Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Di ruang bawah tanah mansion, di bawah sorot lampu pijar yang menerpa meja kayu tua, suasana terasa kering dan berbahaya. Rak-rak logam penuh botol-botol kecil berlabel samar, peta tata letak mansion tergelar, dan sebuah proyektor tua memantul kan garis-garis merah pada dinding ,seperti peta target yang belum selesai.
Alexandra mengangkat jemarinya, memperlihatkan sebuah peluru kecil berlapis perak. Cahaya lampu membiaskan kilau dingin pada permukaannya. Ia memutar peluru itu pelan, menatapnya seperti orang yang sedang membaca surat Wasiat.
“Peluru,” gumamnya, suaranya datar, seperti mengucap nama senjata suci.
Amberlyn, duduk beberapa langkah darinya dan menatap dengan tenang dari balik segelas minuman, mengernyit sepersekian detik. “Dan kau mau apa dengan itu?” tanyanya, suaranya tipis namun tajam.
Alexandra menyipit, kemudian menjawab tanpa meletakkan peluru itu. “Peluru ini beracun. Belum ada penawarnya. Jika seseorang tertembak oleh ini, dia tidak akan selamat.”
Ia menekan kata-kata itu satu per satu, memberi bobot pada setiap suku kata. “Peluangnya kecil, tapi kematian yang ditimbulkannya, itu pasti, dan lambat. Saksi akan menyangka itu kecelakaan medis. Tidak ada darah yang bertebaran di lantai ballroom. Hanya… keheningan yang memakan.”
Amberlyn meletakkan gelasnya perlahan, mengamati peluru di tangan adiknya. Di matanya muncul kilatan kalkulasi, bukan kegembiraan, melainkan perhitungan dingin. “Darimana kau dapatkan ini?” bisiknya.
Alexandra mengangkat bahu tipis. “Dari kelompok bayangan, mereka yang menyebut diri ‘Phoenix Teratai’. Metode mereka halus:
" racun nano yang menyerang sistem koagulasi dan saraf otonom. Korban terlihat sehat saat disentuh paramedis, lalu… tubuhnya menolak bekerja. Hanya waktu yang memutuskan kapan nafas berhenti.”
Amberlyn menghela napas panjang, bukan karena takut, melainkan karena memahami implikasinya. “Ini bukan hanya senjata; ini sebuah surat pemusnahan tanpa jejak,” katanya pelan. “Kamu ingin menggunakannya pada siapa?”
Alexandra menatap lurus, matanya berkilau dingin. “Untuk kakak,” jawabnya singkat. “Atau siapa pun yang berdiri di antara kita dan apa yang seharusnya menjadi milikku.”
Ada jeda panjang. Di ruangan itu hanya terdengar dengung mesin pendingin dan tick-tick jam dinding tua. Amberlyn menutup mata sejenak, lalu tersenyum tipis, senyum yang menolak empati.
“Kita punya opsi,” ucap Amberlyn akhirnya, suaranya menimbang. “Langsung dan pribadi , taruh peluru itu di ujung pelatuk dan biarkan darahnya jadi bukti. Atau kita gunakan sebagai alat instruksi yang lebih halus:
sisipkan ke tubuh seseorang yang akan menyentuhnya, lalu biarkan pembangunan data, kekuatan ekonomi, reputasi runtuh sendiri.”
Amberlyn mencondongkan tubuh, menatap Alexandra tajam. “Aku ingin lebih dari membunuh satu orang, Alex. Aku ingin menghancurkan sistem yang membuatnya tak tersentuh.”
Alexandra menelan, lalu menutup tangan yang memegang peluru ke dalam genggaman. “Kalau begitu kita harus hati-hati. Satu langkah salah, dan semua jejak akan mengarah ke kita. Kita butuh pengalih perhatian, info yang membuat Apollo lengah, dan seseorang yang bisa menaruh peluru itu tanpa diketahui.”
Amberlyn berdiri perlahan, mengambil flashdisk hitam yang sebelumnya ia sodorkan kemenangan kecil yang mengubah permain an. “Aku sudah menyiapkan pengalih perhatian,” katanya dingin.
“Data ini akan menggoncang Dragunov sampai ke akar. Saat mereka sibuk memadam kan api reputasi, kita bisa menyelipkan peluru itu ke dalam roda yang bergerak.”
