NovelToon NovelToon
Rahim Untuk Balas Budi

Rahim Untuk Balas Budi

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Pengganti / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Sea

Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29 — Intuisi Seorang Ayah

Hujan baru saja berhenti ketika mobil keluarga itu meninggalkan halaman panti. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya lembap, dan bau tanah basah masih menempel kuat di udara.

Di kursi belakang, Aruna sudah memeluk bonekanya sambil tertidur. Karina mengecek pesan di ponselnya, sesekali menghela napas lelah.

Hanya satu orang yang tidak bergerak sama sekali.

Rendra.

Tatapannya kosong menembus jendela, tapi pikirannya berisik—lebih berisik dari suara hujan, lebih padat dari udara lembap malam ini.

Adegan beberapa jam lalu terus terulang tanpa bisa ia usir:

Aru berlari, memanggil “Ibu!”, lalu memeluk Nayara seolah dunia mengecil hanya untuk mereka berdua.

Gerakannya natural… tidak dibuat-buat… tidak seperti anak panti yang belajar dekat dengan banyak pengurus.

Itu pelukan seorang anak kepada ibunya.

Dan entah kenapa, di dada Rendra muncul rasa yang rumit sekali:

gelisah… tertarik… dan takut bersamaan.

Karina menatap suaminya dari samping. “Kenapa kamu diam terus?”

Rendra tersadar sedikit. “Cuma capek.”

“Pasti. Seharian tadi padat.”

Rendra mengangguk. Ia ingin mengatakan: Aku tidak bisa berhenti memikirkan anak itu. Tapi itu akan terdengar aneh. Dan Karina bukan tipe yang membiarkan hal-hal aneh mengendap tanpa pertanyaan.

Lebih aman diam.

Mobil akhirnya masuk ke halaman rumah. Mereka masuk, membersihkan diri, lalu tidur. Atau—lebih tepatnya—Karina dan Aruna tidur.

Rendra tidak.

Ia berdiri lama di depan jendela kamar kerjanya, lampu kecil menyala redup. Hujan kembali turun tipis-tipis, mengetuk kaca seolah mengingatkannya pada sesuatu yang ia tidak ingin ingat.

Aru.

Setiap kali ia memejamkan mata, wajah bocah itu muncul lagi. Cara ia memiringkan kepala saat bingung… cara ia tersenyum dengan gigi kecil di tengah yang agak menonjol… bahkan cara ia mengernyit ketika berpikir keras.

Terlalu familiar.

Rendra mengambil album lama dari laci bawah—album masa kecil yang jarang sekali ia buka. Ia membuka halaman-halamannya tanpa tahu apa yang ia cari.

Sampai ia menemukan foto dirinya usia sembilan tahun. Sedang tertawa sambil memeluk buku.

Dan ia terdiam.

Ada sesuatu pada senyum itu… sesuatu yang menggelitik bagian paling dalam di kepalanya.

“Aru…” bisiknya tanpa sadar.

Ia menatap foto itu lama sekali. Jantungnya berdetak pelan tapi berat, seperti memikul sesuatu yang sudah terlalu lama terkubur.

Ia memaksa menutup album. Mungkin ia hanya kecapekan. Mungkin semua itu hanya ilusinya. Ia kembali ke kamar dan mencoba tidur.

Tapi malam itu, Rendra membuka mata tiga kali.

Dan setiap kali terbangun, hal pertama yang muncul dalam kepalanya adalah wajah Aru.

Keesokan paginya, mereka kembali ke panti untuk finalisasi data renovasi.

Aru sedang bermain kelereng dengan dua anak lain di teras kecil. Ketika melihat Rendra turun dari mobil, bocah itu bangkit spontan—bukan berlari, hanya berdiri dan menunggu. Dengan tatapan terang yang membuat Rendra menahan napas sesaat.

“Pagi, Pak!” sapa Aru, ceria.

Rendra tersenyum kecil. “Pagi.”

Cara Aru menyapa… entah kenapa membuat dadanya hangat. Ada nada tertentu—mungkin kebiasaan, mungkin bawaan—yang mengingatkan dirinya pada masa kecil.

Aru menunjuk mobil. “Mobilnya bagus, Pak.”

Rendra mengangkat alis. “Kamu suka mobil?”

Aru mengangguk bersemangat. “Suka!”

Ia terhenti sesaat.

“Dulu saya sering lihat mobil lewat dari pagar sekolah.”

Rendra memperhatikan jeda itu. Kecil… tapi jelas. Seperti ada sesuatu yang ingin keluar, tapi ditahan.

Karina memanggil dari jauh, “Ren, sini. Kita mulai sekarang.”

Rendra menepuk kepala Aru sebelum pergi.

Gerakan kecil. Lembut.

Tapi dari sudut mata, ia melihat Aru tersenyum lebar… senyum yang terlalu akrab.

Di aula, pembahasan berjalan lancar. Tapi pikiran Rendra tidak benar-benar ada di ruangan.

Ia beberapa kali melirik ke jendela, ke arah teras tempat Aru bermain. Setiap kali melihat bocah itu tertawa atau melompat, ada denyut aneh di dadanya.

Karina sedang meninjau laporan donasi dengan Bu Lilis ketika sebuah kalimat melayang tanpa sengaja ke telinga Rendra.

“Kasihan Nayara… dulu sempat kerja di klinik dr. Ardi sebelum menetap di sini,” ujar salah satu pengurus sambil menyerahkan berkas.

