Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Aditya memegang dagu Reina ketika ia melihat istrinya itu menundukkan pandangannya darinya. Kali ini dengan suara yang lebih rendah dan penuh keseriusan, Aditya berkata.
“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu, sayang?” tanya Aditya yang membuat Reina menahan napasnya.
Aditya menatap lurus ke mata istrinya itu.
“Reina, apakah kamu sudah siap untuk menjalani kewajibanmu sebagai istriku malam ini?”
Pertanyaan itu membuat jantung Reina nyaris berhenti. Itu bukan pertanyaan biasa. Itu bukan kalimat yang bisa ia balas tanpa berpikir. Namun, mungkin karena sejak tadi ia telah mempersiapkan hatinya atau karena tatapan Aditya memberikan rasa aman yang tidak bisa ia jelaskan, Reina akhirnya mengangguk perlahan.
Sangat pelan namun tegas. Aditya menatapnya tanpa bergerak, memastikan bahwa anggukan istrinya itu bukan karena takut ataupun terpaksa.
Reina menelan ludahnya, lalu mengangguk sekali lagi yang kali ini lebih yakin.
Dan di ruangan yang penuh aroma bunga melati itu, setelah sebuah hari panjang penuh luka dan janji, dua insan yang terikat oleh pernikahan rumit itu berdiri berhadapan.
Tanpa suara, Tanpa kata-kata tambahan. Hanya anggukan kecil dari Reina yang menjadi titik awal dari hidup baru mereka berdua.
Tak berselang lama kemudian, Aditya perlahan memutar tubuhnya dan berjalan ke arah sofa kecil yang berada tepat di sisi kiri ranjang. Jas tuksedo yang sejak tadi terlipat rapi di lengannya ia tarik dan kemudian letakkan hati-hati di atas sandaran sofa. Gerakan itu sederhana, namun entah mengapa terasa sangat besar bagi Reina, seolah meletakkan jas itu adalah simbol bahwa Aditya telah memilih untuk berada di sini bersamanya. Bukan di tempat lain. Bukan di sisi wanita lain.
Setelah memastikan jas itu tidak kusut, Aditya mengembuskan napas halus lalu berbalik kembali pada Reina. Langkahnya pelan, mantap, tidak terburu-buru, namun membawa atmosfer yang membuat udara di kamar itu terasa berubah. Cahaya lampu yang temaram membuat bayangan tubuh Aditya memanjang di lantai, dan Reina hampir merasa waktu ikut melambat.
Ketika akhirnya Aditya kembali berdiri tepat di hadapannya, Reina yang sejak tadi menahan napas langsung merasakan dadanya seperti dikunci dari dalam.
Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap.
Tatapan itu bukan sekadar melihat, melainkan membaca, Menguji dan Menggenggam hati Reina sepenuhnya. Dan untuk Reina, tatapan Aditya bukan sekadar kehangatan melainkan sebuah bentuk pengakuan bahwa malam ini ia adalah satu-satunya wanita yang dipilih lelaki itu untuk mendampinginya.
Aditya mengangkat kedua tangannya perlahan, menyentuh sisi wajah Reina dengan lembut, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa wanita itu benar-benar ada di depannya. Jemari suaminya itu terasa hangat, dan sentuhan itu membuat lutut Reina seolah kehilangan tenaga.
“Reina…” panggil Aditya dengan lirih, namun tidak tergesa-gesa. Ada getaran kecil di balik suaranya itu entah apa maknanya, Reina tidak tahu, namun suara itu segera menembus hingga ke hatinya.
Ia tidak sempat menjawab apa pun, sebab dalam hitungan detik sebelum Reina sempat menarik napas, Aditya menundukkan wajahnya untuk mencium bibir istrinya itu.
Ciuman pertama itu bukan sekadar sentuhan bibir. Intensitasnya membuat Reina memejamkan mata erat-erat. Ciuman itu terasa dalam, menguasai, namun tetap berhati-hati seolah Aditya tidak ingin membuat Reina terkejut ataupun ketakutan. Namun, intensitasnya cukup untuk membuat Reina merasakan dunia di sekelilingnya seakan menghilang.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/