Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35. KEMBALI BERKUMPUL
Suara mesin infus, langkah kaki dokter, dan aroma antiseptik yang menusuk seolah menyatu menjadi satu simfoni rumah sakit yang tak pernah henti. Di koridor lantai enam, cahaya lampu LED memantul pada lantai marmer pucat, menciptakan kilau yang terasa dingin dan tak bernyawa. Namun bagi Victoria Thompson, seluruh dunia justru terasa terhenti. Ia berdiri mematung di depan pintu ruang rawatnya, napasnya masih belum stabil, matanya membelalak seolah menolak percaya pada kalimat yang baru saja keluar dari mulut ayahnya.
"Violetta ... sudah sadar sejak seminggu lalu."
Seminggu.
Seminggu penuh.
Tujuh hari ... tujuh malam ... dan tak ada seorang pun memberitahunya.
Darah seperti surut dari wajah Victoria. Lidahnya kelu, otaknya menolak menyusun kalimat yang masuk akal. Tatapannya terarah kosong pada Jonathan Thompson, yang berdiri di ambang pintu ruangannya, tampak lelah namun tetap tegas seperti biasa. Di belakangnya, Julius menatap Victoria dengan cemas, napasnya masih tersengal karena mengejarnya beberapa menit lalu, kala Victoria langsung bangkit dari ranjang dan berlari tanpa sepatah kata pun.
"Vivi-"
Belum sempat Jonathan menyelesaikan kalimatnya, Victoria sudah bergerak. Kakinya melompat ke depan, terdorong dorongan naluriah yang begitu kuat hingga tidak ada lagi ruang untuk logika. Ia berlari.
Dalam sekejap, lorong rumah sakit memanjang seperti terowongan yang tak berujung. Napasnya terpecah dalam ritme tak beraturan, rambutnya terurai, gaun rumah sakit yang longgar berkibar mengikuti gerak tubuhnya. Udara dingin menampar pipinya, tapi ia tidak peduli. Ia bahkan tidak memedulikan perban di lengannya yang sedikit tertarik, atau rasa nyeri samar di tulang rusuknya.
Yang ia tahu hanya satu hal-
Violetta.
Saudari kembarnya.
Belahan jiwanya.
Separuh dirinya yang hilang.
"Victoria! Kau mau kemana?!" Suara Julius terdengar di belakang ketika melihat Victoria tiba-tiba berhambur keluar dari ruangan, namun semakin menjauh karena Victoria terus mempercepat langkahnya.
Beberapa perawat menoleh ketika ia melintas, sebagian menggeleng, sebagian hendak menghentikan, tetapi tak satu pun berhasil. Victoria seperti badai yang baru saja dibebaskan dari kurungan.
Tangannya meraih dinding untuk menjaga keseimbangan saat berbelok di tikungan menuju ruang rawat khusus. Ia benar-benar tidak tahu ruangan mana yang dimaksud, tapi nalurinya menuntun, seperti magnet yang saling mencari.
Denyut jantungnya seperti memukul rongga dada.
Ketika melihat papan nama pasien di salah satu pintu, langkahnya terhenti mendadak.
VIOLETTA QUIN.
Ruangan 612-B.
Pandangan Victoria bergetar. Seluruh tubuhnya lunglai, tetapi jiwanya justru berlari semakin cepat. Ia meraih gagang pintu, dan tanpa mengetuk, tanpa menunggu, tanpa memikirkan apa pun-
Ia membuka pintu.
Dan dunia berhenti.
Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, Victoria melihatnya.
Violetta.
Duduk bersandar di ranjang rumah sakit, rambut hitam panjangnya tergerai lembut, kulitnya pucat namun jauh lebih hidup daripada terakhir kali Victoria melihatnya—terbaring tak bergerak dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Selang infus masih terpasang di tangan kanan, sebuah selimut biru muda menutupi kakinya. Sorot matanya lembut, bersinar, penuh kehidupan dan ketika kedua mata itu menatap Victoria, dunia Victoria runtuh sekaligus terbang.
Di samping ranjang, Sarah Quin duduk dengan tangan menggenggam tangan putrinya, sementara Aiden berdiri bersandar pada tepi jendela, kedua tangannya terlipat di dada, wajahnya penuh kewaspadaan seperti biasa.
