Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Izinkan Si Mbok Mejaga Kalian
Melati yang sedang menuang air panas ke termos itu menoleh saat si mbok memanggilnya. "Ada apa, mbok?" tanyanya.
"Ini, Non. Si mbok menemukan buku ini, mbok curiga kalau sosok yang mengikuti Non Muning masih ada, kita harus bagaimana, Non?" tanya si mbok, resah.
"Kalau begitu, si mbok pergi ke mbah Prapto lagi aja, Mbok. Minta tolong biar sosok itu nggak gangguin Muning lagi," kata Melati seraya menutup termosnya, lalu menatap si mbok, Melati memberikan cincinnya pada si mbok.
"Mbok, ini cincin peninggalan ibu, dijual saja, buat berobat Muning," ucapnya dan si mbok pun menggenggam cincin itu, dia sedih karena satu persatu peninggalan Karsih mulai habis terjual.
Lalu, si mbok memberikan buku itu pada Melati.
Singkat cerita, si mbok pun pergi ke pasar, dia menjual cincin emas itu, setelahnya langsung ke rumah dukun sakti tersebut. Namun, di perjalanan menuju ke rumah mbah Prapto, motor tukang ojek itu tiba-tiba berhenti, si mbok pun turun dari motor.
"Ada apa, Kang?" tanya si mbok.
"Nggak tau ini, tiba-tiba aja mogok," jawab bapak ojek seraya turun dari motor, memeriksa apa yang terjadi pada motornya.
Bensin masih, kondisi kendaraan masih bagus, tapi kenapa tiba-tiba mesin mati? Sementara itu hari mulai gelap, padahal masih sore sekitar jam setengah empat.
"Kayanya mau hujan deras, saya mau nyari bengkel dulu, Mbok. Ngga usah bayar nggak apa-apa," tutur bapak ojek.
Si mbok mengangguk, matanya masih memperhatikan si bapak ojek yang mulai mendorong sepeda motornya.
"Ya, Allah. Kenapa, ya? Setiap mau ada perlu buat ngurusin keluarga Bu Karsih ada-ada aja ujiannya," batin Si mbok.
Perlahan, rintik hujan mulai turun, si mbok pun mempercepat langkahnya, saat itu tiba-tiba saja ada anak kecil yang berlari di depannya, hampir saja si mbok menabrak anak kecil itu.
"Koe anake sopo? Udan-udan kok nggak pakai baju?!" celetuk si mbok yang berusaha menghindari bocah itu, bocah yang lari-lari di depannya, seolah sedang menghalangi langkah si mbok.
Mendengar dirinya dibicarakan seperti itu membuat anak kecil itu menghentikan langkah, dia menoleh dan bwaaaaaahh!
Si mbok terkejut sampai terjatuh saat melihat wajah itu yang pucat, lingkar matanya menghitam, bukan hanya mata, tapi juga bibir anak kecil itu menghitam, gigi-giginya runcing tak tersusun rapih.
Anak kecil itu tak menjawab, hanya mendesis menunjukkan giginya yang berantakan. Anak kecil itu pun berusaha menaiki si mbok yang masih belum bangkit dari jatuhnya.
"Heh! Opo koe? Mau apa, nggak sopan, koe!" teriak si mbok berusaha menyingkirkan anak kecil itu, saat tangannya menyentuh lengan anak itu, lengannya teras amat dingin, lebih dingin dari es.
Saat si mbok memperhatikan tangannya yang baru saja menyentuh lengan anak itu, ternyata dia sudah hilang dari pandangan.
"Astaghfirullah, mahluk opo kae?" teriak si mbok yang berusaha merangkak, ingin berteriak tapi sadar kalau dirinya berada di tepi jalan yang sepi.
Kanan dan kirinya hanya ada kebun yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi.
Si mbok yang merangkak itu menangis, saking terkejutnya dan wajah sosok itu masih terlintas jelas di mata si mbok. Mbok Sum yang berusaha bangun itu seketika terdiam, ternyata sosok itu belum pergi karena ternyata dia mengikuti si mbok dari belakang.
Ya, si mbok merasa ada yang mengikutinya, dia pun menoleh dan benar saja, sosok kecil tanpa baju itu mengikuti mbok Sum yang sedang merangkak.
"Aaaaaaaaa!" teriak mbok yang kemudian berbalik badan dan sosok itu semakin mendekat, sekarang melompat, tubuhnya yang kerdil itu menempel ke wajah si mbok.
"Tolong! Tolong!" teriak si mbok yang berusaha melepaskan diri, tapi sosok kecil itu menempel dengan sangat kuat sampai membuat wanita tua itu kesulitan bernafas.
Sosok itu kembali mendesis, terlihat sangat marah pada si mbok. "Jangan ganggu hubunganku sama Muning!" ucapnya dengan suara yang menggema.
"Kamu jahat, jangan ganggu Non Muning!" jawab si mbok yang kemudian berhasil melempar sosok itu, tapi tak sampai di situ, dibawah rintik hujan dan kabut, dia tak menyerah.
