Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Pernikahan yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan kini terasa seperti ritual pemakaman bagi Sania.
Pagi itu, di ballroom mewah villa Salvatore, semuanya sudah disiapkan.
Bunga-bunga mahal, dekorasi kristal, dan hidangan mewah tersaji di meja-meja. Para tamu kebanyakan adalah rekan bisnis Salvatore yang berwajah dingin dan kejam sudah hadir, duduk dengan tenang, menanti dimulainya upacara.
Sania duduk di kamar ganti, mengenakan gaun pengantin putih yang indah, ironisnya, terasa seperti kain kafan yang menjeratnya.
Dia sendirian, dijaga oleh dua pengawal wanita di luar pintu.
Kabar kematian Bima yang didengarnya langsung dari Salvatore membuat jiwanya hancur berkeping-keping.
Ia hanya bisa menangis sesenggukan, bahunya bergetar tak terkendali.
Tidak ada lagi perlawanan, tidak ada lagi amarah. Hanya ada rasa sakit, kesedihan, dan penyesalan yang mendalam karena telah menandatangani surat cerai itu.
Pintu terbuka, dan Salvatore masuk dengan setelan jas putih yang rapi. Ia terlihat bahagia, bersemangat, dan memuakkan.
"Saatnya, Sayang," kata Salvatore, suaranya lembut, namun matanya sama sekali tidak memiliki kehangatan. Ia mengulurkan tangannya pada Sania.
Sania menatap tangan itu, enggan menyentuhnya.
"Jangan membuatku menunggu," desis Salvatore, nada lembutnya menghilang.
"Ingat, kamu adalah Nyonya Salvatore sekarang. Tunjukkan senyummu, atau semua orang akan tahu betapa buruknya istrimu yang baru ini."
Dengan hati yang hancur, Sania bangkit. Ia membiarkan Salvatore menggandengnya, menuntunnya keluar dari kamar itu, menuruni tangga besar, menuju kerumunan tamu.
Lampu sorot, musik, dan tatapan penuh rasa ingin tahu dari para tamu terasa menusuk.
Sania berjalan seperti boneka, wajahnya pucat pasi, matanya sembab, namun ia berusaha keras untuk tetap berdiri tegak.
Mereka berdiri di hadapan seorang penghulu yang sudah disiapkan. Salvatore memegang erat tangan Sania.
"Kita akan melakukannya dengan cepat," bisik Salvatore di telinga Sania, seolah hanya sebuah formalitas yang harus diselesaikan.
Penghulu memulai upacara. Sania merasakan perutnya mual, suaranya tercekat di tenggorokan saat ia seharusnya mengucapkan sumpah.
Salvatore menoleh padanya, tatapannya mengancam. "Ucapkan, Sania."
Dengan sisa kekuatan terakhirnya, Sania mengucapkan kata-kata yang memulihkan akad nikah itu, mengikat dirinya secara sah kepada pria yang telah menghancurkan hidupnya.
Air matanya menetes lagi, membasahi buket bunga di tangannya.
Ketika Salvatore menciumnya di hadapan para tamu, Sania tidak merasakan apa-apa selain rasa dingin dan mati rasa.
Di hadapan dunia, dia adalah istri baru Salvatore. Di dalam hatinya, ia baru saja menguburkan cinta sejatinya.
Setelah acara pernikahan yang singkat namun mencekam selesai, Salvatore tidak membuang waktu.
Ia menggandeng paksa Sania, membawanya menaiki tangga dan langsung menuju kamar utama.
Para tamu yang hadir tampak acuh tak acuh, menikmati hidangan dan tidak ada yang berani ikut campur.
Begitu pintu kamar tertutup, Salvatore melepaskan Sania dan mendorongnya ke dalam ruangan.
Keheningan kamar yang luas itu terasa memekakkan. Gaun pengantin yang dikenakan Sania terasa berat, membelenggunya seperti rantai.
Salvatore berjalan perlahan mendekati Sania, senyum licik tersungging di bibirnya.
Ia mulai melonggarkan dasinya, matanya menunjukkan kepemilikan yang murni.
"Pernikahan adalah upacara yang melelahkan," ucap Salvatore, suaranya serak. "Tapi sekarang, kita sudah sah. Dan aku sudah menunggu sangat lama untuk ini."
Salvatore menjatuhkan dasinya ke lantai.
"Sekarang kita lakukan seperti pengantin lainnya," ucapnya, bergerak maju.
Sania tersentak mundur, rasa takut membuatnya kembali sadar dari kondisi mati rasa yang dialaminya selama upacara.
Ia menggelengkan kepalanya keras-keras, air mata yang sudah habis seolah muncul lagi.
"Tidak. Sal, jangan," pinta Sania, suaranya bergetar hebat. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki, satu-satunya kartu yang tersisa.
"Kumohon. Jangan sentuh aku."
Salvatore menghentikan langkahnya, ekspresi bosan muncul di wajahnya.
"Jangan coba-coba menguji kesabaranku, Sania."
Sania mengangkat tangannya, menyentuh lembut perutnya yang kini terlihat sedikit membesar, meskipun gaun itu berusaha menyembunyikannya.
Ia menatap Salvatore dengan tatapan memohon dan putus asa.
"Aku sedang hamil, Salvatore!" Sania berseru, suaranya hampir pecah. "Ini anak Bima! Kumohon, jangan!"
