NovelToon NovelToon
Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Diselingkuhi Dokter, Dipinang Pemilik Rumah Sakit

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Pelakor jahat
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: Isti arisandi

Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.

Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.

Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.

Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2. Kakak Iparku, Pahlawanku

Langit sore mulai memudar ke arah gelap saat sirine terus meraung dari kejauhan.

Mobil-mobil ambulan datang silih berganti membawa korban yang baru ditemukan di bawah reruntuhan. Beberapa terluka, sebagian sudah kaku dan dibungkus kain putih. Udara bercampur bau tanah basah dan luka manusia.

Dokter David berdiri di antara kerumunan, wajahnya dipenuhi debu dan peluh. Tangannya tak pernah berhenti, membalut luka, menjahit robekan kulit, menyuntik antibiotik, hingga menenangkan pasien yang masih shock. Bersama tim medis lainnya, ia bekerja tanpa jeda, nyaris tanpa bicara.

Namun saat semua mulai surut, bukan karena tugas selesai, tapi karena tubuh sudah memaksa istirahat, pikiran David terbang pada satu nama, Naura adik iparnya yang terjatuh dan terluka. Naura adalah tanggung jawabnya, istrinya sudah menitipkan padanya.

Ia segera melepas sarung tangannya dan berjalan cepat ke arah tenda yang disinggahi Naura. kebetulan di dalam tenda, Naura tampak meringkuk, tubuhnya lemah, selimut menutupi hingga ke dagu. Wajahnya pucat, keringat dingin masih menempel di pelipis.

"Naura," panggil David pelan. Ia menyingkap tirai tenda, lalu masuk dan duduk di tepi ranjang lipat darurat.

Naura membuka matanya, lalu tersenyum kecil. "Kak David…"

"Kamu panas?" David meraba dahinya.

"Iya Kak, Entahlah aku " Ia menatap David dengan sorot mata yang mencari kenyamanan, seperti anak kecil yang baru kehilangan rumahnya.

David menghela napas, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. "Ayo ikut aku ke mobil. Kamu nggak bisa terus di sini. Udara malam makin dingin."

Naura menyambut tangan itu tanpa ragu. Saat ia berdiri, tubuhnya sedikit oleng. David langsung menopangnya, memeluk pinggang Naura agar tetap stabil.

Naura menatap David dengan jarak dekat.

Langkah mereka tertatih keluar dari tenda, berjalan di antara reruntuhan dan medan becek.

Di kejauhan, seorang dokter muda sedang mencuci tangan di bak air darurat. Ia melihat mereka berdua dan segera menghampiri.

"Naura," panggilnya. "Kamu masih sakit? Biar aku bantu ke mobil."

Namun Naura menggeleng pelan. "Bang Yusuf, aku mau dibantu Kak David aja."

Yusuf menatap Naura, lalu David, dengan sorot mata curiga. "Naura... dia itu kakak ipar kamu. Tapi kamu kelihatan... dekat banget."

Melihat wajah Yusuf, David tiba-tiba seperti kehilangan sesuatu, dia segera merogoh ponselnya.

"Sepertinya ponselku ketinggalan di tenda pasien."

David kelihatan panik. "Aku ambil dulu ya, Nau, tunggu disini sebentar, Kakak mau ambil ponsel."

David pergi dengan tergesa, sedangkan Naura dan Yusuf kini tinggal berdua.

"Cp cp cp .... Salut gue "

Naura mendongak, wajahnya polos tapi tajam. "Kenapa, Bang? Kakak ipar itu sama aja kayak kakak kandung. Aku nggak salah, kan?"

Yusuf menelan ludah, tak langsung menjawab. Tapi sorot matanya menyimpan lebih banyak kata. Dokter Yusuf seangkatan dengan Naura, sudah lama dia menaruh rasa suka pada Naura yang terkenal kalem dan cantik.

Yusuf ingin mengutarakan perasaannya disaat Naura sedang sendiri. Tapi Yusuf merasa dimana ada Naura pasti ada David.

David sendiri diam, tak menanggapi.

"Naura," lanjut Yusuf pelan, "kemarin aku lihat kamu digendong Kak David ke tenda. Nggak biasanya seorang seakrab itu dengan iparnya."

Naura mendesah pelan, tapi terdengar kesal. "Kalau aku nggak digendong, mana bisa aku sampai ke tenda? Aku hampir pingsan waktu itu. Sekarang aja masih sakit dan lemas."

Yusuf terkekeh pendek. "Ya sudah. Tapi hati-hati. Bisa-bisa kamu jatuh cinta sama David. Dia itu terlalu baik. Dan kadang, kebaikan bisa bikin orang salah paham."

Naura menoleh cepat, tapi tidak menjawab. Ada sesuatu di sorot matanya. Antara marah... dan menikmati pujian terselubung itu.

Tak lama David kembali dengan wajah lega, ponselnya tidak hilang, tapi dia sedikit kecewa karena Kinanti tidak meneleponnya.

Kinanti sebenarnya menelepon, tapi panggilannya selalu gagal karena tidak ada sinyal.

Mobil tua dinas milik relawan terparkir di sisi tenda, sekarang semua pasien akan dipindah tempatkan di gedung kosong yang dulunya sekolahan, bangunan tua itu kini jadi rumah sakit darurat.

Ruang guru dijadikan ruang triase. Ruang kelas jadi area observasi. Dan perpustakaan kini menjadi tempat istirahat para dokter dan relawan.

David membuka pintu mobil dan membiarkan Naura masuk lebih dulu. Ia mengatur sandaran kursi agar lebih nyaman, menyelipkan bantal kecil di belakang punggung Naura, lalu menyalakan pemanas portable seadanya.

"Lebih baik?" tanyanya.

Naura mengangguk. "Enak banget, lebih nyaman

David tertawa pelan. "Jangan keburu senang. Ini cuma mobil tua. Tapi kalau kamu perlu istirahat, di sini lebih hangat daripada tenda."

Yusuf tidak jadi naik mobil yang sama dengan David, ada temannya yang lain memanggil. lagipula keberadaannya tidak pernah dianggap oleh Naura.

Naura menatap David lama. Sorot matanya tidak lagi penuh sakit, tapi ada ketenangan di sana. Seperti gadis yang sedang jatuh cinta diam-diam. Ia menyandarkan kepala di jendela, lalu berbisik nyaris tak terdengar.

"Aku senang bisa ketemu Kak David di sini..."

David menoleh. "Kenapa?"

"Soalnya... aku jauh dari orang tua, dari siapa-siapa. Tapi tiap kali lihat Kakak... aku ngerasa ada orang yang sayang sama aku."

David tersenyum. "Mbak Kinanti titip kamu pada Kakak, katanya kalau pulang nanti gak ada yang boleh lecet. Ngeri kan ancaman Mbak Kinanti. Sekarang kamu malah terkilir begini."

***

Udara di lereng Semeru pagi itu mulai menghangat. Meski bekas longsoran masih menebar bau tanah dan trauma, aktivitas di rumah sakit darurat perlahan berkurang.

Kloter kedua para relawan medis sudah tiba sejak subuh, menggantikan tim pertama yang telah bekerja hampir dua pekan tanpa henti.

Naura duduk di bangku kayu di sisi lorong bekas ruang kelas yang disulap jadi ruang perawatan. Wajahnya jauh lebih segar, senyum tipisnya kembali muncul meski tubuhnya masih lemas.

“Naura, hasil lab kamu bagus. Kondisi kamu stabil, jadi hari ini kamu bisa pulang,” kata seorang dokter senior yang baru datang.

“Sebenarnya kamu harus istirahat total beberapa hari, tapi karena kamu udah terdaftar dalam jadwal evakuasi, kita ikuti prosedur pemulangan.”

Naura mengangguk. “Terima kasih, Dok.”

Ia membereskan barang-barangnya: tas selempang kecil, buku catatan, dan jaket tebal pemberian David. Di luar tenda, beberapa relawan sudah naik ke mobil travel yang siap mengantar mereka kembali ke kota.

Naura melangkah dengan pelan, tapi langkahnya tertahan oleh seorang suster.

“Naura, kamu belum ambil surat rujukan, sepertinya masih di ruang logistik.”

