Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Malam mulai merayap, membungkus rumah dengan nuansa tenang yang di selingi suara detak jam. Deva, dengan langkah ringan, turun dari kamar menuju ruang makan, sebab perutnya sudah keroncongan sejak tadi.
Namun, saat ia baru saja melangkah memasuki ruang makan, suara tegas ayahnya menginterupsi suasana malam yang damai.
"Deva! mulai sekarang, kamu di larang makan di sini, makanlah di dapur!" seru Dion, nada suaranya penuh peringatan.
Ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpuasan, seolah ruang makan adalah tempat terlarang untuk putrinya malam ini.
Deva, yang di kenal dengan sifatnya yang keras kepala, hanya melirik sejenak. Dengan semangat membara, ia bergerak cepat menuju meja, meraih sepiring lobster yang menggiurkan dan satu piring ayam goreng yang masih mengepul.
Dalam pikirannya, rasa lapar lebih penting dari pada mengikuti perintah ayahnya.
"Deva! Berhenti!" teriak Dion, suaranya menggema di sudut ruangan.
Kemarahan mulai terlihat di wajahnya, dan Deva merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, ketidak patuhannya membuatnya semakin berani.
"Kenapa sih, Dad? aku cuma mau makan!" jawab Deva dengan nada menantang, sambil mengangkat piring yang telah ia ambil.
Dion mendekat, wajahnya berkerut menahan emosi. "Kamu tidak mendengarkan! ini bukan tentang makanan, tapi tentang aturan!" bentaknya lagi, membuat suasana semakin tegang.
"Aturan? sejak kapan ada aturan yang melarang seseorang untuk makan di meja makan?" Deva bertanya dengan nada acuh tak acuh.
"Cukup! jangan membantah lagi, letakan piring itu sekarang, Dev!" perintah Dion, namun Deva tak menggubris.
Merasa ucapannya di abaikan, Dion kembali menyuruhnya. "Deva, letakan atau Daddy pukul!"
Brak!
Deva memukul meja, membuat suara ribut yang memekakan telinga. "Pukul aja kalo berani."
"Kurang ajar!"
Belum sempat Deva menjawab, suara lembut penuh kehangatan terdengar di telinga mereka berdua. Tatapan Deva terkunci pada sosok Sera yang baru saja muncul.
Gadis itu mengenakan piyama berwarna pink, dan pita yang mengikat rambutnya. Jika Deva belum melihat sikap aslinya, pasti ia akan menyanjung gadis itu yang terlihat sangat imut.
"Dev, ada baiknya kamu dengerin perintah Om Dion." Ucap Sera tiba-tiba.
Deva memutar kedua bola matanya malas, "Nggak usah nimbrung deh, lo nggak di ajak!"
Deva mengangkat alisnya, tampak tidak terpengaruh oleh nada kasar gadis itu. "Gue cuma berusaha membantu. Om Dion juga nggak ada maksud buruk sama lo, Dev."
"Gue nggak peduli tuh."
Dion mengalihkan pandangannya ke arah Sera, bersyukur atas kehadirannya yang tiba-tiba. "Terima kasih, Sayang. Memang kamu selalu menjadi anak yang penurut, tidak seperti putriku."
Deva mendengus begitu mendengar ucapan ayahnya, ia merasa sedikit terjepit antara dua orang yang berusaha mengatur hidupnya.
Ia mengamati Sera, kecurigaan mulai singgah di benak Deva. Setiap ia berdebat, entah mengapa sosok Sera selalu muncul meski terkadang ia hanya menjadi penonton.
Deva masih menatap tajam ke arah Sera, ketika tiba-tiba Dion melangkah mendekat. Dengan gerakan cepat, ia merebut piring yang di pegang Deva dan menaruhnya dengan tegas di atas meja makan.
Suara piring yang berbenturan dengan permukaan meja menambah ketegangan di antara mereka bertiga.
"Deva, kamu harus belajar sopan santun dari Sera," Dion berkata dengan nada tegas, berusaha meredakan suasana yang semakin panas. "Kamu perlu menahan ego dan berusaha lebih baik, jangan malah semakin membangkang."
