ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Adelia — gadis cantik yang pintar dan atletis. Sama seperti Aluna Sena, dia juga sekelas denganku.
Banyak yang mengatakan kecantikan Adelia tidak kalah jauh dari Aluna, sehingga dia disebut sebagai wanita tercantik kedua di sekolah.
Rambut hitamnya sebahu, berkilau di bawah cahaya malam. Tatapannya tajam namun tenang, dengan sepasang mata abu-abu yang memantulkan cahaya seperti logam dingin.
Dan saat ini, gadis itu berdiri di hadapanku — tenang, seolah tidak terusik oleh pemandangan mengerikan di depannya.
Ia menyaksikan pertarungan antara dua makhluk aneh itu tanpa sedikitpun rasa takut.
Udara malam terasa berat. Bau amis bercampur tanah basah menusuk hidung.
Pertarungan antara gumpalan daging berdenyut aneh dengan elang raksasa hitam keperakan terasa jelas berat sebelah. Elang itu mendominasi segalanya — cepat, kuat, dan buas.
Kiiikkk!!
Suara pekikan tajam elang itu memecah udara.
Dalam satu gerakan, elang itu menukik dan menindih tubuh lawannya. Cakarnya yang besar dan tajam menancap dalam, disertai suara sraaakkk! yang menggema. Daging makhluk itu tercabik, cairan kehijauan menyembur ke segala arah, sebagian menetes ke tanah, menimbulkan asap tipis berbau busuk.
Tubuh makhluk itu menggeliat sejenak, kemudian hancur lebur — bergetar, lalu berubah menjadi debu hitam yang terangkat perlahan, tersapu angin… dan menghilang tanpa jejak.
Aku menatapnya tanpa bisa berkata apa-apa.
“Menghilang?” gumamku pelan. “Apa berarti makhluk itu benar-benar mati?”
Suara langkah ringan terdengar.
Adelia berjalan mendekat dengan tenang, jaket putihnya berkibar lembut tertiup angin.
Ia berhenti di depan elang itu — makhluk besar yang kini menundukkan kepala seolah tunduk padanya.
Tangannya yang halus mengelus bulu hitam keperakan di leher elang itu.
“Kerja bagus, Sky,” ucap Adelia lembut. Suaranya datar, tapi hangat.
Elang itu mengeluarkan suara rendah seperti dengkuran pelan sebelum tubuhnya perlahan berubah.
Bagian sayapnya mencair lebih dulu, diikuti paruh dan bulu-bulunya, hingga seluruh tubuhnya berubah menjadi cairan hitam yang berkilau di bawah cahaya bulan.
Cairan itu mengalir perlahan ke tangan kanan Adelia, menyerap ke kulitnya, lalu menghilang tanpa bekas.
Aku terdiam di balik semak.
Angin malam membawa aroma tanah basah dan sisa debu hitam dari makhluk yang hancur tadi.
Jantungku berdetak pelan tapi berat, antara rasa tak percaya dan penasaran yang mulai tumbuh.
Aku hanya bisa terpaku melihat hal itu. Sesuatu yang kupikir hanya ada di dunia fantasi saja, ternyata benar-benar ada di dunia ini. Kalau begitu…
Adelia menarik napas panjang sambil menyilangkan jarinya, lalu meregangkan tubuhnya dengan santai.
“Mmmhhh… aku akan langsung pulang, lalu man—”
“Apa yang kau lakukan?” potongku lirih tapi jelas, sambil berjalan keluar dari semak-semak.
Tubuh Adelia langsung menegang. Ia berbalik cepat, rambutnya berayun tertiup angin malam. Mata abu-abunya memandangku tajam, refleks memasang posisi siaga.
“Kau…” ujarnya terkejut, “…Arya?”
‘Sejak kapan dia ada di sana? Aku tidak merasakan kehadirannya sama sekali!’ batin Adelia. Raut wajahnya sekejap menunjukkan keterkejutan dan kepanikan, tapi segera dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya.
“Adelia…” panggilku dengan senyum tipis. “Apa kau… seorang penyihir?”
Adelia terdiam. Sekilas ekspresinya kaku, namun detik berikutnya wajahnya berubah lembut — dengan senyum sinis yang berusaha menutupi kegelisahan.
“Apa yang kau katakan? Penyihir? Siapa? Aku? Apa kau sedang ngelantur atau apa?” katanya, nada suaranya terdengar ringan namun mengandung ejekan halus, seperti mencoba menertawakan kebodohanku.
Aku menatapnya tanpa menjawab, hanya memperhatikan ekspresinya yang tetap tenang, seolah benar-benar tidak tahu apa yang kubicarakan.
Tapi aku tahu — matanya sempat berkedip ragu sesaat sebelum ia tersenyum sinis seperti itu.
Dia memang hebat. Dengan nada santai dan ejekan, dia berusaha mengguncang pikiranku, membuatku ragu pada apa yang kulihat sendiri.
Sebuah cara cerdas untuk menutupi kebenaran yang sudah ketahuan.
“Jangan menyangkalnya!” ujarku dengan nada sedikit meninggi. “Apa kau pikir aku tidak akan merekam kejadian abnormal ini?”
Senyum Adelia melebar, tampak puas.
“Merekam apa? Coba perlihatkan padaku!” katanya santai, nada suaranya seperti menantang.
Ohh, begitu ya…. “Kau pikir aku mau? Kau pasti akan merebutnya dariku dengan paksa”
“Apa yang kau katakan? Apa kau bodoh?” ucap Adelia sambil tersenyum sinis, sedikit menggelengkan kepala. “Aku ini cuma perempuan lemah, tahu? Jadi bagaimana caranya aku bisa merebut ponsel dari pria sepertimu?”
