novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengadilan Air Gelap
Air gelap itu menelan mereka sebelum Sena sempat menyalakan api yang lebih besar. Ia tahu, serangannya justru akan membuat jebakan ini semakin kuat—karena air gelap bukan seperti air biasa. Ia adalah bentuk yang paling pekat dan paling tua dari Dimensi Air, yang bahkan tidak ditemukan di permukaan mana pun.
Cai menutup matanya sebentar saat gelombang pekat itu menutupi tubuh mereka. Ia merasakan sensasi dingin, bukan dingin yang menggigit, melainkan dingin yang menyeret ingatan… menariknya ke masa kecil, ke suara-suara lama yang pernah ia lupakan. Dimensi Air Gelap tidak hanya menahan tubuh. Ia menahan pikiran.
Sena menggenggam tangan Cai, memastikan ia tidak hilang. “Aku ada di sini,” katanya, suara diseret arus yang bergetar.
“Aku tahu,” bisik Cai. “Jangan lepaskan.”
Gelombang gelap itu bergerak cepat, menyeret mereka ke ruang lain—ruang yang tak memiliki awal atau akhir. Dan ketika air itu akhirnya surut, mereka berdiri di sebuah tempat seperti gua raksasa yang berkilau di setiap sudutnya. Dindingnya seperti batu, tapi sebenarnya terbuat dari lapisan air yang mengeras, memantulkan cahaya biru gelap.
Di tengah ruangan itu, terdapat podium melingkar. Dan di atasnya, tiga sosok berdiri, masing-masing dengan tubuh yang terbuat dari air gelap berlapis perak, wajah mereka tak sepenuhnya tampak seperti manusia.
Cai langsung mengenali mereka.
“Para Tetua Air Gelap…” Ia menelan ludah. “Ini… bukan sekadar pengadilan, Sena. Ini peradilan tertinggi bagi setiap pelanggaran antar-dimensi.”
Sena mengerutkan dahi, tetap waspada. “Kedengarannya seperti mereka sudah menjatuhkan hukuman bahkan sebelum kita bicara.”
Di sisi ruangan, perempuan yang menangkap mereka berdiri dengan tenang, menatap mereka seperti menilai dua benda yang dibawa untuk dipajang.
Salah satu tetua melangkah maju. Tubuhnya memanjang, suaranya bergema lembut namun dingin.
“Cai, putri dari Aliran Bening.”
“Sena, keturunan Api Merah dan Bara Lembut.”
Cai dan Sena saling menatap. Mereka tidak menyangka identitas Sena bisa dikenal begitu cepat.
“Kalian dituduh melanggar tiga aturan dasar dimensi.”
Tetua kedua melanjutkan, nadanya lebih keras:
“Pertama: membawa Api ke jantung dimensi Air.”
Sena mendengus. “Aku diculik. Aku tidak datang ke sana karena aku mau.”
Tetua itu tidak terpengaruh.
“Kedua: membuka retakan dimensi Air tanpa izin.”
Cai terhenyak. “Kami tidak membuka retakan! Kami pergi untuk mencari penyebab retakan—Inti Kesadaran sendiri yang memanggil kami!”
Tetua ketiga, yang paling tua, melangkah maju. Cahaya peraknya berpendar seperti bulan yang tenggelam di tengah malam.
“Ketiga… dan paling berat…”
Ia berhenti sebentar, menatap Cai dengan tajam.
“…kalian berdua mencoba menyatukan unsur Air dan Api.”
Sena merengut sinis. “Itu bukan kejahatan. Itu hanya… keberadaan.”
Tetua pertama mengangkat tangan.
“Keberadaan yang bisa menghancurkan keseimbangan seluruh dimensi.”
Cai maju setengah langkah, tidak peduli jika itu dianggap melawan.
“Dimensi kita retak bukan karena aku dan Sena,” katanya tegas. “Inti Kesadaran melemah karena konflik internal. Karena perpecahan dalam Dimensi Air sendiri!”
Sena menambahkan, “Dan Dimensi Api menghadapi hal yang sama. Api Merah, Bara Lembut, Api Sunyi—semua berperang memperebutkan kendali. Retakan ini bukan kesalahan kami. Ini peringatan bahwa dimensi kita butuh perubahan!”
Gemuruh suara memenuhi ruangan. Ruang itu seperti bergoyang karena energi emosional yang dilontarkan Sena.
Tetua kedua mengangkat tangan, dan semuanya tenang kembali.
“Kami tahu inti melemah.”
“Kami tahu retakan muncul.”
“Namun kami tidak percaya bahwa campuran Air dan Api adalah solusi.”
