Padmini, mahasiswi kedokteran – dipaksa menikah oleh sang Bibi, di hadapan raga tak bernyawa kedua orang tuanya, dengan dalih amanah terakhir sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Banyak kejanggalan yang hinggap dihati Padmini, tapi demi menghargai orang tuanya, ia setuju menikah dengan pria berprofesi sebagai Mantri di puskesmas. Dia pun terpaksa melepaskan cintanya pergi begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Benarkah orang tua Padmini memberikan amanah demikian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05 : Kutukan Maut Padmini
Rinda menyambar kain dalam genggaman Sumi, merentangkan seraya meneliti. “Benar, ini milik kang Adi. Aku sendiri yang memberi tanda inisial huruf awal nama, agar tak tertukar dengan punya suamiku.”
“Celana dalam ini pun miliknya. Aku juga yang menyulam benang timbul agar dapat membedakan kepunyaannya Ayah, bang Juned, serta kang Adi.” Diremasnya kain tadi. Kembali dirinya berkata lantang! “Aku berani bersumpah! Pernah melihat mereka berciuman bibir di selep padi!”
Padmini tertawa sumbang sarat kesakitan dan rasa benci mendalam.
Belum cukup sampai di sana, seseorang ikut unjuk gigi – meremukkan hati dan menggerus tanpa sisa rasa percaya Padmini.
“Asal kalian tahu!” Sundari berdiri di samping Bambang, berjarak.
“Pria ini adalah kekasihku. Kami berencana menikah awal tahun depan. Namun demi amanah terakhir Paman dan Bibi, kami mengalah mengubur impian membina rumah tangga. Lantas, apa yang didapat oleh bang Bambang? Belum genap satu hari satu malam, harga dirinya diinjak-injak. Martabat keluarganya direndahkan, padahal dia sudi berkorban. Aku tak ikhlas!” pekiknya dengan linangan air mata.
Faktanya, Sundari dan Bambang adalah pasangan suami istri lewat pernikahan siri penuh intrik.
Pak ustadz beserta istrinya merasa sesuatu mengerikan akan terjadi. Kumpulan massa kembali mulai menggila.
“Minggir pak Ustadz! Bu Halimah! Biarkan kami yang menghukum mereka!” teriak salah satu warga.
“Tolong gunakan logika kalian!” Pak ustadz Daud merentangkan kedua tangannya.
Bu Halimah cepat-cepat mendekati Padmini, merangkul erat.
“Wahai sahabat dan saudaraku! Tolong dengarkan manusia tak berilmu ini! Kalian boleh tak percaya, mengatai diriku pembual, tapi demi Tuhan aku tak berbohong!” Wandi menangkupkan kedua tangannya. Wajahnya tersorot lampu obor, netranya membias nyala api.
“Tentu dalam hati kalian bertanya-tanya bukan? Mengapa pak Ustadz dan istrinya begitu keukeuh membela pasangan yang jelas-jelas kedapatan berduaan dalam keadaan berbusana tidak sopan. Sebenarnya, mereka ini telah lama bekerja sama dengan mendiang pak Ipul – apabila nanti Rahardi menjadi menantu juragan Pandu, maka akan kecipratan rezeki besar.” Ekspresi pamannya Padmini sangat meyakinkan.
“Ternyata, ini alasan dibalik kalimat membawa nama Tuhan. Agama kau jadikan temeng demi mengeruk keuntungan pribadi. Dasar Jahanam!” Juned menyiramkan bensin di hati massa yang tengah membara.
“Usir mereka! Arak lagi pasangan mesum itu!” lengkingan itu disambut teriakan setuju.
“Bu, tolong lepaskan saya!” Padmini berusaha melepaskan tangan bu Halimah. “Cukup sampai disini saja kalian membelaku, jangan sampai jadi korban amukan massa. Keluarlah dari kampung ini! Suatu saat nanti, balasan setimpal menimpa mereka!”
“Pak ustadz, pergilah! Bawa istrimu! Terima kasih atas kemurahan hati kalian!” Rahardi mengusir pembelanya. Percuma saja mereka mengungkapkan fakta, kalau rencana busuk ini sudah dirancang sedemikian rupa agar berjalan sempurna.
Lengan bu Halimah ditarik, sampai pelukannya terlepas dari Padmini. Wanita berumur 40 tahun itu tersungkur kala didorong kuat.
Pak ustadz dipukul beberapa kali pada bagian dada, baru kemudian ditinggalkan.
Padmini dan juga Rahardi, kembali diarak sampai ke tanah lapang.
.
.
Kayu telah disusun melingkar, mengepung pasangan yang dituduh telah berbuat zina.
Tak ada teriakan, penyanggahan, maupun pekikan mencoba menarik simpati.
Sang gadis menatap setiap wajah yang meneriaki, lalu memandang lama pada manusia yang dia anggap saudara, sahabat. Kemudian bibir terlukanya menyeringai sinis.
Rahardi melakukan pengorbanan bertaruh nyawa. Kedua tangannya memegang lembut bahu tertutup kain selendang putih yang telah berubah warna bercampur tanah. Air matanya menetes manakala melihat luka gores di pipi, sudut bibir kekasih hatinya. Keringat, darah, dan debu menjadi satu.
