NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Kehidupan terasa begitu damai, nyaris sempurna. Kehamilanku berjalan lancar, dan setiap hari adalah perayaan kecil akan kehidupan baru yang tumbuh di dalam diriku. Danu adalah pilar kekuatanku, menemaniku melewati mual di pagi hari hingga keinginan aneh untuk makan mangga muda dengan sambal terasi di tengah malam. Hubunganku dengan Kak Binar pun telah menemukan jalurnya yang baru; kami bertukar kabar secara rutin, dan antusiasmenya sebagai calon tante nyaris menyaingi antusiasme kami sebagai calon orang tua.

Aku mulai percaya bahwa badai dalam hidupku telah benar-benar berlalu, menyisakan langit biru yang cerah. Tapi kehidupan, dengan caranya yang misterius, seringkali mengirimkan gerimis kecil bahkan di hari yang paling cerah sekalipun—bukan untuk menghancurkan, tapi untuk mengingatkan kita agar tidak pernah lupa cara menggunakan payung.

Ujian itu datang bukan dalam bentuk konflik atau drama, melainkan dalam bentuk sepucuk surat resmi berwarna cokelat yang tiba di rumah kami suatu sore. Surat itu ditujukan kepada Danu. Aku menerimanya dari tukang pos dan meletakkannya di atas meja kerjanya tanpa berpikir macam-macam.

Malam itu, saat Danu membacanya, aku melihat perubahan di wajahnya. Senyumnya yang lelah setelah seharian bekerja perlahan memudar, digantikan oleh kerutan dalam di keningnya. Otot-otot rahangnya menegang.

"Ada apa, Dan?" tanyaku, meletakkan cangkir teh di sampingnya. "Kabar buruk dari kantor?"

Dia tidak langsung menjawab. Dia membaca ulang surat itu sekali lagi, seolah tidak percaya dengan apa yang tertulis di sana. Lalu dia menghela napas panjang, napas yang sarat akan beban berat.

"Bukan dari kantor," katanya, akhirnya menatapku. Matanya tampak lebih gelap dari biasanya. "Ini... dari pengacara keluarga Wijoyo."

Keluarga Wijoyo. Keluarga ayahnya. Keluarga yang selama ini hanya kudengar namanya dalam bisik-bisik, tapi tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari kehidupan Danu. Aku tahu hubungannya dengan ayahnya, Hermawan Wijoyo, tidak baik. Mereka telah berselisih paham bertahun-tahun yang lalu, saat Danu hampir bangkrut. Ayahnya, seorang konglomerat yang keras dan kuno, melihat kegagalan Danu sebagai aib keluarga dan menolak untuk membantunya. Sejak saat itu, mereka nyaris tidak pernah berkomunikasi.

"Ada apa dengan mereka?" tanyaku cemas.

"Ayahku... dia sakit keras," jawab Danu pelan. "Stroke. Kondisinya kritis."

Aku langsung merasakan gelombang simpati untuknya. Terlepas dari hubungan buruk mereka, dia tetaplah ayahnya. "Ya Tuhan, Dan... aku turut prihatin."

"Bukan cuma itu," lanjutnya, menunjuk pada salah satu paragraf di surat itu. "Surat ini adalah panggilan resmi. Sebagai putra satu-satunya, aku diminta untuk segera datang dan... mengambil alih sementara urusan perusahaan keluarga."

Aku terdiam, mencoba mencerna implikasi dari permintaan itu. Mengambil alih perusahaan keluarga berarti kembali ke dunia yang telah lama ia tinggalkan. Dunia ayahnya. Dunia yang penuh intrik, tekanan, dan kenangan buruk.

"Kamu... akan melakukannya?" tanyaku hati-hati.

Dia menyandarkan punggungnya di kursi, memijat pelipisnya. "Aku tidak tahu, Arin. Sejujurnya, aku tidak mau. Aku sudah punya perusahaanku sendiri. Aku sudah membangun hidupku di sini, bersama kamu. Kembali ke sana... rasanya seperti kembali ke masa lalu yang ingin kulupakan."