Mereka semua menoleh bersamaan. Namun suara pertama yang terdengar justru bukan milik mereka.
Melainkan milik Violetta.
"Victoria?"
Suara itu pecah, hampir bergetar, seperti seseorang yang takut suaranya hanya akan menjadi mimpi.
Dan seketika, air mata mengalir dari mata Victoria sebelum ia sempat menghalanginya.
"Violetta?" ucap Victoria, napas patah.
Tidak menunggu sedetik pun, Victoria melompat maju.
Kakinya menghantam lantai dengan suara lembut sebelum tubuhnya menghantam tubuh Violetta dengan cara paling penuh rindu yang pernah ada. Ia memeluk saudari kembarnya sekuat tenaga, seolah jika ia mengendurkan pelukan sedikit saja, Violetta akan menghilang kembali ke dalam kegelapan.
"Vio," suara Victoria pecah, memarut udara di ruangan. "Kau sadar ... kau benar-benar sadar."
Tangannya gemetar saat mencengkeram baju rumah sakit Violetta.
Butuh waktu beberapa detik sebelum tangan Violetta akhirnya membalas pelukan itu, hangat, lembut, penuh kasih sayang yang selama ini terpendam.
"Aku di sini, Vivi," jawabnya pelan, tersenyum kecil yang terdengar melalui suaranya. "Aku di sini."
Victoria terisak begitu keras hingga bahunya berguncang. Seluruh beban yang ia pikul; ketakutan, penyesalan, rasa bersalah, amarah, kesepian, semuanya meleleh dalam satu momen itu.
"Akhirnya," Victoria menenggelamkan wajahnya di bahu Violetta. "Akhirnya kau bangun juga. Tuhan, aku pikir aku akan kehilanganmu."
Violetta mengusap punggung saudari kembarnya pelan, seolah menenangkan anak kecil.
"Maaf," gumam Violetta dengan nada lembutnya yang khas. "Maaf membuatmu menunggu selama ini."
Victoria semakin mengeratkan pelukan. "Jangan bilang maaf! Jangan pernah bilang maaf!"
Sarah mengusap pipinya, berlinangan air mata, sementara Aiden mengembuskan napas panjang dan memalingkan wajah, jelas berusaha tetap terlihat tegar.
Beberapa menit berlalu sebelum Victoria akhirnya melepaskan pelukan itu, meski enggan. Ia menatap wajah Violetta, memegang kedua pipinya, matanya seperti menelan setiap detail, alisnya, garis wajahnya, bentuk hidungnya ... semua masih sama.
Namun ada sesuatu yang berbeda.
Ada kehampaan yang sangat halus, tersembunyi jauh di balik tatapan mata Violetta, sesuatu yang mungkin tidak akan disadari orang lain, tetapi Victoria tahu, karena ia adalah duplikat hidup saudari kembarnya.
"Jangan pernah ... jangan pernah lakukan itu lagi," ujar Victoria lirih, namun saking emosionalnya terdengar seperti ancaman.
Violetta mengulas senyum kecil. "Aku tidak berencana."
Victoria mengerjap, menatapnya tajam. Dan tiba-tiba, ia meledak.
"KAU INI GILA, VIOLETTA!"
Aiden dan Sarah sontak terkejut, tetapi Violetta justru tertawa kecil, sudah terbiasa dengan nada Victoria yang seperti petir menyambar mendadak.
"Kau pikir itu lucu?!" Victoria mengibaskan tangannya dramatis. "Kau bahkan tidak bilang apa pun padaku! Kau menghilang! Kau tertutup! Kau menanggung semuanya sendirian! Dan lalu kau bertemu Sean, psikopat sialan itu dan kau masuk ke dalam perangkapnya begitu saja?!"
Suasana ruangan berubah tegang seketika.
Nama itu.
Sean.
Bagaikan racun untuk semua orang. Mereka tahu apa yang Sean perbuat dulu hingga membuat seorang Victoria tidak lagi seperti manusia kala itu.
Mata Violetta menunduk, kilatan gelap melintas cepat sebelum ia menyembunyikannya. Tangannya mengepal di atas selimut, tubuhnya menegang halus.
