Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu
“Aku setuju dengan mama, jika kamu ingin memulai, kamu bisa mulai dengan milik keluarga. Kamu bisa menilai bagaimana dunia bekerja.” Khansa menatap Zidan, ia kira Zidan akan melarangnya. Karena itu Khansa memutuskan untuk memberitahu Aish secara langsung.
“Bagaimana sayang? Kamu mau? Zidan juga sudah menyetujuinya, kamu bisa mempertimbangkan lebih dahulu. Mama tidak ada maksud lain untuk hal ini.” Aish mengusap kepala Khansa dengan lembut.
“Jika kamu nanti sudah aktif kuliah, dan dapat tekanan dari bos kamu. Itu sangat berat sayang, jika kamu di butik, Zidan bisa membantumu. Atau mungkin kalian bisa mengelolanya berdua, Zidan bisa mengajarimu nantinya,” lanjutnya.
“Khansa butuh waktu untuk mempertimbangkannya. Terima kasih mama udah ngasih izin, bahkan memikirkan Khansa.”
“Tentu saja, kamu bukan hanya menantu mama. Tapi kamu sudah menjadi anak mama. Karena kamu, akhirnya mama mempunyai anak perempuan. Apa kamu tidak ingat? Waktu kecil kamu selalu berlari ke arah mama. Berebut dengan Zidan untuk duduk di pangkuan mama.”
“Eh?” Khansa merasa malu jika mengingat masa kecilnya. Zidan yang mendengar itu, mencoba mengingat kembali masa-masa kecilnya bersama dengan Khansa.
“Sudah, kita bisa bahas nanti kalau ada waktu santai. Kita sarapan? Mama sengaja duduk disini untuk menunggu kalian untuk sarapan bersama. Selama kamu disini, mama terlalu sibuk bekerja, sampai-sampai mama jarang makan bersama kalian.”
“Tidak apa-apa. Mama sibuk karena memang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Aish tersenyum, sepertinya ia tidak salah memilih menantunya sendiri. Khansa bisa mengerti situasi yang terjadi.
“baiklah, kita bisa pergi sarapan?” Zidan menghampiri Khansa dan juga mamanya.
“Tentu!” Aish menarik tangan Khansa menuju ke meja makan.
Zidan hanya menatap tangannya yang hanya menggantung karena ingin menggandengan tangan Khansa. Namun, mamanya sudah lebih dahulu menarik Khansa pergi.
Hanya sebuah helaan nafas, agar tidak emosi karena mamanya sudah memancingnya, meski tidak sengaja.
* * *
Setelah sarapan, Khansa langsung pamit ke kamar, karena ingin belajar. Dan lagi, Aish juga masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, untungnya tidak harus pergi ke kantornya.
Zidan duduk diatas kasur dengan wajah yang suram, mengingat karena mamanya menarik tangan Khansa.
“Zi? Ada apa? Aku perhatikan dari kita sarapan kamu terus diam, dan terlihat kesal.” Khansa beranjak dari meja belajar untuk menghampiri Zidan.
Zidan mendongak menatap Khansa, ia sudah sebisa mungkin menyembunyikan rasa kesalnya.
“Ada apa? Kamu bisa mengatakannya, mungkin aja aku membantumu.” Khansa duduk di depan Zidan.
Zidan menatap tangannya saat Khansa memegangnya. Seketika hatinya luluh dan sangat senang.
“Zi?!” Khansa menggoyangkan tubuh Zidan karena tidak menjawab pertanyaannya dan hanya duduk diam.
Zidan menatap Khansa, berbalik menggenggam tangan Khansa. Tangannya menyentuh sudut bibir Khansa.
Khansa menegang karena perlakuan Zidan yang tiba-tiba berubah. Zidan membawa Khansa ke pelukannya, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Khansa.
Zidan memeluk Khansa dengan sangat erat, hingga membuat tubuh Khansa menegak karena terlalu dekat. Bukan dekat, tubuh mereka saling bersentuhan.
Dengan ragu-ragu tangan Khansa terangkat mengusap punggung Zidan. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Zidan.
Zidan tersenyum tipis karena Khansa tidak menolaknya, justru membalas pelukannya. Khansa merasa nyaman dengan pelukan ini, terasa begitu hangat untuknya.
“Zi, jika kamu memang ada masalah bisa mengatakannya padaku,” ucap Khansa di sela-sela pelukan mereka.
“Tidak ada masalah, aku hanya cemburu,” balasnya.