Ada kepahitan dalam suaranya. "Dulu saat aku butuh bantuan, dia membuangku. Sekarang saat dia butuh bantuan, dia memanggilku seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Selalu seperti itu. Semua harus sesuai keinginannya."

Aku bisa merasakan kemarahannya yang terpendam. Tapi di balik kemarahan itu, aku juga bisa melihat sesuatu yang lain. Luka. Luka seorang anak yang merasa tidak pernah cukup baik di mata ayahnya sendiri.

"Tapi dia ayahmu, Dan," kataku lembut. "Dan dia sedang sakit."

Dia menatapku, matanya yang tajam melunak. "Aku tahu. Itulah yang membuat ini menjadi sangat sulit. Setengah diriku ingin mengabaikan surat ini, membiarkannya merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan. Tapi setengah diriku yang lain... merasa bersalah."

Malam itu, kami tidak banyak bicara lagi. Beban dari surat itu terasa memenuhi seluruh ruangan. Danu hanya duduk termenung, sementara aku mencoba memberinya ruang, meskipun yang ingin kulakukan hanyalah memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Keesokan harinya, dia mengambil keputusan.

"Aku akan pergi," katanya saat sarapan. Wajahnya tampak lelah, seperti tidak tidur semalaman. "Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Bukan untuknya, tapi untuk diriku sendiri. Aku tidak mau hidup dengan penyesalan jika sesuatu yang lebih buruk terjadi."

"Aku ikut denganmu," kataku tanpa ragu.

Dia menggeleng. "Tidak, Sayang. Kamu sedang hamil besar. Perjalanan jauh dan stres di sana tidak baik untukmu dan bayi kita. Lagipula, aku tidak tahu berapa lama aku akan di sana. Bisa beberapa hari, bisa beberapa minggu."

"Justru karena itu aku harus ikut," balasku. "Aku istrimu. Tempatku di sampingmu, terutama saat kamu sedang menghadapi masa sulit. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian."

Kekerasanku, yang lahir dari cinta dan kepedulian, akhirnya meluluhkan hatinya. "Baiklah," katanya sambil menggenggam tanganku. "Tapi kamu janji, kamu harus banyak istirahat dan tidak boleh ikut stres. Urusan ini biar aku yang tangani."

Dua hari kemudian, kami terbang ke kota tempat orang tua Danu tinggal. Kediaman keluarga Wijoyo bukan sekadar rumah, melainkan sebuah mansion megah yang berdiri angkuh di atas bukit, dikelilingi taman-taman yang terawat sempurna. Kemegahan itu terasa dingin dan tidak berjiwa, sangat kontras dengan rumah kami yang kecil dan hangat.

Kami disambut oleh seorang asisten rumah tangga paruh baya yang membimbing kami langsung ke kamar utama, tempat Hermawan Wijoyo dirawat. Aku melihat seorang pria tua terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit yang canggih. Setengah wajahnya tampak terkulai, matanya menatap kosong ke langit-langit. Selang-selang infus dan monitor detak jantung menjadi teman setianya. Pemandangan itu begitu menyedihkan. Pria yang dulunya begitu berkuasa, kini begitu rapuh.

Seorang wanita paruh baya yang anggun namun dengan wajah sembap—ibu Danu—berdiri di samping ranjang. Saat melihat kami, ia langsung menghambur memeluk putranya.

"Danu... akhirnya kamu datang, Nak," isaknya.

"Bagaimana kondisi Ayah, Bu?" tanya Danu, suaranya terdengar canggung.

"Dokter bilang kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk," jawab ibunya, tangisnya kembali pecah.

Setelah beberapa saat, pandangan ibu Danu beralih padaku, lalu pada perutku yang membuncit. Ada keterkejutan di matanya, diikuti oleh seberkas cahaya. "Dan ini...?"

"Ini Arini, Bu. Istri saya," kata Danu. "Dan... Ibu akan segera menjadi seorang nenek."

