"Yang kalian lakukan salah."
Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aalgy Sabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Punishment
———
"Lo mau ngapain?"
"Lo harusnya tau apa yang mau gue lakuin sama lo."
Dan selanjutnya—
Oke cut.
Nanti Mayra ceritakan di akhir part saja, bagaimana?
Atau sekarang saja?
Baiklah jika ingin sekarang.
Setelah mereka kembali dari vila itu, mereka langsung pulang ke apartemen. Begitu lift berdenting, Fero langsung menarik Mayra masuk ke dalam apartemennya. Mayra kaget bukan main, karena cara Fero menyeretnya ini terasa berbeda. Tidak kasar, tapi cukup kuat. Jangan lupakan juga ekspresi lelaki itu yang terlihat antusias. Sebenarnya apa yang akan Fero lakukan?
Fero menarik sofa untuk mengubahnya menjadi sofa bed. Lalu ditariknya Mayra agar berbaring di sana, disusul Fero yang mengungkungnya dari atas.
Emergency please.
Apa yang harus Mayra lakukan? Bersikap malu-malu? Atau tak tahu malu?
Sejak kapan kamu berpikir dahulu Mayra? Bukannya kamu tidak pernah berpikir dahulu sebelum bertindak? Dan juga apakah kamu benar-benar bisa bersikap malu-malu?
Terlalu sibuk berperang dengan pikirannya sendiri sehingga tak menyadari kalau Fero mulai mengecupi seluruh wajahnya dengan penuh perasaan.
Tubuh Mayra membeku seketika. Tak lagi terpikirkan haru bersikap malu-malu atau takt ahu malu, pikirannya stuck pada gerak-gerik Fero.
Bahkan data Mayra bertanya tentang apa yang akan dilakukan Fero, sebenarnya akal sehatnya sudah terbang di langit ke tujuh. Katakanlah berlebihan, tapi memang begitu adanya. Bayangkan ada lelaki tampan yang mengereyangi wajahmu—lelaki yang dingin pada semua wanita, tapi memperlakukanmu berbeda, apa yang akan kamu lakukan? Tentu saja mengikuti alur yang diciptakan pria tampan itu.
Fero mengangkat sudut bibirnya saat Mayra mulai rileks dan mengikuti permainannya dengan mengalungkan tangan pada lehernya sambil mengelus pelan—semakin membuatnya bersemangat untuk berbuat lebih.
Bibirnya bergerak mendekati sudut bibir Mayra, dan ... bibir keduanya pun bertemu.
Mayra dan Fero memejamkan mata—membiarkan bibir mereka bekerja secara naluriah.
Saling mengecup.
Saling melumat.
Saling bertukar lidah.
Dan saling membasahi satu sama lain, sampai bunyi decapan kedua bibir mereka menggema di ruangan itu. Cahanya senja yang menembus jendela menambah suasana menjadi semakin intim.
Setelah beberapa menit, Fero menjajah tempat yang berbeda karena sepertinya Mayra sudah kehabisan napas. Benar saja setelah Fero mulai mengecupi lehernya, Mayra mengambil napas dalam-dalam. Dan tanpa disangka satu rintihan lolos dari bibirnya.
Fero tersenyum smrik, lalu kembali melanjutkan menandai area jajahannya. Tangan Mayra perlahan naik menjambak rambut Fero.
Shit! Umpat Fero dalam hati. Ini membuat sesuatu di bawah sana semakin mengeras.
Tangannya masuk ke dalam seragam Mayra yang sudah mencuat dari dalam rok, ia mengelus perut rata kekasihnya itu.
Kenapa kulit Mayra bisa selembut ini? Fero jadi betah mengelusnya. Elusannya semakin naik ... naik ... dan menemukan sesuatu yang lebih menarik untuk dielus. Jari jempolnya menyelinap masuk ke dalam bra, menekan sesuatu yang mencuat. Desahan pun lolos dari bibir Mayra.
Bibir Mayra kembali dilumatnya karena gemas dengan desahan yang lolos dari bibir itu. Fero memperhatikan dengan seksama setiap perubahan ekspresi pada wajah gadis sipit itu, wajahnya memerah penuh—
Ting tong
Sial! Siapa yang bertamu di sore hari begini?!
Mayra mengerjapkan matanya berkali-kali untuk mengembalikan kewarasannya. Ia mendorong Fero yang memasang muka busuk.
"Siapa yang dating Fer?"
"Mana gue tau," ucap Fero judes.
Mayra memukul pelan dahi Fero. Ia berusaha bersikap normal setelah apa yang mereka berdua lakukan, padahal dalam hatinya ia berdebar tak karuan.
"Gimana kalau Mommy lo?" tanya Mayra panik.
Fero berdiri dengan tegak, ia segera merapihkan penampilannya. Ia terdiam, lalu berucap.
"Gue mau mandi, siapapun orang yang di balik pintu suruh masuk aja."
Setelah mengatakan itu Fero segera bergegas ke kamarnya untuk pergi ke kamar mandi. Jujur saja selain mandi, ia ingin meredakan sesuatu yang berdiri di selangkangannya itu. Ia tak mungkin membuka pintu dengan perasaan tak karuan seperti ini bukan? Mayra sepertinya lebih tenang dari dirinya.
"Eh—"
Mayra segera bergegas ke depan pintu sambal merapihkan penampilannya yang bahkan lebih acak-acakan dari Fero. Seingatnya ia tak banyak bertingkah sehingga bajunya bisa sekusut ini, sepertinya ini akibat perbuatan Fero tadi.
Mata Mayra mengintip dari lubang bulat yang ada di depan pintu untuk mengetahui siapa yang bertamu di jam yang hampir malam ini. Tamunya—
Wait ....
What?!
Icha?!
Untuk apa bocah itu kemari? Apakah Icha punya hubungan gelap dengan Fero? No, no, no. Kamu harus menanyakan pada keduanya, sebenarnya apa hubungan keduanya. Jangan berburuk sangka. Jangan mengambil keputusan sepihak. Jangan menyimpulkan sesuatu dengan cepat, kamu harus mencerna semuanya terlebih dahulu. Atau Fero akan kecewa padanya.
Mayra pun membuka pintu. Wajah datar khas Icha menjadi hal pertama yang ia lihat.
"Ternyata bener," gumam Annisa.
"Apa yang bener?" tanya Mayra heran.
"Lo ada di sini."
"Ya iyalah gue ada di sini," balas gadis sipit itu nyolot.
"Gue tadi ke apartemen, lo gak ada."
"Terus lo ngapain ke apartemen Fero?" tanyanya curiga.
Annisa menjawab dengan datar. "Gue cuma ngira lo ada di sini."
Mata Mayra menyipit dengan curiga.
Annisa memutar bola matanya jengah, ia terpaksa untuk bicara panjang lebar. "Gue emang kenal sama Fero, tapi gue gak ada hubungan apapun sama dia. Gue sekarang mencet bel apartemen Fero karena gue curiga kalau lo ada di sini, soalnya gue ke apartemen lo, lo nya gak ada."
"Kenapa lo bisa tau kalau gue bakal ada di apartemen Fero?"
Annisa menghela napas panjang. "Lo pernah cerita kalau lo lagi deket sama dia."
Mayra berpikir sebentar, "Iyaya, gue pernah cerita."
"Tolol."
"Yaudah lo masuk dulu," ajak Mayra sambil membuka lebar pintu.
Annisa menggeleng. "Gak. Gue takut ngeliat sesuatu. Kancing lo benerin dulu."
Mayra melotot seketika. Bahkan ia tak sadar kalau Annisa sudah pergi saking syoknya. Bagaimana annisa bisa tahu kalau ia tadi melakukan sesuatu yang tak senonoh? Dan apa tadi, kancing?
Refleks ia memegang seluruh kancing seragamnya. Kancing ke-empat terbuka!
Sial!
Sejak kapan Fero membuka kancingnya? Bukankah tangan Fero hanya meraba tidak membuka?
Bagaimana bisa ia seoleng itu?
Untung saja yang memencet bel Annisa, bagaimana kalau orang lain?! Habis sudah nasibnya.
Berarti Tuhan masih sayang padanya.
Hei! Gimana bisa lu ngomong kayak gitu di saat lu ngelakuin hal yang bikin Tuhan kecewa? Bener kata Icha, lu emang tolol May.
Nyelekit anjir. Mayra memegang dadanya.
Daripada semakin bertingkah gila lebih baik ia menutup pintu dan masuk ke dalam apartemen—menunggu Fero selesai mandi dan berpamitan karena sudah ada Icha di apartemen, ia rindu berghibah dengan Annisa yang selalu menjawab singkat saat ia berbicara panjang lebar.
———
"Gue rindu banget sama lo Ichaaaaa!" Mayra memeluk Annisa dengan erat.
Annisa balas memeluk hanya satu detik. Kenapa dengan bocah ini? Bukannya tadi mereka berdua sudah bertemu di depan pintu apartemen Fero, kenapa baru memeluknya tadi kalau memang rindu.
Mayra memang merindukan Annisa, tapi saat mereka berada di depan apartemen ia tak berpikir untuk memeluknya. Ide memeluk Annisa ada saat ia masuk ke apartemen milik Varidza ini. Tadi otaknya masih ngeload, entah ada apa dengan otaknya sekarang. Fungsi otaknya kenapa semakin melambat akhir-akhir ini, apakah ia harus pergi ke dokter ahli saraf dan otak untuk memeriksakan keadaannya?
Sumpah lu makin ngaco May, bukan karena ada penurunan fungsi otak lu jadi lemot. Tapi lu overthinking mulu sama Fero.
"Lo abis mantap-mantap sama Fero?"
Mayra mendengus sebal—kenapa wajah Icha sedatar itu saat menanyakannya? Bisakah sedikit berekspresi?
"Gak sampai, cuma grepe-grepe doang."
Annisa mengangguk paham. "Kapan lo jadian?
"Beberapa hari yang lalu," ucap Mayra sambil duduk di sofa. Ia pegal, pasalnya dari tadi mereka berdiri di ruang keluarga. Oh iya, Annisa juga tahu password apartemen Varidza ini karena tempat ini sudah menjadi rumah kedua bagi mereka bertiga, jadi ketiganya bebas keluar masuk ke apartemen ini.
"Lo ke sini Papa Mama lo keluar kota?" tanya Mayra sambil mengambil cemilan yang ada di meja.
Annisa mengangguk mengiyakan.
"Gue nengok Idza."
Mayra menoleh, "Sama siapa?"
Annisa berdehem, "Rezvan."
Mata sipit Mayra menyipit curiga. Pasti ada sesuatu di antara mereka berdua, karena beberapa minggu terakhir ini mereka terlihat bertengkar. Tapi kini mereka menengok Varidza bersama.
"Lo baikan ya sama—"
Obrolan pun berlanjut hingga tengah malam tiba dan akhirnya mereka berdua bangun kesiangan. Tapi bukan itu yang mengsialkan bagi Mayra, Fero sudah membookingnya untuk berangkat bersama. Tapi oh tapi, Fero bahkan bangun lebih siang darinya sehingga mereka harus mendapatkan hukuman karena terlambat datang ke sekolah.
This is the real punishment.
———