Ethan tidak menyukainya karena dia tidak ingin menikah dan juga banyaknya rumor buruk yang beredar, termasuk bahwa Ethan Impoten. Tapi ....
"Wah, ternyata bisa berdiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Ethan tersenyum tipis sambil berjalan cepat menuju kursi kelas bisnis di pesawat. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Vanya.
Baru saja dia mendudukkan dirinya di kursi yang empuk, tiba-tiba seorang wanita cantik dengan aroma parfum yang kuat dan manis duduk di kursi tepat di sebelahnya, dipisahkan oleh sandaran lengan.
"Ethan, mengapa tidak menungguku?" tanya Laura dengan nada manja-manja kesal. "Sedari tadi aku mencari kamu."
Baru saja rasa mualnya mereda sepenuhnya, tetapi Laura kini berada di dekatnya. Meskipun terhalang pembatas kursi, tetap saja aroma parfum vanilla Laura seperti menusuk hidungnya. Bau yang sebelumnya biasa saja, kini terasa sangat menyengat dan memuakkan.
Buru-buru Ethan meraih mengambil masker dan memasangnya. Perutnya kembali bergejolak. Dia membuka permen mint dan memakannya untuk menahan agar tidak terlalu mual.
"Kamu masih sakit?" tanya Laura, nadanya khawatir.
Ethan tak menjawab. Dia memasang sabuk pengaman sesuai instruksi pramugari. Sepanjang pesawat mulai lepas landas, dia terus mengalihkan pandangannya ke jendela, memijat pelipisnya, dan berusaha berkonsentrasi pada Vanya, bukan pada aroma yang mengganggu itu.
Setelah ketinggian tercapai, Laura kembali mendekat, berusaha menarik perhatiannya. "Kamu sudah periksa? Kamu pucat sekali."
Rasa mual Ethan memuncak. Dia benar-benar tidak bisa menahan reaksi tubuhnya.
Ethan menoleh, tatapannya tajam dan kesal di balik maskernya. "Sudah aku bilang, jangan ajak aku bicara! Aku benar-benar mual dekat sama kamu! Tolong, jangan dekat-dekat!"
Wajah Laura langsung berubah, tersinggung dan bingung. Namun, melihat betapa pucatnya Ethan, dia akhirnya terdiam.
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam itu, Ethan terus menahan rasa mualnya. Dia hanya bisa sesekali memejamkan mata sambil memijat pelipisnya.
Meskipun harus menahan penderitaan fisik, Ethan sangat bahagia. Dia rela merasakannya, asalkan Vanya tidak merasakan apa pun.
***
"Akhirnya, pekerjaan selesai dan waktunya pulang. Satu minggu ini aku benar-benar serius bekerja tanpa akting," gumam Vanya sambil tersenyum.
"Iya, Bu Bos memang hebat!" kata Raka sambil mengemasi semua dokumen. "Anak-anak Pak Bima memang hebat-hebat semua. Pekerjaanku jadi lebih ringan. Acara launching besok juga sudah siap. Sekarang Ethan pasti sudah sampai rumah." Kemudian Raka keluar dari ruangan itu.
Vanya mengambil botol minumnya dan meneguknya sambil melamun. Dia juga tidak menyangka, ternyata dirinya sehebat itu. Bahkan setelah tahu dia hamil, dia justru semakin berenergi.
Vanya meletakkan botol minumannya lalu tersenyum sambil mengusap perutnya tanpa sadar.
Tiba-tiba saja ada yang memeluknya dari belakang.
Vanya sangat terkejut dan menjerit. Namun, saat dia menoleh ternyata Ethan yang datang menemuinya.
"Pak Ethan, apa yang Anda lakukan?" Vanya berusaha melepas pelukan Ethan tapi pelukan itu sangat erat.
Ethan memejamkan kedua matanya dan menghirup dalam aroma manis Vanya. Perlahan, rasa mual dan pusing itu benar-benar menghilang.
"Pak Ethan, lepaskan! Apa yang Anda lakukan?"
"Sebentar saja aku ingin memeluk kamu."
Vanya tidak lagi berusaha melepas kedua tangan yang melingkar di perutnya karena pelukan itu memang terasa sangat nyaman.
Perlahan, Ethan memutar tubuh Vanya. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir itu. Perlakuan Ethan yang tiba-tiba itu membuat Vanya mundur hingga pantatnya menyentuh meja kerjanya. Dia akan mendorong Ethan tapi urung.
Ciuman itu sangat lembut yang membuat dada Vanya berdebar-debar. Dia mengikuti setiap pagutan yang diberikan Ethan. Entah mengapa, dia enggan untuk melepasnya.