“Ami, dengarkan Kakang! Begitu nanti Akang memberi aba-aba, tolong kau lari secepat yang dirimu bisa. Selamatkan dirimu! Berjanjilah untuk bertahan hidup bagaimanapun caranya! Menurut ya, Sayang?” bujuknya. Air matanya mulai tumpah.
Padmini menggeleng. “Lebih baik aku ikut mati, kalau tak bisa selamat bersama!”
Rambut panjang kusut, menggumpal itu ia elus sayang. “Engkau pernah berjanji akan menuruti kata-kata calon suamimu ini, ‘kan? Kakang mohon, jangan sia-siakan kesempatan yang ada.”
Suara isaknya lolos. Dia kembali meraung bukan lagi dikarenakan ditikam para manusia licik, jahat. Namun permintaan pria yang ia kasihi. Padmini menepis tangan Rahardi, ia melesak maju sampai berdiri di dekat tumpukan kayu setinggi perutnya.
Jari telunjuknya ia acungkan tepat menunjuk bulan purnama. Sorot matanya penuh dendam, suaranya sarat amarah membara.
“AKU BERSUMPAH! Menuntut balas kalian! Kampung Hulu ini akan menjadi wilayah mati layaknya kuburan kala langit mulai menggelap! Hidup penduduknya jauh dari kata tenang! Teror terus menghantui! Setiap orang yang menjadi dalang, kupastikan MATI!!” Bagi siapa saja yang cuma ikut-ikutan, tunggulah hari pembalasan itu tiba!”
Hembusan angin lembut menerpa, menegakkan bulu kuduk, hawa hangat seketika turun drastis. Dingin menusuk tulang – Bulan purnama bersinar lebih terang seakan menerima sumpah kutukan Padmini.
Minyak tanah disiram pada lingkaran kayu, sampai menciprat ke tubuh Padmini dan Rahardi.
Pemuda yang menyiram bahan bakar menyingkir, berdiri sedikit jauh dari tumpukan kayu.
Jari jempol kaki Rahardi menarik sebatang kayu lumayan besar, saat seseorang membawa obor hendak menyalakan api, tiba-tiba tumpukan rapi itu berhamburan.
“Lari Padmi! Lari Sayang!!” Rahardi berteriak. Kayu sudah dalam genggaman, dan obor pun dapat dia rebut.
Bugh!
Pria yang menghidupkan api terlambat melarikan diri. Tubuhnya yang tertimpa kayu, disulut oleh Rahardi.
Akhh!
Nyala api merambat, Padmini berhasil merobohkan tumpukan sebelum terbakar. Kain jarik nya disingkap sampai batas paha agar memudahkannya berlari.
“TANGKAP PADMINI!!” Juned berteriak.
Para pemuda dan bapak-bapak berlari ke arah Padmini.
Namun Rahardi menghadang dengan sebuah obor dan kayu terbakar dalam genggaman. “Berani kalian maju, maka bersiaplah terbakar seperti dia!”
Para pemuda pun melihat teman mereka yang sedang berguling-guling di rerumputan.
Kali ini pria menyimpan seribu dendam itu benar-benar waspada, bertahan paling tidak sampai Padmini telah jauh dari jangkauan.
Ia menerjang belasan orang yang melesak maju hendak membekuk nya.
Satu, dua, tiga orang tersulut api. Namun nyali lainnya tak surut, semakin gila ingin melukai Rahardi.
Desingan suara anak panah terlepas dari busurnya terdengar memecah malam, menancap di betis pria yang semampunya melawan. Bambang lah pelakunya.
Juned melempar tali tambang, begitu hinggap di bahu abang iparnya, langsung saja sosok lain menangkap.
Rahardi diperlakukan seperti seekor Lembu mau disembelih.
Bugh!
Dia ambruk, leher terjerat tali. Tubuhnya ditarik oleh dua orang. ‘Siapapun yang bisa menyelamatkan kekasihku, aku bersumpah akan mengabdi kepadamu – baik dalam keadaan hidup maupun mati!’
“Lempar dia ke tumpukan api yang masih menyala itu!”
Jeritan kencang itu menyentak hati Padmini, dia menoleh ke belakang. Meremat dadanya yang terasa teramat sakit, melihat dari kejauhan pria sangat disayanginya tengah disiksa. “Kang Adi!”
Namun, Padmini memegang janjinya. Harus selamat dari kematian tidak adil ini agar dapat membalas dendam.
Sinar rembulan menjadi penerang langkah kaki gadis cantik dijuluki kembang desa. Deru napas Padmini memecah keheningan malam masuk waktu dini hari. Ujung selendangnya menari-nari mengiringi perjalanan memacu adrenalin itu.
Setiap langkah yang menginjak ranting, rumput tajam, bagaikan berjalan diatas semak berduri.
Setibanya di perbatasan kampung, ia pikir dirinya sudah aman, ternyata ….
“Wah, wah … benar kata si Bambang. Malam ini kita dapat mangsa empuk, mana cantik sekali lagi. Ayo sikat!”
.
.
Bersambung.
Bab ini di jamain readersmu mules semua ,mata berkaca kaca, gigi kering kebanyakan ngakak...
wes angel ....angel tenan nebak jalan pikiran thor Cublik ..
henhao ....joss gandos tenan.