Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Di ruang bawah tanah yang gelap, Aryan telah selesai dengan ritualnya. Ia menuangkan tetes terakhir darah di atas boneka kayu. Cahaya hitam pekat yang mengerikan menyelimuti boneka itu, dan Iblis bertanduk di belakangnya mengeluarkan raungan kemenangan.
“Selesai! Kekuatanku kini sudah sempurna!” teriak Aryan, matanya memancarkan aura kemenangan.
Ia memeluk boneka itu, merasakan gelombang kekuatan dan ambisi yang membanjiri dirinya. Ia kini merasa tak terkalahkan.
“Sekarang, Iblisku! Cari mereka! Bawa kembali Azmi yang terluka itu, dan bawa dua perempuan itu kembali ke rumahku!” perintah Aryan.
Iblis bertanduk itu mengangguk, lalu tubuhnya menghilang dalam kepulan asap hitam, bergerak cepat meninggalkan ruang bawah tanah menuju pintu keluar rumah.
Aryan bangkit, tertawa penuh kemenangan. Ia menatap ke arah tangga yang sepi, tempat Azmi berhasil lolos.
“Kamu pengecut sekali, Azmi! Kamu kabur dengan lukamu! Sekarang, lihatlah! Kamu dan tua bangka itu tidak akan bisa menghentikanku!”
Saat ia berbalik untuk meninggalkan ruang bawah tanah, pandangannya tertuju pada satu mangkuk kecil yang terbalik di sudut ruangan, mangkuk yang berisi sesajen khusus untuk Bu Ratih, ibunya.
Tawa Aryan terhenti. Keberadaan mangkuk itu, dan gambaran Bu Ratih yang tadi memohon padanya, tiba-tiba menusuk sedikit celah di hati nuraninya yang sudah tertutup oleh kegelapan.
‘Ibu… Ibu pasti baik-baik saja, dia hanya kabur. Begitu juga kamu, Rina… Rina istriku.’
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa tindakannya benar. Namun, ada bisikan tipis yang muncul dari hati kecilnya, bisikan yang jarang ia dengar sejak ia bersekutu dengan iblis, yaitu bisikan penyesalan.
Aryan ingat betapa tulusnya Bu Ratih meminta ampunan untuknya. Ia ingat Rina, yang dulunya adalah wanita yang sangat ia cintai sebelum ambisi itu menguasainya.
‘Kenapa aku harus korbankan mereka? Aku cuma perlu harta dan kekuasaan…’
Iblis yang kini ada di sampingnya, Iblis dari boneka kayu yang kini jauh lebih kuat dan mengikutinya seperti bayangan, merasakan keraguan itu.
“Tuan,” desis Iblis itu, suaranya halus namun tajam. “Jangan biarkan kelemahan manusia mengganggu tujuanmu. Mereka semua adalah penghalang. Jika mereka mati di tanganmu, jiwamu akan sepenuhnya menjadi milikku, dan kekuasaanmu akan abadi.”
Bisikan Iblis itu segera menenggelamkan rasa penyesalan Aryan. Ya. Itu benar. Ia sudah terlalu jauh melangkah, dan sangat sulit untuk mundur. Ia harus mengorbankan mereka untuk mengamankan takdir yang ia pilih.
Aryan menguatkan hatinya, menghapus keraguan itu dengan amarah.
“Kamu benar. Mereka semua penghalang,” kata Aryan, suaranya kembali dingin dan penuh ambisi.
Ia buru-buru menaiki tangga. Ia harus membersihkan kekacauan di atas dan memastikan Iblisnya berhasil membawa mereka kembali.
Saat ia tiba di ruang tengah, ia melihat sisa-sisa pertempuran, lemari yang bergeser, noda darah kering milik Azmi, dan bau menyengat cairan pembersih lantai yang masih tersisa di dekat kamar mandi.
Aryan melangkah ke pintu depan. Ia melihat sisa-sisa reruntuhan gerbang yang dihancurkan oleh iblisnya saat melawan Kiai Syarif.
“Ini semua ulah mereka!” raungnya. “Aku tidak akan memaafkan siapa pun yang berani mengusiku!”
Aryan berjalan keluar, bersiap mencari Bu Ratih, Rina, dan Kiai Syarif. Ia tidak akan berhenti sebelum mereka semua kembali, hidup atau mati, untuk dijadikan tumbal.
---
Di sisi lain, perjalanan panjang di bak mobil Pak Tani akhirnya berakhir. Tepat menjelang subuh, mereka tiba di gerbang sebuah kompleks bangunan sederhana yang begitu tenang, dikelilingi sawah hijau dan pepohonan rindang. Inilah Pondok Pesantren milik Kiai Syarif.