Ethan semakin mendorong Vanya hingga Vanya setengah duduk di mejanya. Dia sangat rindu dengan bibir itu. Meski dulu dia melakukannya dalam kondisi mabuk, tapi dia masih ingat betul aroma dan rasa manisnya.
"Astaga! Pak Ethan!" Raka sampai menjatuhkan berkas yang dia bawa saat dia melihat bosnya yang sedang mencium brutal Vanya di kantor. Buru-buru dia menunduk dan merapikan kertas yang berhamburan di lantai.
Vanya mendorong dan mencubit keras lengan Ethan. "Apa yang Pak Ethan lakukan?! Enak aja datang-datang tiba-tiba main cium aja."
Ethan tercengang mendengar perkataan Vanya karena beberapa menit itu Vanya sangat menikmati ciumannya. Bahkan dia tidak malu membalasnya.
"Aku akan keluar, lanjutkan saja ...."
"Raka, kamu di sini saja. Aku mau pulang." Vanya akan mengambil tasnya tapi Ethan menahannya.
"Ayo makan." Ethan menunjuk makanan yang sengaja dia beli karena dia benar-benar ingin makan dengan Vanya.
"Tidak perlu. Pak Ethan minta Raka saja menemani," kata Vanya sambil tersenyum kaku. Dia akan kabur dari Ethan tapi Ethan terus saja menahannya.
"Aku maunya kamu yang menemani."
Vanya menautkan kedua alinya kesal. Jika bukan karena janin yang dia kandung, dia enggan menemani Ethan.
Vanya akhirnya mengikuti Ethan dan duduk bersamanya.
Ethan membuka beberapa kotak makanan lalu menyantapnya dengan lahap. "Kamu makan juga. Ini makanan sehat."
Vanya juga mulai menyantapnya. Sesekali dia menatap Ethan. "Pak Ethan belum makan sedari tadi?" tanya Vanya.
"Sudah tadi pagi. Tapi aku muntah-muntah setelah pesawat berhenti."
Raka tertawa mendengar pengakuan itu. "Pak Ethan mabuk perjalanan? Tidak biasanya sampai muntah. Kan Pak Ethan duduk sama Laura."
Seketika Ethan menatap tajam Raka. "Iya, aku mual cium baunya. Ini semua salah kamu! Mengapa kamu memesan tiket di sebelah dia!"
Sedangkan Vanya kini menusuk makanannya dengan garpu cukup keras. "Tidak suka cium baunya? Memang sedekat apa Pak Ethan sama wanita itu? Sepertinya aku harus sikat gigi. Aku paling jijik bekas orang lain."
Vanya berdiri dan pergi meninggalkan Ethan.
Ethan segera berdiri dan mengikuti Vanya. "Vanya, bukan begitu. Dalam jarak satu meter saja aku sudah bisa mencium baunya. Baunya seperti ...." Ethan kembali mencium bau itu dan seketika perutnya mual lagi. Buru-buru dia menutup hidung dan mulutnya.
Vanya melihat seorang wanita yang berjalan mendekat sambil tersenyum ke arah Ethan.
"Ethan, bukankah kamu sakit? Mengapa langsung ke kantor? Kebetulan, tim marketing kamu mengundangku untuk acara launching besok. Sekalian aku bawakan obat lambung yang ampuh buat kamu biar kamu cepat sembuh." Laura mengulurkan satu kantong plastik yang berisi obat pada Ethan.
Namun Ethan justru menepisnya. Baru saja perutnya terisi penuh, sekarang sudah terasa diaduk lagi. "Sudah aku bilang, jangan dekat-dekat denganku!"
Ethan berbalik dan berjalan cepat menuju toilet di ruangannya.
Vanya melebarkan kedua matanya. "Jangan coba-coba mendekati Pak Ethan lagi!" kata Vanya memperingatkannya. Siapapun yang membuat Ethan mual, sama saja mengusiknya.
"Hei, kamu siapa berhak melarangku!"
Daripada meladeni Laura berdebat, lebih baik dia menyusul Ethan dan melihat kondisinya.
Terlihat wajah Ethan yang kembali pucat sambil berkumur dan menggosok giginya. Sesaat dia merasa kasihan pada Ethan. Dia tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika dia yang merasakan semua itu.
"Vanya, ada apa? Aku tidak apa-apa. Kamu tenang saja," kata Ethan sambil tersenyum.
Senyuman tulus Ethan membuat hatinya bergetar. Mengapa dia baru menyadari tatapan Ethan padanya selama ini selalu penuh dengan cinta, bahkan tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.