Sebentar hilang sebentar datang, sekarang hilang lagi dan si mbok menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri, tapi ternyata dia sudah ada di depannya si mbok ketika wanita tua itu berbalik badan.
Sosok itu melompat, menempel pada tubuh kurus si mbok membuat wanita itu kehilangan keseimbangan, lalu jatuh berguling-guling ke tepi jalan yang cukup curam.
Sosok itu hanya memperhatikan si mbok dari atas, suara teriakan si mbok yang meminta tolong bagaikan nyanyian merdu yang amat dia sukai.
Seketika hening, suara itu menghilang bersamaan hilangnya si mbok di bawah sana.
Satu jam, dua jam, tiga jam, si mbok masih belum kembali, Melati menunggu dengan resah di temani oleh Seno, mereka menunggu dengan sesekali berdiri di teras.
"Memangnya kemana si mbok?" tanya Seno yang ikut berdiri, dia mendekat ke arah istrinya berdiri dengan risau.
"Dia pergi ke rumah Mbah Prapto, buat ngobatin Kemuning, biar nggak diganggu sama sosok si mas itu lagi," jawab Melati.
Dan ternyata di belakang sana ada Kemuning.
"Memangnya, aku kenapa, Mbak?"
Mendengar suara itu semua orang pun menoleh, seketika Melati tergagap, tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Jawab, Mbak!" kata Kemuning, dia sangat takut kalau sosok si mas itu marah lalu mencelakai semua orang.
"Maksud mbak, siapa tau setelah berobat ke Mbah Prapto keadaan kita akan membaik, itu saja," jawab Melati.
"Mbak sama Mbok masih cari cara buat lepas dari kutukan itu," sambung Melati dan Kemuning pun mengangguk.
Karena hari sudah larut, sekarang mereka masuk ke rumah, tapi perasaan Melati masih belum tenang karena si mbok belum kembali.
****
Di kamar Kemuning, dia sedang berbicara dengan si mas yang tak berhenti membujuknya untuk ikut pergi.
"Aku nggak mau pergi, aku nggak bisa tinggalin Mbak Melati," jawabnya, lalu Kemuning merubah posisinya jadi duduk, dia menatap ranjang kosong bekas Melati.
"Kalau begitu, kenapa nggak kamu saja yang cari ibu, aku mau sama Mbak aja di sini," sambungnya.
Lalu, pintu terdorong dari luar, si mbok yang masuk, wajahnya datar, bibirnya terlihat membiru, dia menghampiri Kemuning. "Non, sudah malam, sebaiknya tidur dan Non Muning harus ingat kalau Non nggak boleh pergi tinggalkan Mbak, kalian harus tetap bersama-sama!" tuturnya.
"Mbok, mbok habis nguping, ya?" tanya Kemuning dan si mbok menjawab dengan menggeleng pelan, tersenyum tipis namun penuh kehangatan.
"Boleh mbok meluk Non Muning?" pintanya.
"Jangan, Mbok. Nanti badan Muning pada sakit," jawab Kemuning disertai gelengan kecil.
Si mbok menangis. "Mbok sangat merindukan kalian, mbok takut nggak bisa balik lagi ke sini, Mbok kepikiran kalian," ucapnya dengan suara bergetar.
Kemuning hanya memperhatikan, tapi dia tau kalau perempuan yang ada di depannya itu bukanlah lagi si mbok yang dulu.
"Mbok," panggil Kemuning dan yang dipanggil itu menoleh.
"Mbok, terima kasih banyak atas semua kasih sayang yang mbok berikan pada kami, sedangkan kami tau kalau selama mbok di sini, mbok nggak pernah lepas dari kesulitan," ucapnya dan si mbok yang menghapus air matanya itu mengangguk.
"Mbok bahagia bersama kalian, bisa mengurus anak-anak hebat seperti kalian," jawab si mbok.
Akhirnya, Kemuning membuka tangannya, dia mengizinkan wanita tua itu memeluknya.
"Si mbok belum bisa pergi, izinkan mbok menjaga kalian dia sini," pintanya dalam hati.
Esok paginya, seolah hari seperti biasa, ada si mbok yang berada di dapur, menemani Melati yang sedang menyiapkan sarapan, entah kenapa hari ini si mbok tidak mau memasak, dia hanya mengajari caranya memasak pada Melati.
Dan di belakang sana ada Seno yang keheranan, dia melihat Melati yang seolah sedang bicara dengan seseorang, padahal di dapur hanya ada dia sendiri. Seno menghampiri Melati. "Mel, kamu ngobrol sama siapa?"
Melati yang sedang menumis bumbu itu menoleh. "Sama si mbok, siapa lagi," jawabnya seraya tersenyum, hatinya lega setelah melihat wanita tua itu.
"Si mbok?" tanya Seno seraya mengernyitkan kening dan bersambung dulu, ya.