"Vivi," panggilnya pelan, penuh kelembutan.
Namun Victoria tak berniat berhenti.
"Kau hampir mati, Vio!" suara Victoria pecah lagi. "KAU HAMPIR MATI! Apa kau tahu bagaimana rasanya setiap hari aku bangun dengan ketakutan bahwa aku mungkin tidak akan pernah melihatmu lagi?!"
Tangannya menunjuk dirinya sendiri, gerakannya gemetar.
"Apa gunanya selama ini aku belajar bela diri, taktik bertahan hidup, kemampuan membaca orang, ilmu kriminal dari Dad jika pada akhirnya kau tidak percaya padaku?! Kita ini kembar! Kita selalu melewati semuanya bersama! Tapi waktu kau dalam bahaya ... kenapa tidak bicara padaku?" Air mata jatuh dari mata Victoria lagi, tanpa ia sadari.
Sementara Violetta hanya menatap saudari kembarnya dengan tatapan paling bersalah di dunia.
"Karena," Violetta menghela napas panjang. "Waktu itu ... aku merasa seperti tidak punya suara. Seperti aku terkunci dalam kepalaku sendiri. Seperti kalau aku bicara, semuanya akan menjadi lebih buruk."
Victoria terdiam.
Hening panjang menyelimuti ruangan.
"Aku takut, Vi," suara Violetta akhirnya pecah, bergetar. "Aku benar-benar takut. Aku tidak tahu harus melakukan apa."
Dan hanya dengan kalimat itu, amarah Victoria runtuh.
Ia mengambil tangan Violetta dan menggenggamnya erat, menempelkannya ke dadanya.
"Kau tidak harus tahu harus apa," kata Victoria pelan. "Karena aku akan selalu tahu apa yang harus kulakukan untuk melindungimu."
Aiden tak tahan lagi.
"Ya Tuhan, kalian berdua benar-benar menyebalkan," ujar sang kakak.
Victoria menoleh, mendelik. "Apa kau bicara padaku?"
"Kalau bukan padamu, siapa lagi?" Aiden mendorong tubuhnya dari kaca dan berjalan mendekat. "Karena semua masalah ini terjadi karena kau juga, Vivi. Kau yang malah pergi seorang diri, kau yang terluka, kau yang hampir mati, dan kau yang membiarkan dirimu diculik oleh Sean. Bukankah sudah kubilang untuk hati-hati?"
Victoria ternganga. "AKU?! Aku yang salah?!"
Aiden mengangkat alis. "Siapa lagi?"
Victoria menunjuk dada sendiri. "Aku ini korban, Wahai Kakakku Yang Baik Hati."
"Kau korban karena kau keras kepala!" balas Aiden cepat.
Victoria mendengus. "Aku tidak keras kepala! Aku hanya-"
"Kau keras kepala, Victoria." Violetta ikut menambahi, senyum nakal terbit di bibirnya.
"HAH?! Kau membelanya?!" Victoria menunjuk Violetta, tersinggung maksimal.
"Kami berdua membelanya," sahut Sarah, tanpa ampun.
Victoria menatap ibunya dengan wajah terkhianati. "Mom?!"
Sarah Quin tersenyum lembut penuh kewibawaan seorang ibu yang telah melewati terlalu banyak kejadian mengancam nyawa anak-anaknya dalam beberapa minggu terakhir. Ia mengusap rambut Victoria, lalu rambut Violetta, lalu berdiri di antara mereka seperti mediator profesional.
"Kalian ini," Sarah menghela napas, namun matanya hangat. "Setiap kali berkumpul, selalu saja bertengkar dulu baru pelukan."
Aiden langsung menunjuk Victoria. "Salah dia."
"KAU DIAM!" Victoria memukul bahu Aiden, meski pelan.
"Lihat? Cerewet dan agresif," celetuk Aiden puas.
Victoria memicingkan mata, siap membalas.
Namun Sarah mengangkat tangan dan seketika seluruh ruangan seperti dimatikan tombol volumenya.
"Stop," perintah sang ibu.
Tiga bersaudara Thompson langsung diam seperti anak anjing yang baru saja dimarahi.