Alexandra tersenyum , sebuah senyum yang bukan lagi tentang darah, melainkan tentang strategi. Ia memasukkan peluru itu ke dalam sebuah wadah kecil berlapis kain hitam, lalu menaruhnya di laci meja.
“Baik,” bisiknya. “Saatnya membuat dunia ini percaya bahwa lunasnya kekuasaan bukan karena pembunuhan, tapi akibat runtuhnya rencana yang terlalu besar.”
Amberlyn menyentuh bahu rekannya sekali saja, namun penuh konfirmasi. “Kita bergerak pelan, tapi pasti. Dan ketika semuanya selesai, itu bukan hanya kekuasaan yang kembali padamu, itu adalah pembalasan yang tak bisa dihapuskan.”
Di balik dinding batu itu, mesin proyektor memancarkan titik merah yang terus berputar seperti target yang sedang menunggu titik akhir.
***
Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. lampu kota memantul samar di jendela, garis-garis kuning dan merah yang bergetar seirama dengan rem kendaraan di depan. Lalu lintas macet dan ; deretan mobil seolah enggan memberi jalan pada malam yang sudah terlalu tegang.
Apollo duduk tenang, jasnya tetap rapi, matanya sesekali menatap dokumen yang terbuka di pangkuannya. Angka, nama, koordinat, semua kata itu bergerak seperti peta perang yang harus ia baca tanpa kehilangan denyut nadi. Tinta cetak dingin di kertas mengingatkannya bahwa setiap keputusan membawa konsekuensi hidup atau mati.
Di sampingnya, Lyora telah menyerah pada lelah. Kepala kecilnya bergoyang pelan saat ia mencoba tetap terjaga, lalu akhirnya tergolek jatuh tanpa dramatis. mendarat di bahu Apollo seperti sesuatu yang sudah dipercaya kan padanya sejak lama. Boneka Kelinci putih di pangkuannya bergetar halus, lonceng emas berdering tipis, seolah menegaskan keheningan yang manis itu.
Apollo menutup dokumen pelan, membiarkan mata mengecek satu paragraf lagi sebelum kertas itu ia selipkan dengan rapi.Jantungnya, yang biasa tertutup baja, merespons halus:
sentuhan berat kepala Lyora di bahunya seperti magnet lembut yang menarik napas nya ke tempat lain. Ia tidak menarik diri. Tidak ada kata manis. Hanya gerak tubuh yang sangat kecil, sebuah tangan menyesuaikan posisi di kursi agar Lyora lebih nyaman, siku menumpu pada kain jasnya.
Di luar, suara klakson dan lampu rem membentuk orkestra kota yang tidak peduli pada drama kecil di dalam mobil itu. Apollo menatap wajah Lyora yang tertidur, lesung pipinya tampak lebih lembut di bawah cahaya dashboard. Ada keretakan halus di tepi mata nya, bekas malam yang baru berlalu. Ia ingin bertanya banyak hal; namun kata-kata itu akan membangunkannya.
Tiba-tiba ponsel Apollo bergetar pelan di atas pangkuannya. Ia menatap layar. Nomor tidak dikenal. Tanpa nama. Tanpa negara asal.
Pesannya hanya satu kalimat panjang tanpa emosi :
“Kau akan jatuh bukan karena musuhmu. Kau akan hancur karena orang yang duduk di sisimu sekarang. Dan Lyora akan menjadi batu pertama yang membuat kerajaan bisnis Dragunov runtuh. Kau pikir kau sedang melindunginya… tapi kau justru membiarkan penyebab kehancuranmu bersandar di bahumu.”
Ia menatap layar itu lama. Seolah mencoba membaca siapa yang paling mungkin cukup berani mengirim ini.Pandangan Apollo lalu jatuh ke Lyora di bahunya. Apollo meremas ponsel di tangan , tapi tidak membangun kannya. Tidak menyingkirkan kepala Lyora dari bahunya.
Ia hanya berbisik amat pelan. “Kalau ini permainanmu… kau bahkan tidak mengerti apa yang sudah aku pertaruhkan untuk sampai di titik ini.”
Ia menghapus pesan itu. Kemudian kembali menatap macet yang beku seperti dunia yang menahan napas. Dan bahunya tetap tidak ia geser untuk membiarkan Lyora tertidur.
eh ko gue apal ya 😭