Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Malam itu, ballroom utama hotel internasional tempat konferensi pers mafia-finance berlangsung,suasana nya bahkan terasa seperti dunia lain.
Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya emas pucat ke seluruh ruangan, seolah segala kemewahan, kekuasaan, dan dosa yang bertahun-tahun disembunyikan para pemain dunia bawah… semuanya sedang berpesta di ruang yang sama.
Apollo masuk dengan langkah santai. Setelan hitamnya rapi, wajahnya kembali memakai topeng netral Dragunov, dingin, aristokratik, tidak bisa diterjemahkan. Para wartawan berebut mendekat, lampu kamera menyala seperti kilatan badai petir mini.
Tidak ada satu pun yang menyadari bahwa tepat di atas kepala mereka, kematian sedang digantung hanya dengan seutas tali tipis.
**
Di balkon teknis paling atas, tersembunyi dalam bayangan struktur besi dan panel lampu, Amberlyn berdiri bersama Alexandra. Tempat itu gelap, sunyi, dan hanya terdengar dengung mesin panggung dari kejauhan. Mereka sudah ada disana jauh sebelum ballroom dibuka.
Amberlyn memegang tali pengaman utama chandelier terbesar ballroom itu. Chandelier itu bukan chandelier biasa; itu adalah struktur kristal custom seberat hampir satu mobil Sport . Jika jatuh, itu bukan kecelakaan biasa, itu pembantaian halus yang elegan dalam murni satu detik.
Alexandra di sampingnya, satu tangan memegang cutter industri kecil, tajam, benar-benar senyap.
“Kau selalu merasa dirimu kebal, kak". bisik Alexandra dengan senyum miring.“Ini… akan jadi koreksi kecil untuk kesombongan itu.”
Amberlyn tidak menanggapi. Matanya tajam mengunci ke arah pergerakan Apollo di bawah. Dia mengukur setiap jarak, setiap garis, setiap detik yang lewat. Hitungan rencana itu bukan asal , itu perhitungan matang dari seseorang yang sudah mempelajari pola langkah Apollo bertahun-tahun.
Ketika Apollo mulai bergerak tepat mendekati zona jatuhan, Alexandra mengangkat cutter.
Dan…Apollo berhenti sejenak untuk menyesuaikan manset jasnya. Tepat di luar garis jatuh.
Alexandra mengerutkan alis. Amberlyn mengangkat tangannya. tahan dulu.
Mereka menunggu lagi. Apollo kembali melangkah ke tengah, namun wartawan memanggil namanya.dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk menjawab satu pertanyaan.
Lagi-lagi, tubuhnya bergerak keluar dari garis jatuh chandelier itu.Seolah bukan kebetulan. Seolah tubuh Apollo bergerak mengikuti irama insting yang hanya ia sendiri yang bisa rasakan bukan manusia normal.
Lima kali kesempatan emas muncul. Lima kali Alexandra siap memotong.Dan lima kali pula Apollo bergerak keluar dari lokasi yang mematikan itu… tanpa ia sadari sama sekali.
Amberlyn akhirnya bersandar sedikit di tiang besi itu Wajahnya menegang pelan… bukan frustasi. Tapi sejenis pengakuan yang menyakitkan: Dragunov ini memang bukan manusia biasa.
“Takdir masih belum memilihnya malam ini,” gumam Amberlyn sangat pelan.
Alexandra mendecih, “Atau… dia cuma punya keberuntungan setan.”Amberlyn menggeleng pelan.Tatapannya kembali tepat ke bawah, ke arah Apollo.
“Tidak,” jawabnya lirih.
“Bukan keberuntungan. Kematian pernah menyentuhnya terlalu dekat dahulu… dan ketika kematian menyentuh seseorang sekali, sejak itu kematian selalu kehilangan timing terbaik untuk menjemput orang itu.”
“Kematian takut pada yang pernah selamat.”
Dan di detik itu, Apollo berdiri tepat di bawah chandelier, namun cuma satu detik karena tiba-tiba ia mengangkat kepala, menatap sisi lain ruangan, berubah arah seakan ada sesuatu memanggilnya dari kejauhan.
Amberlyn menurunkan tangannya. Alexandra mengembalikan cutter.Apollo melangkah pergi, tanpa tahu bahwa ia sedang meninggal kan ruangan dengan garis tipis nasib berjalan tepat di belakang punggungnya.
Alexandra tetap berdiri diam di tempat.Lalu perlahan, ia mengangkat pistol berlapis black nickel dari balik coat dress-nya. Tangan nya stabil. Tenang. Hampir seperti ritual keagamaan pribadi.
Moncong pistol itu mengarah tepat ke punggung kakaknya. Mata Alexandra menyipit. Nafasnya turun perlahan.
“Demi mendapatkan kekuasaan yang seharusnya menjadi bagianku…” bisiknya.
Kalimat itu lebih seperti sumpah darah
bukan ancaman. Jarum detik jam dinding hotel terasa benar-benar berhenti.Namun...
pada detik itu juga, ponsel Apollo berdering.
Nada yang tak penting, tapi nyaris mengganggu. Apollo berhenti setengah langkah. Mengambil ponselnya.