Dengan nada lembut namun tegas, Sarah menatap kedua putrinya, terutama Victoria.
"Baby, kau harus berhenti melakukan hal-hal berbahaya itu. Aku hampir kehilangan kalian berdua, dan aku tidak akan mampu melalui itu lagi." Suara Sarah bergetar halus. "Kalian membuat semua orang khawatir."
Victoria menunduk. Violetta pun begitu.
"Kami mengerti, Mom," kata Violetta dan Victoria bersamaan.
"Maaf," tambah Victoria, suaranya kecil sekali.
Sarah mengusap kepala keduanya. "Jangan ulangi lagi."
"Kami tidak akan," jawab mereka bersamaan.
Aiden bersedekap. "Coba kita lihat berapa lama janji itu bertahan."
Victoria mendongak dan memukul lengan kakaknya. "Kau diam, Aiden!"
Aiden mengangkat tangan seolah menyerah. "Oke, oke. Tapi jujur saja, kalian sadar kan? Kalau Mom bicara saja, mereka langsung patuh seperti anak ayam."
Sarah terkekeh, anggun dan hangat. "Tentu saja. Aku ibu kalian."
Victoria dan Violetta saling pandang, lalu tertawa bersama, tawa ringan, tawa yang seolah menghapus semua kegelapan yang pernah mengancam mereka.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka merasa utuh lagi.
Lalu-
Klik.
Pintu ruangan terbuka.
Semua kepala menoleh.
Jonathan Thompson berdiri di sana, masih mengenakan setelan jas hitamnya, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya penuh campuran antara lega, marah, dan lelah. Di belakangnya, Julius terengah, memegang sisi pintu seperti baru selesai maraton, matanya mencari Victoria dengan panik.
"Victoria Thompson!" Jonathan menunjuk putrinya dengan ekspresi ayah yang sedang menahan amarah. "Aku baru membalikan badan dua menit dan kau sudah lari seperti dikejar setan!"
Victoria berkedip, tersenyum tidak bersalah. "Hehe."
Julius menatapnya seolah ingin pingsan. "Aku hampir kena serangan jantung mengejarmu."
Victoria mengangkat bahu. "Kalau begitu kau harus olahraga lebih banyak."
Julius mengerjap. "Itu bukan poinnya."
Namun sebelum Jonathan sempat lanjut memarahi, matanya akhirnya mendarat pada Violetta.
Dan seluruh ekspresinya melunak seketika.
Ia berjalan mendekat pelan, seolah takut jika terlalu cepat akan merusak momen itu.
Violetta tersenyum hangat. "Dad."
Dua langkah terakhir Jonathan tak lagi pelan. Ia langsung menarik putrinya ke dalam pelukan besar dan penuh kelegaan. Tangannya mencengkeram punggung Violetta seakan ia tidak akan pernah melepaskannya lagi.
"I miss you," bisik Violetta.
Jonathan menutup mata, menahan emosi. "I miss you too, Princess."
Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, keluarga Thompson kembali lengkap.
Meski belum sembuh sepenuhnya, meski masih ada luka yang harus dihadapi, meski masih ada bayangan Sean yang berkeliaran entah di mana.
Untuk saat ini ... mereka bernapas.
Dan itu cukup.
happy ending 👏👍
terimakasih thor, sukses dgn karya-karyanya di novel 💪
S
E
H
A
T
SELALUUU YAAAA💪💪💪💪❤️☕️
Hanya kamu yang tau thoorrr...
q suka....q suka...q suka
tarik siiiiiiisssss💃💃💃💃
Violetta Henry
wkwkwk
bener² kejutan yang amat sangat besaaarr...
kusangka hanya PION dr SEAN...nyata oh ternyata...daebaaaakkkk👏👏👏👏👏👏👏
kebuuut sampai 400 episode thooorrr...
bagis banget alur cerita ini...☕️☕️☕️
lanjutin Thor semangat 💪 trimakasih salam 🙏
eh, ngomong² gmn tuh dgn Sean skrg
Sean dah dipenjara, semoga aja gak bikin ulah lagi, tapi kayaknya gak bisa diem deh Sean