Rendra spontan menoleh.

Clinik dr. Ardi.

Nama itu seperti petir kecil yang menyambar tepat di tengah kepalanya.

Karina tidak menyadari. Ia sibuk mengamati desain baru ruang bermain.

Tapi Rendra… tubuhnya menegang.

Klinik dr. Ardi.

Tempat yang dulu ia datangi.

Tempat program surrogacy dilakukan.

Tempat… janji-janji itu dibuat.

Dan tempat yang sejak tragedi itu ia kubur dalam-dalam, mencoba tidak pernah mengingatnya lagi.

Tenggorokannya mengering.

Suara-suara di ruangan memudar.

Ia merasakan dingin menjalar dari tulang belakang sampai tengkuk.

Nayara bekerja di situ?

Berarti… ada kemungkinan…

Tidak.

Tidak mungkin.

Tidak boleh.

Tapi logika menolak berhenti.

Dan ia tidak bertanya lagi. Tidak ingin. Tidak sanggup.

Tapi kini, potongan-potongan kecil seperti bergulir sendiri tanpa ia kendalikan:

• usia Aru

• warna matanya

• cara berjalan

• senyumnya

• dan… tatapan Nayara semalam

Semua itu mulai menyusun sesuatu yang ia tidak berani ucapkan.

“Nayara bekerja di sana…” gumamnya lirih, hampir tidak terdengar.

Ia merasa ingin duduk. Atau berlari. Atau menghancurkan sesuatu.

Tapi ia hanya berdiri mematung.

Karina menoleh, “Ren? Kamu kenapa?”

Rendra tersentak. “Nggak. Nggak apa-apa.”

Ia memaksakan senyum. Karina mengangguk dan kembali fokus pada dokumen.

Tapi Rendra tidak bisa lagi menenangkan dadanya.

Ia keluar ruangan sebentar, menarik napas panjang di lorong. Lampu redup membuat semuanya terasa lebih sunyi.

Aru lewat sambil menggenggam mainan kayu. Ia berhenti mendadak ketika melihat Rendra.

“Pak?” panggilnya.

Rendra menunduk. “Ya?”

Aru menatap mainannya, lalu menatap Rendra. “Pak… kenapa kelihatan sedih?”

Pertanyaan itu sederhana.

Tapi suara Aru—intonasinya, lembutnya, kejujurannya—terasa seperti suara dari masa lalu.

Rendra berjongkok, menatap mata bocah itu lebih dekat.

“Aru…”

Suara Rendra serak.

“Kamu suka tinggal di sini?”

Aru mengangguk. “Suka! Karena ada Ibu.”

Sederhana.

Jujur.

Dan menghantam habis.

Rendra berdiri cepat. “Baik. B-main lagi sana.”

Aru tersenyum sebelum berlari kecil menjauh.

Rendra memegang dinding. Kepalanya pusing sejenak.

Tidak boleh gegabah. Tidak boleh sembrono. Tidak boleh menuduh tanpa bukti.

Tapi ia butuh jawaban.

Sekarang.

Setelah urusan dengan panti selesai, keluarga itu pulang. Rendra kembali menyetir tanpa banyak bicara. Karina beberapa kali bertanya, tapi ia menjawab singkat-singkat.

Malam menjelang ketika ia masuk ke ruang kerja, menutup pintu perlahan.

Ia duduk. Diam. Mengusap wajah.

Lalu mengambil ponsel.

Jempolnya ragu beberapa detik.

Lalu menekan kontak bernama: Ardi K — Medical.

Ponsel belum ia angkat.

Rendra mengubah pikiran.

Ada cara lain—cara yang tidak melibatkan penjelasan panjang. Setidaknya untuk sekarang.

Ia menekan nomor lain. Asistennya.

“Ya, Pak?” suara lelaki itu terdengar mengantuk.

Rendra menarik napas panjang.

“Besok pagi,” katanya perlahan, “kita mulai proyek kecil.”

“Proyek apa, Pak?”

Rendra menatap jendela, hujan turun lagi di luar sana.

“Cari semua informasi yang bisa kamu temukan tentang Panti Pelita Harapan.”

Hening sejenak.

“Termasuk tentang salah satu stafnya. Nama: Nayara Prameswari.”

Asistennya tercekat. “Ba-baik, Pak. Ada batasan akses?”

“Tidak.”

Suara Rendra turun satu oktaf.

“Lakukan tanpa satu pun orang mengetahui.”

Ia menutup telepon.

Ruangan terasa semakin sempit.

Dada semakin berat.

Di luar, kilat tipis memantulkan bayangan wajahnya di kaca.

Untuk pertama kalinya, Rendra benar-benar takut.

1
strawberry
Karina takut Rendra berpaling darinya karena Aru mirip Rendra, Nayara takut Aru diambil Rendra dan takut akan perasaannya. Rendra takut perasaannya jatuh hati pada Nayara dan pada Aru yg mirip dengannya.
Mommy Sea: pada takut semua mereka
total 1 replies
strawberry
Dalam rahim ibu kita...
Titiez Larasaty
ikatan batin anak kembar dan ayah
strawberry
mulai ada rasa cemburu...
Titiez Larasaty
semoga rendra gak tega ambil aru dia cm mengobati rasa penasaran selama ini kasihan nayara harus semenyakitkan seperti itukah balas budi😓😓😓
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Muhammad Fatih
Bikin nangis dan senyum sekaligus.
blue lock
Kagum banget! 😍
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Romantisnya bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!