Wilona Anastasia adalah seorang gadis yang dibesarkan di desa. namun Wilona memiliki otak yang sangat jenius. ia memenangkan beberapa olimpiade dan mendapatkan medali emas sedari SMP. dia berniat untuk menjadi seorang dokter yang sukses agar bisa memberikan pengobatan secara gratis di desa tempat ia tinggal. Lastri adalah orang tua Wilona lebih tepatnya adalah orang tua angkat karena Lastri mengadopsi Wilona setelah Putri satu-satunya meninggal karena sakit. namun suatu hari ada satu keluarga yang mengatakan jika mereka sudah dari kecil kehilangan keponakan mereka, yang mana kakak Wijaya tinggal cukup lama di desa itu hingga meninggal. dan ternyata yang mereka cari adalah Wilona..
Wilona pun dibawa ke kota namun ternyata Wilona hanya dimanfaatkan agar keluarga tersebut dapat menguasai harta peninggalan sang kakek Wilona yang diwariskan hanya kepada Wilona...
mampukah Wilona menemukan kebahagiaan dan mampukah ia mempertahankan kekayaan sang kakek dari keluarga kandungnya sendiri...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Tiga hari berlalu sejak akad nikah yang hangat itu. Tiga hari sejak Wilona resmi menjadi istri Galen meski hanya mereka, Felix, dan beberapa saksi yang tahu. Dunia di luar sana, terutama lingkungan sekolah, tidak tahu apa-apa.
Pagi ini, matahari bersinar lembut di atas halaman sekolah. Siswa-siswi sudah ramai bercanda, dan suasana tampak seperti biasa. Tapi bagi Wilona, pagi ini terasa berbeda. Ini hari pertama ia dan Galen kembali ke sekolah setelah tiga hari izin.
hari ini kalian menggunakan mobil ke sekolah, dan saat Wilona akan turun galon tiba-tiba mencegah tangan istrinya tersebut,
"Mau kemana?."
"Ya masuk lah."
"Morning kiss dulu."
"Apa sih Gal."
Cup
"Lama." ucap gallen yang sudah mengecup bibir Wilona dengan cepat kemudian turun dari mobil sedangkan Wilona hanya mematung terkejut.
"Ayo turun." ucap kalian yang sudah membukakan pintu untuk Wilona.
"A-apa yang kamu lakukan?."
"Morning Kiss sayang." bisik Galen membuat pipi Wilona bersemu merah.
Wilona melangkah perlahan melewati koridor, mengenakan seragam putih abu yang rapi. Rambutnya dikuncir sederhana, dan wajahnya tampak segar meski hatinya sedikit gugup. Di jari manisnya, cincin perak tipis yang kini menjadi simbol janji suci berkilau samar saat terkena cahaya matahari.
Ia tahu, ia harus berhati-hati. Tidak ada yang boleh tahu dulu setidaknya belum saat ini.
“Wilonaaa!” suara ceria memanggil dari arah tangga.
Wilona menoleh dan mendapati dua sahabatnya, Sera dan Nadia, sudah berlari kecil menghampiri dengan wajah penuh penasaran.
“Ya ampun, Wil! Tiga hari nggak masuk, ke mana aja sih?” tanya Sera sambil memeluknya cepat.
“Kita pikir kamu beneran sakit parah, loh! Wali kelas bilang kamu demam tinggi.”
Wilona tersenyum canggung, berusaha terlihat santai. “Hehe… iya, aku sempat demam, Ser. Kayaknya kecapekan aja.”
Nadia menatapnya curiga. “Tapi kok kamu kelihatan makin glowing, sih? Bukannya orang habis sakit biasanya pucat?”
Wilona terkekeh gugup. “Ya kan, tiga hari di rumah cuma tidur sama makan bubur. Badan malah istirahat total.” ucap Wilo beralasan.
Sera ikut tertawa, tapi tawa itu tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap sesuatu di tangan Wilona.
Tatapannya menurun, lalu berhenti di jari manis Wilona yang dihiasi cincin perak sederhana.
“Eeeh… Wil,” ujarnya dengan nada menggoda, “Sejak kapan lo pake cincin? Kok modelnya kayak… cincin nikah?”
Wilona langsung tertegun. Dadanya terasa sesak sepersekian detik. Ia menatap jarinya cincin itu benar-benar mencolok dalam pandangan orang yang peka.
Namun otaknya yang cerdas bekerja cepat. Ia tersenyum kecil, mencoba mengontrol ekspresi.
“Oh ini?” katanya tenang, memutar cincin itu pelan. “Ini cincin peninggalan mama. Aku baru nemuin pas bersih-bersih kamar. Katanya dulu mama dapet ini waktu acara pernikahan beliau sama papa.”
Nadia tampak terharu. “Oh… jadi ini kayak cincin kenangan gitu ya?”
Wilona mengangguk cepat. “Iya. Aku takut hilang, jadi aku pakai aja biar aman. Lagian… kebetulan muat banget di jari aku.”
Sera tersenyum hangat, tampak percaya sepenuhnya. “Ih, so sweet banget sih, Wil. Cincin dari mama gitu, pantas aja kamu nggak lepasin.”
Wilona ikut tersenyum lega. Dalam hatinya ia mengucap syukur alasan spontan itu berhasil menyelamatkannya dari pertanyaan yang bisa berbahaya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ada perasaan aneh. Antara bahagia karena bisa menyimpan rahasia itu dengan baik, dan juga rindu, rindu pada kenyataan bahwa kini, ia adalah istri dari Galen, sosok yang kini duduk di kursi ketua OSIS di lantai dua sekolah itu.
Sementara itu, di ruangan OSIS, suasana sedikit berbeda pagi ini.
Biasanya ruangan itu terasa formal dan tegang, karena aura Galen yang dingin dan berwibawa membuat anggota OSIS segan untuk bercanda terlalu bebas. Tapi hari ini, ada yang lain dari dirinya.
Ketua OSIS yang terkenal pendiam itu duduk di kursinya sambil membuka berkas kegiatan sekolah, namun senyum kecil tak pernah lepas dari wajahnya. Bahkan beberapa kali ia tertangkap sedang menatap kosong ke arah jendela dengan ekspresi yang jarang terlihat, bahagia.
Beberapa anggota OSIS saling berbisik.
“Eh, lo lihat nggak sih? Galen senyum-senyum sendiri.”
“Iya, sumpah gue baru lihat dia kayak gitu!”
“Biasanya aja udah cool banget, sekarang malah kayak lagi jatuh cinta.”
Galen pura-pura tidak mendengar, tapi pipinya sedikit memanas. Ia tahu senyum itu sulit disembunyikan. Dalam hatinya, wajah Wilona terus berputar terutama momen ketika ia mengucap “aku terima nikahnya…" Yang dia ucapkan tiga hari yang lalu di depan penghulu Dan Morning Kiss hari ini.
Tangan kirinya terangkat untuk menutup berkas, tapi pandangannya sempat tertuju pada cincin perak di jarinya. Cincin yang sama dengan milik Wilona. Ia tersenyum samar.
Namun tawa kecil di dalam ruangan mendadak mereda saat Tania masuk tanpa mengetuk pintu. Gadis itu berdiri tegak dengan seragam rapi, menatap Galen dari ujung ruangan.
Tatapannya langsung tertuju ke cincin di tangan Galen. Wajahnya seketika berubah, ada keterkejutan, disusul oleh sesuatu yang lain. Amarah dan Kecurigaan.
Tania berjalan mendekat dengan langkah cepat. “Itu cincin apa, Ka Galen?Rasanya kakak gak pernah pakai cincin?,” suaranya terdengar tajam.
Galen yang awalnya santai hanya menoleh singkat. “Bukan urusan lo!.”
“Aku tahu itu bukan cincin biasa,” Tania menahan napasnya, “tapi kenapa kelihatannya kayak cincin pasangan? Jangan bilang… kakak dan Wilona...”
Suara Tania terhenti sejenak, tapi matanya tajam menatap Galen. “Kalian… sudah menikah?”
Ruangan langsung hening. Semua anggota OSIS menatap mereka berdua dengan wajah kaget, saling berbisik pelan tapi tak berani menyela.
Galen mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya dingin tapi berbeda dari biasanya. Kali ini, dingin itu menyimpan ketegasan.
Dia menatap Tania lurus-lurus. “Itu bukan urusan lo.”
Tania terpaku, seolah tak percaya dengan jawaban itu. “Kak Galen, aku cuma tanya karena...”
“Karena kamu kepo,” potong Galen datar. Ia berdiri, menutup map di mejanya, lalu menatap seluruh anggota OSIS. “Rapat ditunda. Gue ada urusan.”
Dan tanpa menunggu reaksi siapapun, Galen melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Tania yang berdiri terpaku dengan wajah memerah karena marah dan malu.
Di koridor, langkah Galen tenang. Beberapa siswa menoleh saat ia lewat sebagian karena kagum, sebagian karena aura dingin yang kembali menyelimutinya. Tapi di balik wajah datarnya, hatinya hangat.
Dari kejauhan, ia melihat Wilona sedang berjalan bersama Sera dan Nadia menuju kelas. Cincin di jari gadis itu berkilau samar saat terkena sinar matahari dari jendela.
Tanpa sadar, senyum kecil terukir lagi di bibirnya.
Mereka bertemu pandang sesaat.
Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat jantung Wilona berdegup lebih cepat.
Ia buru-buru menunduk, takut tatapan mereka terlalu lama diperhatikan orang. Tapi Galen hanya tersenyum tipis, seolah berkata lewat mata.
"Istri Gue."
Wilona menunduk lebih dalam, menggenggam erat tali tasnya. Pipinya hangat. Dalam hati ia berbisik, "Gini ya rasanya punya suami. Mana ganteng banget lagi."
Dan di antara hiruk-pikuk sekolah, dua insan itu menjalani hari mereka seperti siswa biasa padahal di balik seragam putih abu, mereka menyimpan rahasia besar yang hanya mereka berdua dan langit yang tahu.
Cincin di jari manis mereka menjadi saksi bahwa di balik senyum tenang dan tatapan datar, ada cinta yang terikat oleh janji suci.