Khansa mengerutkan keningnya bingung dengan maksud perkataannya. Cemburu?, batin Khansa bingung.
“Tunggu.” Khansa mengangkat kepalanya, menatap wajah Zidan, tanpa pelukan melepaskan pelukannya.
“Cemburu? Siapa yang kamu cemburui?” tanya Khansa.
“Kamu.” Khansa memperlihatkan ekspresi bingungnya. “Zi? Apa yang membuatmu cemburu? Dari bangun tidur sampai kita tidur lagi, kita selalu bersama.”
“Aku tau.”
“Lantas apa yang membuatmu cemburu?” Tanya Khansa yang sudah merasa gemas menjeru kesal.
“Kamu tadi jalan bergandengan sama mama,” gumamnya.
“Zi?! Kamu serius?” Zidan mengangguk pelan. “Astaga! Zi! Itu mama kamu loh? Apa yang perlu kamu cemburuin?!” Khansa benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Zidan.
“Kamu lebih asik sama mama ketimbang denganku. Sepanjang waktu sarapan, kamu tidak melihat ke arahku sama sekali.” Khansa melepaskan pelukannya, memijat keningnya yang terasa pusing dengan tingkah Zidan.
Khansa mulai bingung dengan Zidan, kesan pertama yang ia lihat Zidan adalah orang yang pendiam, lebih tepatnya dingin dengan sekitarnya. Tidak ada kepedulian sama sekali, entah kenapa setelah pemakaman hingga hari ini, Khansa selalu melihat sosok Zidan yang lainnya.
Perubahan sikap Zidan hari demi hari mulai terlihat. Bukan lagi Zidan yang dingin, tapi sekarang Zidan yang posesif dan manja.
Khansa memandang lurus ke wajah Zidan, menelisik raut wajah lelaki di hadapannya. “Ini beneran kamu?” celetuk Khansa membuat Zidan menaikan alisnya.
“Maksudnya? Tentu saja ini aku memangnya siapa lagi?”
“Tunggu! Kok—” Khansa baru menyadari sesuatu yang beda dengan Zidan.
Cara bicara Zidan? Sejak kapan dia pake aku kamu? Kenapa aku baru menyadarinya? Kenapa sekarang aku melihatnya bukan Zidan yang aku lihat pertama kali. Dia benar-benar berbeda, batin Khansa bingung.
Kenapa ia baru menyadari perubahan gaya bicara Zidan sekarang. Untuk saat ini semua terlihat sangat jelas perubahan yang ada dalam diri Zidan.
“Kenapa?” Zidan menatap Khansa, menunggu apa yang akan dikatakan oleh perempuan yang kini mulai masuk ke dalam hatinya.
“Tidak ada, bukan hal yang penting. Hanya saja, sejak kapan gaya bicara kamu berubah?” Khansa memiringkan kepalanya, seolah mencari jawaban dari respon wajah Zidan.
“Gaya bicara? Aku tidak mengerti, Sa. Kamu bisa katakan lebih jelas lagi?” Zidan memang tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Khansa.
Khansa menghela nafasnya, menatap maya Zidan dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. “Sejak kapan kamu mulai menggunakan kata aku kamu saat kita bicara?”
Zidan mengerutkan dahinya, membuat kedua alis tebalnya hampir menyatu. Awalnya Zidan juga bingung kapan ia mulai berbicara seperti itu. Tapi yang pasti, hanya Zidan lakukan pada Khansa dan orang tuanya.
Lebih dari itu, masih Zidan yang pertama kali Khansa lihat. Perubahan Zidan bukan atas keterpaksaan agar hubungannya dan Khansa lebih dekat. Semua itu terjadi begitu tiba-tiba, tanpa Zidan ketahui.
“Entahlah, aku juga tidak tau. Ini terjadi begitu aja, memangnya kenapa? Kamu merasa aneh? Atau tidak menyukainya?”
“Ti-tidak! Bukan seperti itu!” Khansa menjadi gugup saat Zidan menatapnya, setelah menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan.
Hanya saja Khansa begitu penasaran, ia yakin pasti ada alasannya. Karena sangat tidak mungkin jika tidak ada alasan khusus.
Khansa baru ingat, saat Zidan bicara dengan mantannya, cara bicara Zidan seperti pertama kali mereka bertemu.
Mungkinkah? Tidak! Tidak! Sangat tidak mungkin! Mari lupakan apa yang belum tentu terjadi, batin Khansa yang berusaha membuang apa yang ada dipikirannya saat ini.