Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Mobil itu sedikit terguncang ketika melintasi jalan berlubang, membuat Dasha tersadar dari tidurnya. Ia segera memperbaiki posisi duduknya, baru menyadari bahwa kepalanya bersandar di bahu Issa.
Tunggu dulu... bukankah tadi Issa duduk di ujung sana?
Tatapannya berpindah ke wajah pria itu, dan betapa kagetnya ia ketika mendapati Issa juga tengah menatapnya.
“Maaf… aku tidak sadar kenapa bisa bersandar padamu. Padahal tadi bukan kamu yang duduk di sebelahku,” ucap Dasha, suaranya pelan tapi jelas.
“Leo ingin duduk di dekat jendela, dan dia tidak mau membangunkanmu. Jadi kami bertukar tempat.”
Penjelasan Issa terdengar datar, seperti berkata: percaya atau tidak, terserah saja. Dasha memilih percaya saja.
“Baiklah,” katanya singkat, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Anak-anak, Malisa, dan Grandma Poppy kini tertidur. Dasha tak tahu sudah berapa lama mereka di jalan. Ketika ia mulai mengenali jalanan yang mereka lewati, barulah ia sadar ke mana arah perjalanan ini, menuju Monte Cofano, bukit kapur besar yang terkenal di Sisilia.
“Pak, kita menuju Monte Cofano, ya?” tanya Dasha pada sopir. Ia enggan bertanya pada Issa; entah kenapa, ia masih bisa merasakan jarak di antara mereka.
“Yes, we are,” jawab Issa tanpa menoleh.
“Baiklah. Terima kasih sudah menjawab,” sahutnya ringan.
Begitu pintu mobil terbuka, Lea langsung bersorak.
“Papa, nanti kita belanja yang banyak, ya?”
Issa tersenyum, senyum yang langka, yang dulu selalu membuat Dasha terpesona.
“Tentu saja, princess. Kita akan belanja yang banyak.”
“Yay! Aku senang sekali!”
Tawa anak itu membuat udara yang dingin terasa hangat.
“Ibu, Grandma, kalian mau ikut naik? Kuat, kan?”
Poppy tersenyum, menepuk tangan Dasha lembut.
“Tidak usah, sayang. Kau tahu sendiri, nenekmu ini sudah tak muda lagi. Nikmati saja waktumu bersama anak-anakmu, ya? Ambil banyak foto. Tunjukkan pada kami nanti.”
“Aku juga akan menemani Ibu di sini,” tambah Malisa. “Nikmati waktumu, Dasha.”
Dasha mengangguk. Ia tahu, dua perempuan yang dicintainya itu sengaja memberinya waktu bersama keluarga kecilnya. Ia menatap mereka lembut, lalu berbisik pelan, “Terima kasih.”
“Kita sudah sampai,” ucap sopir.
“Ayo, Pa!” seru Lea sambil menarik tangan papanya penuh semangat.
Begitu pintu mobil terbuka, Lea buru-buru turun. Dasha segera memperingatkannya,
“Hati-hati, Lea--”
Tapi kalimatnya terputus oleh suara tangisan si kecil.
“Aduh! Sakit! Huhuhu! Mimaaa!” isaknya keras.
Leo segera berlari mendekati adiknya dan memeluknya erat.
“Jangan nangis.” Ia menatap orang tuanya, jelas meminta pertolongan.
“Biar Papa gendong, sayang. Kita bersihkan lukanya, ya,” ujar Issa panik sambil menggendong Lea. Ia begitu gugup sampai tak tahu ke mana harus melangkah. Dasha dengan tenang menghampiri.
“Biar aku saja yang ke toilet sama Lea, Issa. Tolong ambilkan kotak P3K di tas. Leo, tunjukkan pada Papa di mana tasnya, ya,” katanya lembut namun tegas.
“Sayang, kita cuci lukanya dulu, ya?” bisik Dasha sambil menggendong Lea menuju ruang bilas.
“Mima, sakit banget,” isak Lea semakin keras saat air menyentuh lukanya.
“Tak apa, sayang. Percaya sama Mima, ya? Kita harus bersihkan biar nggak infeksi,” jawab Dasha sambil perlahan menyabuni lutut kecil itu. Lea mengangguk sambil berusaha menahan tangis.
“Anak Mima kuat,” ujarnya lembut.
Begitu selesai, mereka keluar dari toilet. Issa dan Leo sudah menunggu di depan pintu.
“Sudah baikan, sayang?” tanya Issa sambil menerima Lea dari pelukan Dasha.
“Lumayan, Pah,” jawab si kecil pelan.
Dasha mengambil kotak P3K dari Leo dan berkata,
“Kita ke mobil dulu, ya, biar bisa dibersihkan dengan benar.”
Di dalam mobil, Dasha membersihkan dan menutup luka itu sambil mendengar obrolan ringan antara ayah dan anak.
“Masih sakit, Lea?” tanya Leo.
“Sedikit,” jawabnya.
“Mau es krim nggak?” tanya Issa.
“Mau, Papa! Rasa stroberi, ya!” Lea bersorak.
Mereka pun turun dari mobil. Issa menggendong Lea, sementara Dasha menggandeng tangan Leo.
“Kamu nggak apa-apa, Leo?” tanya Dasha saat melihat anak lelakinya tiba-tiba diam.
“Kalau tadi aku bantuin Lea turun, pasti dia nggak jatuh,” ucapnya pelan.
Dasha berhenti, lalu berlutut agar sejajar dengannya.
“Sayang, itu bukan salahmu. Kadang hal-hal seperti itu memang terjadi. Yang penting, kamu selalu ada buat adikmu. Itu sudah cukup.”
Leo mengangguk mantap.
“Aku janji, Mima. Aku akan selalu lindungi Lea.”
Dasha tersenyum haru.
“Anak Mima yang baik.”