Deva melawan pandangan ayahnya, rasa frustrasinya semakin membara. Setiap gerakan yang Deva buat, selalu terlihat salah di mata keluarganya. Entah bagaimana penulis bisa memberikan peran padanya dengan begitu menjengkelkan, hingga rasanya Deva ingin memukul kepala penulis itu.
"Sopan santun? jadi Daddy mau bilang semua ini salah aku? seharusnya Daddy tahu, sopan santun itu datang dari hati, bukan cuma dari pelajaran." Sahut Deva tenang.
Dion menggeleng, merasa putus asa. "Tidak bisa gitu, Dev. Kamu harus berusaha untuk memahami orang lain. Sera selalu bersikap baik, kenapa kamu tidak bisa menirunya?"
"Terus, siapa yang bakal memahami perasaanku aku, Dad? Daddy hanya menyuruh ku untuk mengerti, tapi Daddy nggak pernah mencoba melihat dari sudut pandang ku!"
"Deva! jangan kurang ajar!" bentak Dion, urat di keningnya nampak menonjol, menandakan bahwa ia benar-benar marah.
Namun, Deva tak perduli. Kini kemarahan Dion sudah menjadi makanan sehari-hari baginya, tidak hanya kedua kakaknya tapi di dalam rumah besar itu semua orang selalu menyudutkan dan melempar kesalahan padanya.
Deva mengangkat bahu, mengabaikan ucapan daddynya. "Daddy tahu, belajar sopan santun dari orang yang nggak bisa menghargai perasaan ku, itu percuma! sopan santun akan muncul tanpa perlu belajar jika lawannya juga memiliki kesopanan. Aku hanya akan mengikuti perilaku yang kalian berikan padaku!"
Sera yang mendengar pernyataan Deva hanya bisa terdiam, hatinya terasa gundah. Sikap Deva sangat bar-bar, sesuai ucapannya ia akan terus melawan jika lawan bicaranya terus menyudutkan dirinya.
'Sial, bagaimana dia bisa berubah sejauh ini?' batin Sera merasa khawatir.
Deva merasa perdebatan mereka tidak akan berakhir dengan mudah jika ia terus ada di sana, akhirnya Deva memilih pergi kembali ke dalam kamarnya tanpa menyentuh makanan yang ada di meja.
***
Setibanya di kamar, Deva langsung mengunci pintu. Ia berlari menuju meja belajarnya dan membuka laptop, lalu ia memasukan kode-kode rumit yang hanya di ketahui olehnya.
Ia sedang mencari tahu latar belakang Sera, seingatnya Sera berasal dari keluarga menengah. Ia tidak kaya, tapi juga tidak miskin.
"Gue harus cari tahu tentang rekaman itu, gue nggak mau nama gue makin buruk." Gumamnya.
Rekaman yang ia maksud, adalah rekaman yang di miliki Dion. Ia ingin membuktikan sendiri bahwa itu bukan dirinya, dan ia yakin bahwa bukan hanya Sera yang perlu ia waspadai.
Deva menatap layar laptopnya dengan penuh konsentrasi. Jari-jarinya menari di atas keyboard, memasukkan serangkaian kata kunci yang telah ia persiapkan.
Ia mulai mencari informasi mengenai Sera, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya memahami siapa sebenarnya gadis itu.
Setelah beberapa menit, hasil pencarian mulai muncul. Deva mengklik beberapa tautan, membaca berita dan artikel tentang Sera.
Ia menemukan profil media sosial yang cukup aktif, menampilkan foto-foto kebersamaan dengan teman-teman dan keluarganya dulu.
Namun, yang menarik perhatian Deva adalah satu artikel yang mengungkapkan bahwa Sera pernah terlibat dalam beberapa kontroversi di sekolah.
"Hmm, ini bisa jadi petunjuk," pikir Deva. Ia mencatat beberapa informasi penting dan melanjutkan pencariannya.