Keheningan kembali menyelimuti kamar. Sania melihat kilatan kejutan di mata Salvatore, tetapi hanya sesaat.
Salvatore menatap perut Sania, lalu kembali menatap mata Sania.
Senyumnya kembali muncul, namun kali ini lebih keji dan kejam dari sebelumnya.
Salvatore tidak memperdulikannya.
""Menarik. Kau pikir itu akan menghentikanku? Kau salah, Sania. Dia sudah mati. Dan bayi itu..."
Salvatore mengangkat bahu, "Dia akan tumbuh sebagai anakku. Dia akan belajar memanggilku Ayah. Itu adalah hadiah yang sempurna untukku. Bukankah begitu?"
Salvatore melangkah maju, menghapus jarak di antara mereka.
Matanya menunjukkan bahwa permohonan Sania telah gagal total. Ia meraih lengan Sania dengan kuat, menegaskan kendalinya yang kejam.
"Gaun ini harus dilepas sekarang," perintahnya dengan suara rendah dan tanpa kompromi.
Kamar utama yang mewah itu menjadi saksi bisu kebrutalan.
Salvatore melakukan hubungan itu dengan paksa, mengabaikan setiap rintihan dan penolakan Sania.
Bagi Sania, itu adalah penyiksaan yang tak terbayangkan, penenggelaman total ke dalam jurang trauma, di mana pengorbanannya untuk Bima terasa sia-sia.
Kehadiran janin Bima di perutnya tidak sedikit pun meluluhkan kekejaman Salvatore, justru menambah lapisan kekejian pada tindakannya.
Beberapa jam yang terasa seperti keabadian kemudian, Salvatore akhirnya bangkit dari ranjang, terlihat puas dan acuh tak acuh.
Ia merapikan pakaiannya, tanpa menoleh sedikit pun pada Sania yang terbaring meringkuk, tubuhnya gemetar, jiwanya hancur.
"Aku akan turun untuk makan malam. Jangan coba-coba melakukan hal bodoh," katanya tanpa emosi, lalu meninggalkan Sania sendirian dalam kegelapan dan kehancuran kamar itu.
Sania hanya bisa terisak tanpa suara, memeluk perutnya, merasakan setiap inci tubuhnya menjerit kesakitan dan rasa jijik.
Di bawah, Salvatore menuju ke ruang makan yang sudah dipenuhi oleh lingkaran dalamnya.
Ia duduk di kepala meja, ekspresinya kembali dingin dan berkuasa, seolah baru saja menyelesaikan urusan bisnis yang sangat memuaskan.
Ia tidak membuang waktu untuk basa-basi. Ia menatap Marco, anak buah kepercayaannya yang bertanggung jawab atas penangkapan Bima.
"Aku sudah mendapatkan pengantin wanitaku. Sekarang, fokus pada barang yang tersisa," kata Salvatore.
"Aku tahu wanita itu pasti menyembunyikannya. Dia tidak mungkin meninggalkannya begitu saja," desis Salvatore, menepuk meja dengan jarinya.
"Cari flashdisk itu dan berikan kepada ku. Bongkar di mana pun dia menyembunyikannya di kamar ini, di tubuhnya, di mana pun. Aku tidak ingin ada jejak tersisa dari Bima atau Adam. Lakukan sekarang!" perintah Salvatore, suaranya menggelegar, memastikan perburuan terakhir atas bukti kejahatannya dimulai.
Tidak lama setelah Sania ditinggalkan sendirian dalam kehancuran, pintu kamar terbuka lagi. Salvatore tidak turun lama.
Ia kembali dengan aroma alkohol dan kekuasaan yang kejam.
Malam itu, rasa sakit dan teror Sania kembali berulang. Salvatore melakukannya lagi, mengabaikan setiap rintihan Sania, setiap air mata yang mengalir.
Sania tidak melawan lagi, ia hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya menjadi wadah kekejaman, berharap waktu berlalu dengan cepat
Sampai keesokan paginya, ketika sinar matahari menembus jendela kamar, Sania terbangun dalam kondisi kelelahan total.
Tubuhnya sakit, jiwanya kosong. Ia menatap langit-langit, hanya bergerak sebatas bernapas.
Salvatore sudah bangun. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan jubah sutra dan membaca laporan di tabletnya, tampak segar dan tidak terpengaruh oleh kejahatan yang baru saja ia lakukan.
Ia menatap Sania, yang terbaring seperti mayat hidup, tanpa rasa bersalah.
"Bangun, Sayang," kata Salvatore, suaranya tenang dan penuh tuntutan.
"Aku butuh kafein yang kuat untuk memulai hari ini."
Salvatore menyingkirkan tabletnya, menunjuk ke pintu.
"Buatkan aku kopi. Aku ingin kopi yang sangat pahit."
Sania tidak menjawab. Ia hanya mengedipkan matanya perlahan, menerima kenyataan bahwa tugas pertamanya sebagai "istri" adalah melayani orang yang telah menghancurkan hidupnya.
Sania memaksa tubuhnya yang sakit dan lelah untuk bangkit dari ranjang. Setiap gerakan terasa menyakitkan.
Dengan langkah gontai, Sania menyeret dirinya keluar dari kamar, mengikuti lorong mewah itu.
Ia tahu di mana dapur berada dari pesta semalam.
Dengan kepala tertunduk, Sania berjalan ke dapur, mengambil peran barunya sebagai pelayan dalam sangkar emas.