Tetua ketiga berjalan turun dari podium, mendekati mereka. Semakin dekat, semakin jelas bahwa tubuh tetua itu terdiri dari lapisan air yang tersusun seperti lembaran kaca tipis. Di balik lapisan itu, terdapat ruang kosong—bukan organ, bukan energi—seakan ia adalah wadah dari kehampaan.
“Kalian mengganggu keseimbangan.”
Cai menatap tetua itu tanpa gentar. “Kalian tidak melihat seluruh gambarnya. Inti Kesadaran sendiri menunjuk aku untuk memperbaiki retakan!”
Tetua itu berhenti tepat di depan Cai, menatap dari atas.
“Inti Kesadaran retak. Pikirannya kabur.”
“Perintahnya tidak lagi dapat dipercaya sepenuhnya.”
Cai membeku.
Sena menegang. “Apa maksud kalian? Kalian bicara seolah inti itu—”
Tetua pertama menyela:
“Inti Kesadaran Air… telah terkorupsi.”
Cai menahan napas. “Tidak. Itu tidak mungkin.”
Tetua kedua mengangguk perlahan.
“Retakan bukan hanya kerusakan. Itu adalah celah… tempat sesuatu bisa masuk.”
Sena memajukan tubuh, ada rasa tidak enak merayap dari tulang belakangnya. “Sesuatu?”
Tetua ketiga mengangguk.
“Ada suara asing. Bukan berasal dari Air. Bukan pula dari Api.”
“Sebuah entitas yang tidak memiliki dimensi.”
Cai terdiam. Tubuhnya bergetar. “Jadi… inti tidak hanya melemah… tetapi dikuasai?”
Para tetua tidak menjawab, tapi keheningan mereka adalah jawaban yang paling jelas.
Sena mencengkramkan tangan. “Kalau begitu semakin tidak masuk akal kalian mengadili kami! Kalian seharusnya membantu kami menghentikan entitas itu.”
Tetua pertama menatapnya dingin.
“Kami tidak percaya kalian bisa menghentikannya.”
“Campuran dua unsur paling bertentangan tidak akan menyelamatkan dimensi ini.”
Cai menggertakkan gigi.
“Lantas siapa? Kelompok Kelahiran Dalam? Suku Biru? Atau Air Gelap sendiri? Kalian semua sibuk bertengkar sejak dulu! Bahkan saat dunia hampir runtuh, kalian tetap hanya menuduh!”
Air gelap di ruangan itu beriak, seolah tersinggung.
Tetua kedua mengangkat tangan, dan riak itu berhenti.
Ia menoleh ke tetua lainnya. Sejenak, mereka saling berkomunikasi tanpa suara, hanya melalui aliran energi yang samar. Setelah beberapa detik, mereka kembali menatap Cai dan Sena.
“Pengadilan memutuskan kalian tidak akan dihukum.”
Cai dan Sena menghela napas lega—
“…tapi kalian juga tidak akan dilepaskan.”
Sena menggeram. “Apa lagi ini?”
Tetua ketiga melangkah maju.
“Kami akan menguji kalian.”
Cai terangkat alis. “Menguji?”
“Benar.”
“Jika kalian mampu melewati uji ini, kami akan percaya bahwa kalian bisa masuk ke Ruang Awal.”
“Jika gagal… dimensi kalian tidak akan memiliki harapan.”
Sena melangkah maju. “Uji apa?”
Pada saat itu, air gelap yang menutupi lantai mulai bergerak. Perlahan namun pasti, air itu naik, membentuk dinding yang mengurung mereka berdua. Dalam hitungan detik, ruangan itu berubah: lantai retak, dinding berputar, dan seluruh ruang berubah seperti dunia tersendiri.
Tetua pertama berkata:
“Ujian Kekosongan.”
Tetua kedua melanjutkan:
“Kalian akan melihat apa yang paling kalian takuti.”
Tetua ketiga menambahkan, suaranya seperti gema dari dalam gua:
“Dan kalian akan melawan diri sendiri.”
Sebelum mereka sempat bereaksi, lantai di bawah kaki Cai dan Sena runtuh. Tubuh mereka jatuh ke dalam kegelapan yang begitu pekat hingga bahkan api Sena pun tidak bisa menembusnya.
---
Cai membuka mata pertama kali, dan ia tidak melihat Sena. Ia berdiri sendirian di tengah laut kosong yang tak berujung—gelap, sunyi, dan tanpa bintang.
Sementara jauh di tempat lain, Sena terbangun di ruang penuh api padam… sendirian.
Dan keduanya menyadari hal yang sama:
Ujian ini memisahkan mereka.