Heh… lihatlah dia.
Alih-alih berpura-pura bingung dengan tuduhanku, dia justru tersenyum dengan tenang — senyuman yang jelas-jelas penuh ejekan. Dia sama sekali tidak panik. Sebaliknya, dia mencoba membuatku terlihat seperti orang tolol. Dan yang lebih mengesalkan, caranya meremehkanku itu… benar-benar berhasil memancing emosi.
“Bagaimana? Tentu saja dengan elangmu itu!” Jawabku.
“Bagaimana? Tentu saja dengan elangmu itu!” jawabku cepat.
Adelia menaikkan sebelah alis, lalu terkekeh pelan. “Elang? Elang apa sih yang kau bicarakan?”
Dia kemudian menatapku dengan ekspresi geli yang berubah menjadi senyum nakal.
“Oh, aku tahu sekarang,” ujarnya ringan. “Kemarin kau ditolak Luna, kan? Jadi ini caramu menarik perhatian wanita lain? Ngaku aja, ya—kau cuma cari alasan biar bisa dekat denganku?”
Aku hanya diam menatapnya, tapi Adelia malah menutup mulutnya sebentar—lalu tertawa.
“Pfft… ahahaha… serius, Arya? Kau bahkan lebih parah dari yang kukira!”
Tawanya semakin keras. “Kau selalu sendirian, muram, nggak pernah bergaul... jangan-jangan, kau ini wibu, ya? Belajar semua omong kosong ini dari anime-anime yang kau tonton?”
“Hahahaha! Aduh, perutku sakit!”
Adelia tertawa sampai menunduk, satu tangannya menahan perut, satu lagi mengibas udara di depannya.
Tawa itu terdengar lepas—tapi juga menyakitkan. Seolah setiap cemooh yang keluar dari bibirnya menampar diriku.
Sekarang aku mengerti kenapa Adelia ditempatkan di nomor dua. Ya… ini pasti karena sifatnya ini. Dia memang tidak kalah cantik dari Aluna, tapi hatinya tidaklah sebaik Aluna. Huff…. Entah sifat siapa yang dia tiru. Tapi yang jelas, bocah ini sangat menyebalkan.
Baiklah, apa yang harus aku lakukan. Jujur saja, aku bahkan tidak sempat merekam apa pun. Ponselku mati total sejak tadi karena kehabisan baterai. Kalau aku lari sekarang, butuh sekitar lima belas menit untuk mencapai area yang mulai ramai. Di sana, dia tidak akan berani bertindak sembarangan. Tapi masalahnya... apa aku bisa sampai sebelum elang raksasanya muncul lagi?
Aku menghela nafas perlahan.
Aku juga tidak tahu apakah kekuatannya hanya sebatas memanggil elang itu, atau dia punya kemampuan lain yang belum kutahu.
Kalau begitu…
“Hikss…”
“Eh?” Adelia spontan menatapku, alisnya terangkat.
“Ja-jahat… A-aku… aku nggak… hikss… bermaksud… hiks… begitu…” ucapku terbata, suaraku pecah di sela isak. Air mataku mengalir deras di pipi.
Adelia tampak terkejut, matanya melebar. “K-kau… kau menangis?” katanya tidak percaya. Lalu, seolah mencoba menutupi rasa kikuknya, dia cepat menegakkan bahu dan berteriak,
“Dasar cengeng! Cowok macam apa yang nangis cuma karena dikatain begitu?!”
Aku mengusap wajahku dengan punggung tangan, pura-pura terisak semakin keras.
Ya, aku tahu ini memalukan. Tapi apa boleh buat — aku bukan pahlawan, apalagi petarung kuat, aku ini hanyalah makhluk lemah. Menghadapi elang raksasa atau penyihir jelas bukan pilihan yang bijak. Kalau aku nekat, aku cuma akan jadi mayat konyol di pinggir kota.
“Ta-tapi…” suaraku bergetar. “Kau bilang hal yang… sangat menyakitkan… hiks… aku baru aja ditolak cinta pertamaku… hiks… terus aku juga ngelihat makhluk aneh, seperti zombie, yang hampir ngebunuhku… hiks… semuanya bikin aku takut dan bingung… hiks… huu—uwaaahhh….”
Tangisku pecah, lebih tepatnya, tangis buatan yang kulakukan dengan penuh kesadaran dan sedikit sentuhan keputusasaan palsu.
Adelia terdiam. Ekspresinya yang tadi sinis mulai luluh, tergantikan oleh rasa bersalah yang samar. Ia menghela nafas pelan.
“Mmmhhh… baiklah, aku mengerti. Jadi, tenanglah, oke? Dan… berhentilah menangis,” katanya, nada suaranya terdengar lebih lembut.
Lihat, kan? Aktingku memang hebat. Kalau ada penghargaan Oscar untuk aktor paling putus asa, aku pasti menang telak.
Tapi… yah, di luar semua itu, rupanya Adelia masih punya sedikit sisi manusiawi di balik lidah tajamnya.
“Kau bilang tadi… kau melihat makhluk seperti zombie, kan?” tanyanya lagi, kali ini suaranya jauh lebih pelan. Sepertinya aktingku benar-benar berhasil.
“Bisa ceritakan padaku seperti apa makhluk itu?”
Aku mengusap sisa air mata pura-pura di pipiku, mengangguk pelan.
“Y-ya,” jawabku pelan.
Lalu aku mulai menceritakan semuanya—tentang malam itu, tentang makhluk aneh yang menatapku dengan mata kosong dan tubuh membusuk—kepada Adelia.
Kali ini, tanpa kebohongan apa pun.