Untuk pertama kalinya sejak kami tiba, ibu Danu tersenyum. Senyum yang tulus di tengah duka. Ia menghampiriku dan memelukku dengan hati-hati. "Selamat datang di keluarga kami, Nak. Terima kasih... terima kasih sudah membawa kabar baik di tengah semua ini."

Namun, kehangatan dari ibu Danu tidak menular ke seluruh rumah. Sejak hari pertama, aku bisa merasakan atmosfer permusuhan yang tak terlihat. Kerabat-kerabat jauh yang datang menjenguk menatapku dan Danu dengan tatapan curiga. Para direktur perusahaan yang datang untuk rapat darurat memandang Danu dengan skeptis, seolah ia adalah anak hilang yang tiba-tiba muncul untuk merebut warisan.

Ujian sesungguhnya bagi Danu dimulai. Dia harus terjun langsung ke dalam pusaran bisnis ayahnya yang rumit. Rapat-rapat panjang hingga larut malam, tumpukan dokumen yang harus dipelajari, dan keputusan-keputusan sulit yang harus diambil. Dia juga harus menghadapi manuver-manuver licik dari beberapa anggota dewan direksi yang melihat kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan di tengah krisis.

Aku melihat suamiku diuji hingga batas kemampuannya. Dia lelah, stres, dan seringkali frustrasi. Dia harus berperang di dua front: di ruang rapat melawan para serigala bisnis, dan di dalam hatinya sendiri melawan kenangan buruk tentang ayahnya.

Aku tidak bisa membantunya dalam urusan bisnis. Tapi aku bisa melakukan hal lain. Aku menjadi tempatnya pulang. Setiap malam, tak peduli sepagi apa dia kembali, aku akan menunggunya dengan teh hangat dan telinga yang siap mendengarkan. Aku akan memijat bahunya yang tegang, mengingatkannya untuk makan, dan memastikan dia cukup tidur.

"Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu di sini," katanya suatu malam, menyandarkan kepalanya yang lelah di pangkuanku.

"Kamu akan baik-baik saja," bisikku sambil mengusap rambutnya. "Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Dan. Kamu bukan lagi pria muda yang hampir bangkrut. Lihat dirimu sekarang. Kamu membangun bisnismu sendiri dari nol. Kamu menghadapi mereka semua dengan kepala tegak. Ayahmu... di suatu tempat di dalam sana, aku yakin dia bangga padamu."

Di tengah semua kekacauan itu, terjadi sebuah keajaiban kecil. Suatu sore, saat aku sedang duduk di samping ranjang Hermawan Wijoyo, membacakan berita bisnis untuknya—sesuatu yang kulakukan setiap hari, berharap suaraku bisa mencapai kesadarannya—aku merasakan tendangan kuat dari dalam perutku.

"Ouch!" aku tersentak kaget.

Tiba-tiba, aku melihat jari-jari di tangan Hermawan yang terkulai bergerak sedikit. Matanya, yang biasanya kosong, kini tampak berkedip dan terfokus... ke arah perutku. Sebuah suara serak yang nyaris tak terdengar keluar dari bibirnya.

"...Cu...cu..."

Air mataku langsung mengalir. Aku segera memanggil perawat dan Danu. Itu adalah respons sadar pertamanya sejak ia jatuh sakit. Seolah, tendangan dari calon cucunya telah berhasil menembus kabut tebal yang menyelimuti otaknya.

Sejak hari itu, kondisi ayahnya perlahan tapi pasti menunjukkan kemajuan. Dia mulai bisa menggerakkan tangan dan kakinya sedikit demi sedikit. Terapi fisiknya dimulai. Dan setiap kali aku atau Danu masuk ke kamarnya, matanya akan mengikuti kami, terutama perutku. Kehadiran kami, kehadiran calon cucunya, telah memberinya alasan baru untuk berjuang.

Ujian kembali datang, tapi kali-Tentu, mari kita lanjutkan ke bab berikutnya, di mana ketenangan mereka diuji oleh bayangan dari masa lalu, namun dengan cara yang sama sekali berbeda.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!