Begitu mobil berhenti, Kiai Syarif segera meminta bantuan santri yang masih terjaga. Dengan sigap, Azmi diangkat dan dibawa ke sebuah ruangan khusus di dekat kediaman Kiai.
Kiai Syarif tidak menyia-nyiakan waktu. Ia segera memulai ritual penyembuhan darurat. Ia menyiapkan air dari sumber mata air pesantren yang terkenal murni, lalu membaca doa-doa dan merapal ayat-ayat suci yang dikenal ampuh melawan kekuatan iblis.
Bu Ratih dan Rina hanya bisa menunggu dengan cemas di luar ruangan. Bu Ratih menangis terisak, bukan hanya karena Azmi, tetapi karena penyesalan mendalam telah melahirkan seorang putra yang jatuh ke dalam dosa besar. Rina memeluk ibu mertuanya, berusaha menenangkan.
Setelah beberapa jam, Kiai Syarif keluar dari ruangan, wajahnya sangat lelah.
“Bagaimana, Kiai? Azmi selamat?” tanya Rina segera.
“Atas izin Allah, dia selamat. Tapi energinya terkuras habis dan luka dalam yang cukup parah. Racun Iblis itu sudah keluar, namun dia butuh istirahat total. Dalam beberapa hari, tenaganya akan pulih,” jelas Kiai Syarif. “Kalian berdua juga harus istirahat. Di sini aman. Pesantren ini akan melindungi kita.”
Kiai Syarif lalu meminta salah satu santrinya, untuk mengantar Bu Ratih dan Rina ke kamar tamu sederhana.
Sudah tiga hari, Bu Ratih dan Rina tinggal di pesantren. Mereka merasa damai di sana. Mereka makan makanan sederhana bersama para santri, ikut salat berjamaah, dan menghabiskan waktu merawat Azmi.
Azmi masih belum sadar, tetapi kondisinya sudah membaik. Wajahnya yang pucat kini mulai memerah, dan napasnya teratur.
Setiap hari, Rina menghabiskan waktu lama di samping Azmi. Ia menyeka keringatnya, mengganti kompres, dan hanya duduk diam mengawasinya.
Selama hari-hari yang tenang itu, Rina memiliki banyak waktu untuk merenung. Ia membandingkan kemewahan rumah Aryan yang dingin dan penuh ketakutan, dengan kesederhanaan pesantren yang hangat dan penuh kasih sayang.
Di rumah Aryan, ia hanya seorang istri pajangan, terikat oleh harta yang ternyata berlumuran darah dan dosa. Hidupnya penuh kekosongan, ketakutan, dan air mata.
Di sini, di samping Azmi yang tak berdaya, ia merasakan kehangatan dan ketulusan yang belum pernah ia rasakan. Azmi, seorang pemuda yang tak punya harta, rela mempertaruhkan nyawanya, melawan Iblis, hanya demi menyelamatkan dirinya dan Bu Ratih.
Rina menyentuh wajah Azmi yang terbaring. Keris Azmi tergeletak di samping tempat tidur, memancarkan cahaya pelindung samar.
Rina akhirnya sadar. Harta tidak menjamin kebahagiaan. Kebahagiaan adalah keberanian dan ketulusan hati yang ditunjukkan Azmi.
Perasaan baru itu tumbuh di hatinya, perasaan yang lebih dari sekadar rasa terima kasih. Rina telah jatuh cinta pada Azmi, pada keberanian dan keimanan murni yang ia miliki. Ia bertekad, jika Azmi selamat, ia akan meninggalkan Aryan dan ia berharap, dengan Azmi akan memulai hidup baru, dan dengan jalan yang benar.
---
Sementara Bu Ratih, Rina, dan Azmi menemukan kedamaian di Pondok Kiai Syarif, Aryan masih diselimuti amarah yang membara.
Aryan telah keluar dari rumahnya dengan harapan, bisa menemukan mereka. Ia memerintahkan Iblisnya untuk mencari jejak energi Azmi dan Kiai Syarif.
Iblis itu melayang tinggi di udara, mengikuti jejak sisa-sisa energi spiritual yang ditinggalkan Azmi. Iblis itu memang berhasil melacak jejak mereka hingga ke Pos Keamanan.
Aryan tiba di Pos Keamanan dengan langkah cepat, wajahnya keras. Ia melihat Pak Dani dan Pak Budi yang sedang berjaga di sana.
“Di mana mereka?! Di mana Kiai tua itu dan Azmi?!” raung Aryan, suaranya membuat kedua satpam itu terlonjak kaget.