Tanpa pernah menoleh ke belakang , tanpa pernah tahu bahwa hidupnya hampir berakhir dalam satu tarikan pelatuk.
“Eliot?” suara Apollo datar. “Baik… aku turun sekarang.”
Ia memasukkan ponsel ke saku jasnya , lalu keluar dari ruangan begitu saja Sementara Alexandra, menurunkan pistolnya perlahan.
Rahangnya mengeras.Matanya kosong seperti kaca pecah.“Bahkan semesta pun masih melindungimu,” desis Alexandra lirih, penuh kebencian dingin yang mengendap lama.
Ia mengamankan kembali pistolnya ke dalam coat. Amberlyn perlahan mendekat dari sisi kanan, langkahnya begitu sunyi seolah lantai marmer tunduk pada kehadirannya
. Ia menyentuh bahu Alexandra dengan lembut, namun sentuhan itu terasa seperti racun yang dibalut beludru.
“Sabar…” ucapnya pelan , bukan menenangkan, tapi seperti mengarahkan liar yang bisa meledak kapan saja.
Lalu dari dalam lengan coat hitamnya yang elegan, Amberlyn mengeluarkan sebuah flashdisk kecil berlapis obsidian black. Simple. Kecil. Ringan. Namun isinya mampu menggulingkan kerajaan keluarga Dragunov dari fondasi terdalamnya.
“Nilainya lebih dari ratusan miliar dollar…” Amberlyn berbisik, bibirnya terangkat sedikit sinis. “Dan aku berhasil mengambilnya… tepat dari sistem pribadinya.”
Cahaya lampu chandelier me-reflect permukaan flashdisk itu , ironi pahit bahwa benda sekecil itu dapat meruntuhkan dunia yang Apollo bangun bertahun-tahun. Alexandra menatapnya. Mata mereka bertemu.
Di antara dua perempuan itu , tidak ada keraguan dan Tidak ada penyesalan.
Malam itu… persekutuan dua predator perempuan Dragunov telah resmi bergerak dalam senyap. Dan Apollo bahkan tidak menyadari bahwa sesuatu baru saja di curi darinya .
...****************...
Apollo menutup pintu mobil dengan suara dentum halus. Barisan anak buahnya tersebar mengawasi area parkir VIP, namun mata Apollo menatap lurus ke kaca depan, napasnya masih berat sisa insting bertarung dari dalam gedung tadi. duduk di dalam mobilnya. Pintu menutup otomatis. Suara klik keamanan ter-lock, memutus dunia luar.
Nafas Apollo turun naik pelan, seperti ada serpihan amarah yang sengaja ia tahan agar tidak meledak sia-sia.
Ia memalingkan wajah , Lyora ada di samping nya. Ia sudah menyuruhnya menunggu di mobil sejak awal, untuk menjauhkannya dari spotlight konferensi pers. Tapi entah kenapa… kehadiran Lyora justru terasa semakin mengganggu pikirannya sekarang.
Apollo mendengus ringan, menekan kepala kursinya ke belakang.
“Ada apa?.Kenapa memintaku kembali?” suara Apollo berat, bariton itu seperti memotong udara kabin.
Wanita itu duduk dengan elegan, seakan chaos di gedung tadi tidak pernah menyentuh dunia batinnya. Kedua tangannya terlipat di pangkuan, wajahnya tenang… namun mata Lyora menyimpan sesuatu yang tak bisa Apollo baca malam ini.
Lyora tersenyum pelan. Senyum yang lembut , tapi ada bekas dingin samar yang hanya bisa dirasakan oleh seseorang yang selalu hidup di antara bahaya.
“Aku hanya… merasa suasananya salah,” jawab Lyora perlahan. “Aku merasa di dalam tidak aman bagimu.”
Apollo menghela napas kecil. Menghalau sedikit rasa sinis yang tadi ingin keluar. Tatapannya menajam, tapi bukan marah. Lebih seperti seseorang yang sedang menunggu alasan untuk percaya namun sudah terlalu sering dikhianati untuk bisa melakukannya dengan mudah.
“Aku sudah terbiasa mendatangi bahaya dalam hidupku,” sahut Apollo.
Lyora menatapnya. Lembut. Dalam. Namun ada satu detik dimana ekspresi itu berubah nyaris tidak terlihat , seperti ia tahu sesuatu yang Apollo belum tahu.
“Bahaya yang datang dengan bentuk familiar…” Lyora menjawab pelan, “justru itu yang paling mematikan, Apollo.”
Apollo terdiam sejenak,lalu mendengus pelan, senyum miring itu muncul tanpa ia tahan. Senyum yang tidak benar-benar bahagia… tapi seperti seseorang yang sudah terlalu terbiasa menertawakan kematian.
“Dan aku sudah mati berkali-kali,” balas Apollo pelan, tatapannya lurus ke depan. Ia menoleh setengah ke arah Lyora.“Tapi aku menghargai caramu memperingatkanku.”
Satu detik hening, bukan hening damai. Hening yang mengandung pertanyaan: Siapa yang sebenarnya kau lindungi?
dan siapa yang kau takutkan?
Lyora tidak menjawab. Dan mobil mulai melaju menembus dini hari kota Balkan yang mulai diselimuti kabut tipis.
Fade Out.