Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang tidak terlihat
Hujan turun perlahan, menyatu dengan air mata yang tak mampu Aira tahan lagi. Malam itu, di sudut kamar yang sepi, ia duduk memeluk lutut, mencoba merangkai kekuatan dari kepingan hatinya yang hancur.
Sudah terlalu lama ia bertahan dalam hubungan yang membuatnya kehilangan diri sendiri. Cinta yang seharusnya menjadi tempat pulang, kini justru menjadi penjara tanpa jeruji.
Delon tak lagi menjadi sosok yang ia kenal dulu. Kata-kata manis berubah menjadi sindiran tajam, perhatian menjadi pengawasan, dan cinta menjadi kontrol. Aira menyadari—ini bukan cinta. Ini luka yang tersamarkan oleh kenangan.
Dan malam itu, di tengah isak yang lirih, Aira mengambil keputusan terberat namun paling berani dalam hidupnya: ia akan pergi.
Bukan untuk lari, tapi untuk menemukan kembali siapa dirinya dan apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
Perjalanan itu dimulai… dari titik paling gelap, menuju cahaya yang selama ini ia lupakan—dirinya sendiri.
Pagi itu, matahari bersinar cerah. Tapi bagi Aira, hari terasa kelabu. Ia duduk di meja makan, menyuap sarapan yang nyaris tak tersentuh.
Di seberangnya, Delon sibuk dengan ponselnya, tak mengucap sepatah kata pun.
Sudah beberapa bulan terakhir, pagi mereka seperti ini—hening, dingin, dan asing.
“Kenapa kamu nggak bilang mau pulang larut semalam?” Aira mencoba membuka pembicaraan, suaranya pelan.
Delon mendongak, wajahnya datar. “Kenapa? Emangnya aku harus izin setiap mau ke mana?”
Aira terdiam. Pertanyaan itu bukan untuk menyalahkan, hanya ingin tahu. Tapi Delon selalu mengartikannya sebagai serangan.
“Aku cuma khawatir,” jawabnya lirih.
Delon mendesah panjang, bangkit dari kursinya. “Khawatir? Jangan lebay, Aira. Aku butuh ruang. Jangan melarang aku dengan drama kamu setiap hari.”
Aira menunduk. Kata-kata itu menyayat, tapi ia sudah terlalu sering mendengarnya.
Setiap kali ia mencoba bicara, yang datang hanya amarah dan tuduhan.
Ia mulai ragu pada dirinya sendiri—apa benar semua ini salahnya?
Di tempat kerja, Aira berpura-pura tersenyum. Tapi di balik senyum itu, ia menyimpan banyak tanya: kapan terakhir kali ia merasa bahagia? Kapan terakhir kali ia merasa cukup?
Malamnya, Aira berdiri di depan cermin. Ia menatap wajahnya yang lelah, matanya yang kehilangan cahaya. Lalu sebuah bisikan muncul di benaknya, pelan namun tegas:
Kalau kamu nggak pergi sekarang, kamu akan hancur selamanya.
Di dalam kamar, Aira membuka lemari dan menarik keluar sebuah kotak kecil. Isinya penuh dengan surat-surat, tiket bioskop, dan foto-foto lama bersama Delon—kenangan masa lalu yang pernah membuatnya tersenyum. Tapi kini, semua itu hanya meninggalkan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan.
Ia memegang salah satu foto mereka di pantai. Di foto itu, Delon tersenyum sambil menggenggam tangan Aira erat.
Semua terlihat sempurna, namun hanya Aira yang tahu bahwa beberapa saat setelah foto itu diambil, mereka bertengkar hebat hanya karena Aira menolak meminjamkan ponselnya.
Perlahan, Aira menyadari satu hal: hubungan mereka dibangun bukan atas kepercayaan, tapi ketakutan.
Ia takut membuat Delon marah, takut ditinggalkan, takut dianggap tidak cukup baik.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Delon masuk:
“Jangan lupa masak malam ini. Aku bawa teman.”
Tanpa “tolong”, tanpa “apa kabar”, tanpa “aku sayang kamu.” Aira menggigit bibirnya sendiri, menahan amarah yang tak tahu harus diarahkan ke siapa. Dirinya? Delon? Atau dunia yang terus membuatnya merasa salah mencintai?
Ia berjalan menuju dapur, mulai memotong bahan masakan sambil menahan air mata. Setiap gerakan terasa mekanis, seperti robot yang hanya menjalankan perintah.
Tapi malam itu, saat semua telah sunyi, Aira duduk di tempat tidurnya dan menulis satu kalimat di buku catatannya:
“Aku harus pergi, sebelum aku benar-benar hilang.”