Namun, pikirannya tak bisa lepas dari rekaman yang di miliki Dion. Rekaman itu sudah menghancurkan reputasinya, dan ia sadar betul bahwa banyak yanga ingin memanfaatkannya dalam situasi yang bisa menguntungkan mereka.
Dalam benaknya, muncul gambaran Gallen dan Gio yang tersenyum sinis, seolah-olah menantikan saatnya untuk menjatuhkannya.
"Apa mungkin mereka terlibat dengan rekaman itu?" gumam Deva, mengerutkan kening.
Tak puas dengan informasi yang ia dapatkan, Deva memutuskan untuk mendalami lebih jauh tentang hubungan Sera dan kedua kakaknya. Ia mencari tahu apakah mereka memiliki koneksi yang lebih dekat.
Dalam pencariannya, ia menemukan beberapa foto yang menunjukkan mereka berdua berinteraksi di acara sekolah. Ada senyuman, tawa, dan kedekatan yang membuat Deva merasa was-was.
"Kalau begini, bisa jadi salah satu dari mereka bertiga ada orang yang berasal dari dunia gue?" pikirnya. Ia merasa perlu bertindak lebih cepat.
Deva mengambil napas dalam-dalam dan mulai menyusun rencana. Ia tak ingin siapa pun meraih kemenangan, di atas penderitaannya saat ini.
"Kalau baik nggak berguna, maka gue bakal menjadi jahat haha." Ujarnya tertawa riang.
Deva melihat kertas pemberian dokter, ia meraih kertas itu dan membukanya kembali. Di sana tertulis jelas bahwa waktu hidupnya tak lama lagi, ia menderita penyakit yang semakin parah, dan tidak ada harapan untuk kesembuhannya.
Namun, alih-alih merasa putus asa, Deva justru merasa marah. Marah pada dunia yang seakan tak adil, marah pada dirinya sendiri yang telah terlalu lama berusaha menjadi baik dan mengikuti semua aturan yang ada.
"Kalau semua orang hanya peduli pada diri mereka sendiri, kenapa gue harus berbeda?" gumamnya, menatap kosong ke arah jendela.
Di luar, langit mendung seolah mencerminkan suasana hatinya. Ia mengingat semua orang yang pernah menyakiti atau mengabaikannya, dan rasa sakit itu menguatkan tekadnya untuk memberi mereka semua balasan atas perbuatan mereka padanya.
Deva meraih pena dan mulai menulis. Setiap kata yang ia tulis adalah ungkapan dari semua kemarahan dan kekecewaan yang terpendam.
Ia merencanakan langkah-langkahnya, bagaimana ia akan mengubah pandangan orang-orang tentang dirinya. Jika mereka ingin melihat sisi jahatnya, maka ia akan menunjukkan pada mereka dengan mata terbuka.
"Pertama, gue akan membalas dendam pada mereka yang telah menyakiti gue dan Claudia," tulisnya.
"Kedua, gue akan membuat mereka merasakan apa yang gue rasakan, dan menemukan orang yang menjadi kunci utama tragedi dalam hidup gue. Dan terakhir, gue akan meninggalkan dunia ini dengan cara yang takkan pernah mereka lupakan."
Dalam setiap goresan pena, ia merasa lega mengalir dalam dirinya. Ia merasa seolah beban yang selama ini mengikatnya perlahan-lahan terangkat.
Ia tersenyum getir ketika teringat dengan posisinya yang masuk ke dalam novel. "Bahkan penulis sangat benci sama gue, sampai umur gue di pendekkin begini."
jadi agak aneh crita nya
dan juga Daddy nya itu bukan nya sayang sama dia?
kalo memang si deva ini di fitnah dan dihina sedemikian rupa kenapa masih tetap berharap dan bertingkah sama keluarga nya?
katanya dia punya perasaan dan dia juga manusia tapi sikapnya ga sesuai sama apa yang di cerita kan
kesel banget
jdi kesannya kayak si Deva ini lebih menye menye dan agak lain yang didalam tanda kutip karakternya"kelihatan tidak sesuai sama penggambaran karakter awalnya" seolah olah di awal hanya sebatas penggambaran di awal saja
tapi tetap semangat ya authori💪