Naura berbalik untuk mengambil surat tersebut. Tapi saat ia kembali, suara mesin travel sudah terdengar menjauh. Jalanan sudah kosong.

“Tidak…” gumamnya panik. Ia berdiri di tengah debu dan udara pagi yang dingin, tak percaya dirinya ketinggalan travel.

Dengan tergopoh ia mengeluarkan ponsel dari tas dan menekan nama yang tak pernah ia hapus sejak awal penugasannya di Semeru. Kakak ipar David.

David sedang duduk di bangku baris kedua dalam travel. Wajahnya lelah, matanya hampir tertutup ketika ponselnya bergetar. Ia melirik layar, lalu menghela napas pelan sebelum mengangkat.

“Naura?”

“Ka... Kak, aku ketinggalan travel,” suara Naura terdengar hampir menangis. “Aku disuruh ambil surat rujukan dulu… pas balik, mobilnya udah jalan.”

David mendadak terjaga penuh. Ia menoleh ke depan. Travel sudah mulai menjauh dari area pengungsian, melewati tikungan curam dan jalan berbatu yang sulit untuk kembali.

“Astaga, Naura… kamu di mana sekarang?”

“Masih di depan ruang logistik. Sendirian…”

David mengusap wajahnya. Ia tahu jika membiarkan Naura di sana, ia bisa dalam bahaya. Jalan ke kota tidak mudah. Sinyal buruk. Angkutan umum langka. Dan jelas, Naura belum benar-benar sehat.

“Aku turun di pos berikutnya. Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana.”

Sopir travel menoleh dengan kaget saat David meminta turun di tengah perjalanan. “Dok, ini jauh dari mana-mana. Nggak ada ojek juga.”

“Saya tahu. Tapi saya harus balik,” jawab David singkat.

Ia turun di persimpangan sempit di mana pos logistik masih tampak samar dari kejauhan. Setelah menunggu beberapa menit di pinggir jalan, ia menyetop mobil relawan yang lewat, lalu menumpang sampai kembali ke lokasi darurat.

Saat sampai, ia melihat Naura duduk bersandar di dinding sekolah, tubuhnya terbungkus jaket, wajahnya sayu tapi lega melihatnya.

David mendekat. “Kenapa kamu nggak minta diantar relawan lain?”

Naura tersenyum kecil. “Aku panik. Yang pertama kupikir... ya, Kakak.”

David menatap gadis itu lama. Ia ingin marah. Tapi tidak bisa. Naura terlalu imut untuk mendapatkan amarah darinya.

“Ayo,” ucapnya pelan. “Kita cari ojek atau mobil yang bisa bawa ke kota. Setidaknya sampai ke jalur utama.”

Naura berjalan pelan di samping David, sesekali menatapnya diam-diam. Jalanan basah karena hujan semalam. Awan mulai menghitam. Tapi hati Naura justru terasa hangat.

Dalam perjalanan, tidak banyak yang mereka bicarakan. Hanya deru angin dan gesekan daun yang mengiringi. Sesekali David bertanya apakah Naura kelelahan. Naura hanya menggeleng dan terus berjalan.

Malam semakin larut, David dan Naura mulai putus asa, tak ada satupun kendaraan lewat, yang nampak hanya sebuah villa kecil di bukit, lampunya menyorot ke arah jalan seolah memanggil keduanya supaya singgah.

1
Rahmi
Lanjutttt
Rian Moontero
lanjuuuuttt/Determined//Determined/
Yunia Spm
keren
Yunia Spm
definisi ipar adalah maut sebenarnya....
watini
badai besar siap menghancurkan davit naura.karna kebusukan tak kan kekal tersimpan.moga Yusuf ga jadi nikahin Naura,dan mendapatkan jodoh terbaik.
watini
suka cerita yg tokoh utamanya wanita kuat dan tegar.semangat thor,lanjut
Isti Arisandi.: terimakasih komentar pertamanya
total 1 replies
Isti Arisandi.
Selamat membaca, dan jangan lupa beri like, vote, dan hadiah
Isti Arisandi.: jangan lupa tinggalkan komentar dan like tiap babnya ya...😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!