Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang tak dapat di sangkal..
Kontrakan itu sepi pagi ini, padahal baru semalam suara tangis, amarah, dan kenyataan pahit bergema di antara dindingnya. Nayla duduk di lantai, bersandar pada dinding dekat jendela yang terbuka sedikit. Udara pagi masuk, membawa dingin yang tak seberapa, tapi cukup untuk membuat kulitnya menggigil. Atau mungkin bukan karena cuaca—melainkan karena pikirannya sendiri yang terus melayang, tak bisa diam.
Ia menatap langit-langit, mencoba mengatur napas yang sejak tadi tak beraturan. Di dadanya, amarah dan luka bertarung dalam senyap. Tania… Raka… Aldi… semua nama itu berputar di pikirannya, membentuk pusaran perasaan yang tak bisa ia urai dengan mudah.
Tangannya menyentuh perutnya yang mulai membesar. “Maaf, Nak… Mama harus begini. Tapi Mama gak mau kamu tumbuh dikelilingi kebohongan atau kesakitan,” ucapnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tapi air mata yang mengalir cukup jadi saksi betapa berat beban yang ia tanggung.
Pikirannya kembali ke semalam. Aldi datang dengan niat profesional—membawa dokumen-dokumen yang harus ditandatangani Nayla untuk persiapan sidang. Nayla sempat merasa malu karena ia belum merapikan diri, dan semalam emosinya belum reda. Tapi Aldi tetap bersikap tenang. Hingga kemudian, Raka dan Tania datang tiba-tiba.
Keributan tak terhindarkan. Tania yang tidak tahu apa-apa ternyata tak terima ketika tahu Raka ingin ia meminta maaf kepada Nayla. Apalagi saat melihat ada laki-laki lain di sana. Tanpa menyaring kata, Tania menuding Nayla sebagai perempuan tak tahu malu yang belum resmi bercerai tapi sudah berani membawa pacar ke rumah.
Dan tamparan dari Nayla menjadi akhir dari semua itu. Satu tamparan yang menyuarakan betapa dalamnya luka yang ia pendam.
---
Di sisi lain kota, Raka mengemudikan mobilnya dengan kecepatan pelan. Jalanan masih lengang. Di kursi penumpang, Tania bersedekap, wajahnya menatap ke luar jendela, tetapi jelas tak sedang menikmati pemandangan.
“Dari tadi kamu diam aja,” omel Tania, tak tahan dengan suasana sunyi.
Raka hanya menjawab dengan helaan napas berat. “Aku lagi mikir.”
“Mikir Nayla?” tanya Tania sinis.
Raka menoleh cepat. “Kamu ini kenapa sih, Tan? Gak semua tentang Nayla.”
“Bohong!” Tania membentak. “Aku tahu kamu masih mikirin dia! Kamu bawa aku ke sana katanya buat minta maaf, eh malah kamu sendiri yang berdiri di pihak dia!”
“Karena dia gak salah!” Raka akhirnya meledak. Mobil ia hentikan mendadak di pinggir jalan. “Kamu yang nuduh dia yang enggak-enggak, di depan orang yang bahkan kamu gak kenal siapa!”
Tania menatapnya, rahangnya mengeras. “Ya, siapa juga laki-laki itu, hah? Kamu gak kepikiran dia mungkin emang pacarnya Nayla?”
Raka mengatupkan rahangnya. Gambar Aldi—sosok laki-laki tinggi, tenang, dan sopan itu—muncul di pikirannya. Ia sendiri tidak tahu siapa lelaki itu. Tapi entah kenapa, rasa sesak memenuhi dadanya. “Aku… gak tahu.”
Tania menoleh tajam. “Hah? Gak tahu? Jadi kamu cemburu, ya?”
Raka mendesah panjang, frustasi. “Tan… aku hanya gak mau semuanya makin rumit. Aku cuman pengen tanggung jawab ke anakku. Dan Nayla itu... dia bukan perempuan yang kayak kamu bayangin.”
Tania terdiam sesaat, lalu tertawa miris. “Lucu ya. Kamu bahkan lebih percaya perempuan itu daripada aku.”
“Karena aku kenal dia, Tan. Lebih lama dari kamu. Dan aku tahu, Nayla gak bakal semudah itu berpaling. Gak kayak kamu.”
Tania menatapnya tajam. “Maksud kamu apa, Raka?”
“Udahlah,” gumam Raka lelah. Ia kembali menyalakan mobil dan melaju tanpa menatap Tania lagi. Di pikirannya, gambar wajah Nayla yang tadi menampar Tania terus muncul. Ia tahu Nayla marah bukan karena merasa bersalah, tapi karena sudah terlalu lama diam dan diperlakukan semena-mena.
Dan lelaki itu… Aldi, katanya. Siapa sebenarnya dia di hidup Nayla?
---
Kembali ke kontrakan kecil Nayla.
Setelah mandi dan membereskan sisa kekacauan semalam, Nayla menyalakan kompor dan memasak air. Ia butuh teh panas. Ia butuh sesuatu yang menenangkannya. Matanya sembab, tapi ia tak mau larut dalam kesedihan.
Seketika, ponselnya bergetar.
Pesan dari Aldi:
“Maaf untuk kejadian tadi pagi. Aku tetap akan bantu kamu sampai proses ini selesai. Jangan sungkan kalau ada yang kamu butuh ya.”
Nayla menghela napas dan mengetik balasan singkat:
“Terima kasih, Mas Aldi. Maaf juga kamu harus lihat semua itu.”
Lalu ia menatap layar ponselnya lama. Bukan karena Aldi. Tapi karena satu pertanyaan besar mengganggu benaknya: Apakah ia siap menghadapi sidang perceraian sambil mengandung? Apakah ia mampu berdiri sendirian menghadapi dua manusia yang menyakitinya?
Tapi kemudian ia teringat satu hal.
Ibunya dulu berjuang untuknya tanpa mengeluh. Saat ayahnya meninggal, ibunya tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Hanya satu yang ibunya pikirkan—membesarkan Nayla dengan sepenuh cinta.
Dan sekarang, giliran Nayla meneruskan kekuatan itu.
Ia menatap perutnya dan tersenyum lemah. “Kita pasti bisa, Nak… Kita harus.”