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidur sambil memeluk harapan kecil—bahwa mungkin, suatu hari nanti, ia akan benar-benar bebas.
Malam itu, Aira sudah menyiapkan meja makan dengan hati-hati. Tiga jenis lauk terhidang, semuanya masakan kesukaan Delon. Ia bahkan menyempatkan diri membeli bunga segar dan merapikan ruang tamu yang sudah lama dibiarkan berantakan. Dalam hatinya, masih ada sedikit harapan—mungkin Delon akan berubah, mungkin ia akan menyadari usahanya.
Sekitar pukul delapan malam, suara tawa keras terdengar dari luar. Pintu terbuka dengan kasar. Delon masuk, disusul oleh tiga wanita berpakaian mencolok. Wajah mereka asing, tapi mereka bertingkah seolah rumah itu milik mereka.
“Aira, mana makanannya? Kami lapar,” ujar Delon, tanpa memperkenalkan siapa pun.
Aira tertegun. Ia tidak menyangka Delon akan membawa teman sebanyak itu—apalagi semuanya perempuan.
“Ini sudah disiapkan,” jawab Aira pelan, berusaha tersenyum walau dadanya sesak.
Salah satu wanita melirik Aira dari ujung kepala hingga kaki, lalu berbisik sambil tertawa pada temannya. Delon ikut tertawa. “Kamu harus dandan lebih sering, Ra. Lihat mereka, baru enak dilihat.”
Aira menunduk. Kata-kata itu menusuk, tapi ia sudah terlalu sering mendengarnya. Ia melayani mereka makan, menyuguhkan minuman, bahkan membersihkan meja saat mereka tertawa keras dan membicarakan hal-hal yang membuatnya merasa asing di rumahnya sendiri.
Ketika semua tamu pergi, Aira mendapati dirinya sendirian di dapur, mencuci piring sambil menahan air mata. Delon duduk santai di sofa, memainkan ponselnya tanpa sedikit pun berterima kasih.
“Kalau kamu nggak betah, kamu bisa pergi,” katanya tiba-tiba, tanpa menoleh.
Kata-kata itu menghentikan tangan Aira. Ia berdiri kaku, punggungnya gemetar, bukan karena takut—tapi karena kesadarannya baru saja sampai pada titik akhir.
Dan malam itu, Aira tahu, ini bukan lagi tentang bertahan. Ini tentang menyelamatkan dirinya sendiri.
Setelah para tamu selesai makan, mereka tertawa keras di ruang tamu, membicarakan pesta akhir pekan dan tempat-tempat mahal yang tak pernah Aira datangi. Aira, seperti bayangan di rumah sendiri, sibuk membereskan meja makan. Ia membawa piring-piring kotor ke dapur dengan hati yang sudah terlalu sering diabaikan.
Delon masuk sambil membawa dua piring kotor terakhir. Tapi alih-alih meletakkannya di meja, ia melemparkan piring-piring itu ke lantai dapur dengan suara keras. Piring pecah berserakan, serpihan kaca meluncur ke dekat kaki Aira.
“Bersihin! Itu kerjaan kamu, kan?” bentak Delon, suaranya lantang hingga terdengar ke ruang tamu.
Aira terkejut. Ia menatap pecahan piring itu, lalu menoleh ke arah Delon. Matanya bergetar, bukan karena takut—tapi karena amarah dan rasa malu yang menumpuk jadi satu.
Salah satu wanita yang tadi datang ikut masuk ke dapur dan berdiri di ambang pintu. Ia tertawa pelan, menatap Aira dengan pandangan meremehkan.
“Dia ini pembantu atau pacar sih?” celetuknya sambil mengunyah permen karet.
Delon tertawa. “Pacar? Dia terlalu sensitif buat dibilang pacar. Tapi ya, selama dia mau nurut, nggak masalah.”
Aira menahan napas. Dadanya sesak. Tangannya gemetar saat ia mengambil sapu dan pengki, berlutut untuk mengumpulkan pecahan kaca. Ia bisa merasakan tatapan wanita itu di punggungnya, seperti menertawakan harga dirinya yang hancur berkeping-keping, sama seperti piring di lantai.
Tapi ia tetap menyapu. Bukan karena takut, bukan karena lemah—tapi karena ia tahu, ini akan jadi malam terakhir ia diperlakukan seperti ini. Ia hanya butuh satu dorongan terakhir untuk benar-benar pergi. Dan malam ini, Delon memberikannya.
Delon berjalan keluar dapur tanpa menoleh. “Cepat beresin. Nanti kita ngobrol soal siapa kamu sebenarnya di rumah ini,” ucapnya sinis.
Dan Aira tahu, ia tidak akan menunggu sampai percakapan itu terjadi.