“Maaf, Tuan Aryan. Mereka… mereka sudah pergi,” kata Pak Dani, gemetar.
“Pergi?! Kenapa kalian biarkan mereka pergi?! Kalian tahu mereka adalah pencuri!” bentak Aryan.
“Mereka bilang Tuan Aryan menodongkan pistol. Dan… Pak Azmi terluka parah sekali,” ujar Pak Budi. “Kami tidak bisa menahan mereka jika ada ancaman senjata api.”
Mendengar kata-kata itu, Aryan tertawa getir. Dia tidak peduli dengan cerita pistol palsu itu. Yang ia tahu, Iblisnya telah memberinya kekuatan luar biasa, namun targetnya lolos karena kecerobohan.
“Cari tahu mereka pergi ke mana! Sekarang!” perintah Aryan, matanya merah menyala.
Meskipun Aryan mengerahkan Iblisnya untuk melacak lebih jauh, jejak Azmi dan Kiai Syarif menghilang sepenuhnya di jalan raya, tepat di tempat mereka menumpang mobil Pak Tani.
Kekuatan Iblis yang Aryan miliki hanya kuat di area yang memiliki energi negatif, seperti kompleksnya sendiri. Begitu targetnya dibawa menjauh ke area terbuka, terutama dengan perlindungan doa-doa Kiai Syarif dan tasbih di dada Azmi, jejak energi itu terputus.
Selama riga haru, Aryan menggunakan semua cara untuk mencari mereka. ia menelepon polisi, membuat laporan palsu tentang pencurian, dan meminta bantuan Jaka, namun, hasilnya nihil.
Polisi hanya menemukan bukti kerusakan gerbang. Beberapa paranormal dan dukun yang ia hubungi tidak bisa menembus dinding pertahanan yang mengelilingi Azmi dan yang lainnya. Setiap kali mereka mencoba melacak, mereka hanya menemukan kabut dan cahaya putih yang kuat.
Aryan marah besar. Ia memecahkan barang-barang di rumahnya. Ia tidak bisa menerima kekalahan dan kenyataan bahwa istri dan ibu kandungnya, kini berada di tangan musuhnya.
Iblis itu kembali ke ruang bawah tanah. "Tuan, mereka disembunyikan oleh kekuatan yang sangat kuat. Kita tidak bisa menembusnya. Kita harus menunggu sampai ritual penyempurnaan kekuatan Tuan selesai sepenuhnya. Saat itu tiba, tidak ada dinding apapun yang bisa menahan kita."
Aryan mengangguk, napasnya berat. "Baiklah. Aku akan menunggu. Tapi begitu kekuatan itu sempurna, aku sendiri yang akan menghancurkan dinding itu, dan membawa kepala Azmi ke sini!"
Di hari keempat, Azmi akhirnya sadar.
Ia membuka mata dan melihat langit-langit kayu sederhana yang berbeda dari kamarnya. Bau minyak wangi dan aroma bunga melati memenuhi udara.
Di sampingnya, Rina tertidur dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Keris Azmi tergeletak di meja kecil, masih memancarkan cahaya redup.
"Mbak Rina..." bisik Azmi, suaranya serak.
Rina terlonjak bangun. Matanya langsung memancarkan kelegaan yang luar biasa.
"Azmi! Kamu sadar! Ya Tuhan, syukurlah!" Rina langsung meraih tangan Azmi.
Saat Rina menyentuh tangannya, Azmi merasakan getaran aneh yang hangat, lebih dari sekadar sentuhan biasa. Ia melihat tatapan Rina yang kini penuh perhatian dan air mata haru.
"Kita... kita ada di mana, Mbak Rina?" tanya Azmi lemah.
"Kita di pondok Kiai Syarif. Kita aman di sini. Kamu sudah menyelamatkan kami, Azmi," jawab Rina, suaranya lembut.
Tiba-tiba, Bu Ratih dan Kiai Syarif masuk ke kamar. Kiai Syarif tersenyum lega.
"Alhamdulillah, Nak. Kamu sudah melewati masa kritis. Kamu telah berkorban besar," kata Kiai Syarif.
Azmi mencoba bangkit, tetapi tubuhnya masih lemah. "Aryan... ritualnya... apakah dia sudah selesai?"
"Ya," jawab Kiai Syarif dengan wajah serius. "Dia sudah mendapatkan kekuatan penuh. Tapi di sini, dia tidak bisa menemukan kita. Sekarang, Nak Azmi, nanti kita bicarakan tentang bagaimana kita akan menyelesaikan ini. Setelah kamu pulih, kita akan bertindak."