Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Muka Bu Maryam langsung mengeras, seperti baru saja menelan cabai rawit utuh. Tatapannya menusuk pasangan suami-istri yang duduk di hadapannya.
"Apa alasan kalian mau pindah ke desa?" tanya Zidan sambil menyilangkan tangan, suaranya datar tapi nadanya menggantung curiga. "Bukannya hidup di sini nggak cocok buat Bapak? Bapak, kan, lebih cocok tinggal di kota. Di sana semuanya lengkap, tinggal jentik jari, bahagia."
"Benar!" sambung Bu Maryam, suaranya meninggi. Wanita paruh baya itu menyender ke kursi sambil menatap tajam. "Bukannya dulu kamu bilang nggak akan pernah nginjek tanah kampung ini lagi? Katanya kampungan, kumuh, nggak layak buat orang sekeren kamu. Manajer perusahaan besar, ya, 'kan? Harusnya tinggal di kota, bareng wanita kota yang tahu cara rawat diri, bukan di sini!"
Pak Yadi menghela napas panjang, tangannya meremas lututnya sendiri. Wajahnya langsung lesu, seperti habis dikabari uangnya habis dirampok. Sementara Niken mendengus, lalu menyilangkan tangan di dada seperti siap bertinju. Sejak dulu, Bu Maryam dan Niken memang seperti minyak dan air.
"Bapak udah resign," ucap Pak Yadi pelan, menunduk. "Coba buka usaha sendiri ... eh, malah bangkrut. Semua aset disita bank."
Zidan tercenung. Dia menatap bapaknya dengan mata sedikit membelalak. "Serius, Pak? Yang rumah besar di kota itu juga?"
Pak Yadi mengangguk pelan. Niken menatap suaminya dengan kesal, seperti ingin berkata: "Ngomongnya jangan bikin kita kelihatan nyesel banget gitu, dong!"
"Karma itu!" celetuk Sabrina tiba-tiba sambil nyeruput teh dari cangkir. "Karena udah ninggalin istri sama anak, rasain."
Bu Maryam menoleh ke Sabrina dan tertawa kecil penuh kemenangan. “Akhirnya ada juga yang ngomong.”
Zidan langsung menggenggam tangan Sabrina di bawah meja, mencoba menenangkan. Wajahnya panik. "Neng, jangan begitu ...," bisiknya.
Niken berdiri dari kursi, suaranya melengking. "APA KAMU BILANG?!"
Sabrina nyaris menjatuhkan cangkir karena hendak berdiri melawan Niken. Dia mengangkat alis dan balas menatap, tapi Zidan buru-buru menahan lengannya.
Niken menudingkan jari. "Bangkrutnya usaha Bang Yadi, tuh, karena ditipu! Kita korban, tahu nggak?!"
Bu Maryam menyilangkan tangan dengan gaya dramatis seperti sinetron. "Nah, itu! Orang jahat dibales sama orang jahat lagi. Dunia emang seimbang!"
Dalam hati, Bu Maryam bersorak. "Doa-doaku akhirnya dijawab juga!"
Bu Maryam ingat betul waktu Zidan sakit keras dulu dan tak ada satu perak pun bantuan dari mantan suaminya. Waktu itu, dia bahkan sampai ngutang ke sepupunya buat beli obat. Dan sekarang? Alam seolah membalas semua perbuatan Pak Yadi dan Niken dengan pas.
“Lalu, Bapak akan tinggal di mana?” tanya Zidan sambil mengerutkan dahi, mencoba membayangkan nasib bapaknya yang mendadak jadi homeless.
“Di rumah emak,” jawab Pak Yadi mantap, seperti baru menemukan solusi terbaik sejagat raya. “Rumah peninggalan orang tua, kan, belum diwariskan. Masih aman.”
Zidan langsung menggaruk kepala, ragu mau langsung ngomong atau nggak. Tapi akhirnya dia memilih jujur.
“Ehh ... itu ... rumahnya udah dijual, Pak,” kata Zidan pelan. “Emak dulu jual buat bayar utang ke Pak Kades. Sisanya buat biaya pemakaman ... dan sebagian lagi disedekahin buat renovasi masjid.”
“Apa?!” Pak Yadi dan Niken berseru bersamaan, nyaris loncat dari kursi.
Pak Yadi menatap Zidan dengan alis naik, lalu melirik ke Bu Maryam dengan ekspresi kesal. “Kenapa nggak ada yang kasih tahu aku? Aku ini ahli warisnya!”
Bu Maryam nyengir lebar, lalu tertawa terkekeh sambil menepuk-nepuk pahanya. “Hahaha ... astaga, Yadi. Kamu makin tua makin blo’on, ya? Gegara nikah sama wanita murahan tukang ngang'kang, makanya otak kamu ketarik ke dengkul!”
“Heh, denger, ya! Warisan itu bukan cuma harta, doang. Utang juga bisa diwarisin, tahu nggak?” lanjut Bu Maryam, kali ini matanya menyipit penuh kemenangan. “Kebetulan, nih, emak punya utang lima juta sama aku. Nah, bayar sekarang! Soalnya kamu ahli warisnya emak!”
Pak Yadi membelalak. Niken refleks memegang dadanya seperti habis ditodong tagihan cicilan. Wanita itu juga mendadak sakit kepala.
Zidan buru-buru melerai, “Bu, itu ,kan, dulu! Katanya udah diikhlasin ....”
Bu Maryam langsung melambai tangan seperti mengusir lalat. “Iya, iya, becanda. Tapi tetep aja lucu liat muka panik Bapak kamu itu sama gundiknya.”
Zidan menarik napas panjang sebelum menjelaskan lebih lanjut. “Sebelum meninggal, emak nitip pesan. Rumah dijual, uangnya buat bayar utang, pemakaman, dan renovasi masjid. Udah gitu aja.”
Pak Yadi menunduk. Matanya berkaca-kaca. “Habis semua ya ...,” gumamnya lirih, lebih ke diri sendiri. Dia seperti baru menyadari kalau hidupnya benar-benar mulai dari nol.
Niken memutar mata ke langit-langit, lalu mendesis. “Kemarin udah kubilang, jual aja rumahnya, terus ngontrak di kota! Tapi nggak mau! Ngotot katanya itu rumah penuh kenangan. Nah, sekarang?”
Pak Yadi melirik ke istrinya dengan tatapan lelah. “Kamu juga jangan nyalahin terus, dong!”
“Kalau begitu Bapak tinggal di mana sekarang?” tanya Pak Yadi, kali ini malah menatap Zidan seperti minta jawaban ajaib.
“Kenapa nanyanya ke Zidan?” sela Bu Maryam sambil nyengir. “Ya, cari rumah sendiri lah! Masa mau numpang?”
“Aku udah nggak punya uang ....” Pak Yadi terduduk lemas, bahunya merosot seperti balon kempes.
Zidan menghela napas panjang, lalu berdiri dan menarik tangan Sabrina. “Ayo, ikut akang sebentar,” bisiknya, lalu menyeret istrinya ke dapur.
Sabrina berbisik sambil melipat tangan di dada. “Kenapa, Kang?”
Zidan menatap mata istrinya dalam-dalam. “Neng ... Akang pengin sewain rumah buat Bapak. Cuma sebulan aja. Siapa tahu selama itu dia dapet kerjaan dan bisa mandiri.”
Sabrina langsung cemberut. “Kang, kenapa masih baik sama orang yang dulu nyakitin Akang dan Ibu? Kalau aku, dari tadi juga udah aku usir. Apalagi liat wajah pelakor itu ... pengin aku cakar!”
Zidan tersenyum tipis. “Kita nggak harus bales keburukan orang dengan keburukan juga. Percaya kalau mereka akan mendapatkan balasan dari Tuhan atas semua perbuatannya. Tanpa kita ngapa-ngapain, mereka pasti dapat balasan sendiri.”
Sabrina menghela napas. “Ya, udah, deh .... Tapi janji! Jangan kasih uang sepeser pun ke wanita itu. Nanti dia ngelunjak lagi, minta disediain facial juga!”
Zidan mengangguk. “Oke, Neng Cantik.”
Zidan mencium kening Sabrina. Dia bersyukur istrinya mendukung keputusannya.
Kabar kedatangan Pak Yadi dan Niken ke kampung, membuat beberapa warga bergosip tentangnya. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi di kampung mereka kedepannya.
"Jangan-jangan nanti Ceu Maryam akan menghajar Pak Yadi dan si Niken kayak dahulu," ucap Ceu Edoh.
"Iya. Sampai Pak Kades turun tangan. Untung saja tidak sampai panggil polisi. Bisa-bisa Ceu Maryam di penjara," balas Ceu Romlah.
"Wanita kalau disakiti bisa mendadak kuat. Badan Ceu Maryam yang sekecil itu bisa membanting Pak Yadi yang jauh lebih besar darinya," ujar Ceu Euis yang menyaksikan langsung bagaimana Bu Maryam ngamuk di depan rumah.
"Ngomong-ngomong ada yang tahu kenapa Pak Yadi pindah lagi ke kampung ini?" tanya Ceu Entin penasaran.
"Jangan bilang kalau Pak Yadi mau minta uang sama Zidan. Sekarang, kan, dia kaya," ucap Ceu Edoh menduga-duga.
"Apa kalian mau tahu?" tanya Sabrina yang tiba-tiba saja muncul di warung Wa Eneng yang menjadi basecamp ibu-ibu bergosip.
Wajah keempat wanita paruh baya itu mendadak tegang. Mereka pun menoleh dengan gerakan patah-patah mirip robot rusak.
***
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii