Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 | Janji semu
"Gimana, Na? Ada yang bisa dibanting?" Tawa kecil terdengar saat seorang wanita dengan apron yang menutupi sebagian tubuh, dia datang dengan secangkir teh melati yang masih mengepulkan asap tipis.
"Cerita aja, kusut banget tu muka."
Wanita itu melepas topi lalu menatap gadis berseragam di hadapannya.
Alana menghirup napas dalam, lalu mencondongkan tubuh ke depan.
"Akhir-akhir ini aku ngerasa nggak enak badan. Kapan Tante free? Anterin aku ke dr. Rian bisa kan?" Tanpa menunggu lama, Alana langsung ke topik utama.
Mendengar itu, wajah wanita di hadapannya seketika berubah. "Na, sekarang apa yang kamu rasain? Tante bisa kapan aja anter kamu. Soal kafe biar dipegang yang lain dulu. Mau sekarang aja? Jangan ditunda-tunda, Na. Tante khawatir, Papa Mama mu udah tahu?"
Alana menggeleng pelan. Lalu dia mengetik sesuatu di ponselnya dan kembali menatap wanita itu.
"dr. Rian belom bales, kalo dia bisa ya kita ke sana sekarang. Tante nggak papa ninggalin kafe?"
Wanita itu mengangguk, lalu berjalan ke arah dapur.
Dia adalah Lidia, adik bungsu Hanna atau ibunda Alana. Sejak kecil, Alana memang lebih dekat dengannya karena sang mama lebih sibuk dengan bisnis dan berbagai kesibukan yang mengharuskan dia jarang ada di rumah. Begitu juga dengan Bastian atau papa Alana yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor. Berangkat pagi, pulang tengah malam. Bahkan tak jarang dia juga sering dinas ke luar kota hingga berhari-hari. Saat mereka pergilah, Hanna selalu meminta bantuan Lidia untuk menemani Alana di rumah.
Alana segera memperlihatkan ponselnya saat Lidia datang. Keduanya mengangguk lalu beranjak pergi.
"Pak Joko gimana, Tant? Takutnya dia ngadu kalo tahu." Alana menahan lengan tantenya sebelum mereka membuka pintu kaca.
Lidia hanya tersenyum lalu berjalan lebih dulu ke arah mobil milik kakaknya.
Setelah mengobrol sebentar, pak Joko keluar dan mengangguk saat Alana datang. Lalu dia kembali masuk dan membawa mobilnya pergi.
"Oke, beres. Yuk," ajak Lidia pada keponakannya yang masih terdiam.
Dalam perjalanan, Alana lebih banyak terdiam sambil mengamati lalu lalang kendaraan yang tak ada habisnya. Dia bahkan tak mendengar saat wanita di sampingnya berulang kali memanggil.
"Hei, jangan ngelamun. Mikirin apa sih? Cowok ya? Udah pacaran ya?" Goda Lidia membuat wajah Alana seketika cemberut masam.
Mereka kemudian mengobrol santai hingga mobil memasuki pelataran parkir rumah sakit. Sebelum membuka pintu, Alana kembali terdiam.
"Na, ayo." Lidia kembali menutup pintu saat gadis itu tak kunjung keluar.
"Aku takut, Tant." Alana menghela napas pelan.
Lidia mengusap lembut punggung gadis di sampingnya, dia memberikan nasehat dan kata penyemangat yang membuat Alana mengangguk lalu turun dari mobil.
Mereka melangkah ke arah ruang dokter yang dituju. Tanpa menunggu lama, keduanya sudah duduk berhadapan dengan seorang dokter yang tersenyum hangat melihat mereka.
"Alana, gimana kabarmu?" dr. Rian menatap gadis itu dengan kening berkerut.
"Aku baik-baik aja, dok." Jawaban Alana membuat dr. Rian tersenyum simpul. Dia bertanya hal yang sama pada Lidia. Lalu dia meminta Alana untuk berbaring di tempat tidur.
Setelah menjalani berbagai medical check up, Alana dan Lidia keluar untuk menunggu hasilnya. Mereka duduk di bangku tunggu sembari mengamati sekeliling.
"Na, bentar ya. Tante ke toilet dulu."
Setelah Lidia pergi, Alana membuka ponsel untuk menghilangkan kejenuhan yang membuatnya sedikit kesal.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara seseorang memanggil namanya. Alana mengangkat wajah dan mengangguk mengikuti orang itu masuk ke dalam ruangan.
Ponsel bergetar, sebuah panggilan masuk membuat Alana meminta ijin pada dokter di hadapannya. Setelah selesai, dia kembali duduk dan mendengarkan penjelasan tentang kondisi tubuhnya.
"Baik Alana, mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati. Jaga pola makan dan aktifitas fisikmu, jangan terlalu lelah. Kalau merasa tubuhmu mulai kurang fit, segera istirahat yang cukup. Oke, sampai di sini ada yang mau ditanyakan?"
Alana hanya menggeleng pelan. Perkataan dokter membuat hatinya sedikit gelisah, terlebih dia tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
"Jangan banyak pikiran, Na. Pulanglah, istirahat. Nanti kalau ada yang mau ditanyakan, kamu bisa hubungi saya. Oh ya, tolong obatnya dihabiskan ya." dr. Rian membukakan pintu dan menepuk bahu Alana pelan.
"Kamu gadis kuat, Na. Semua akan baik-baik saja." Bisiknya sambil tersenyum lalu melambai ke arah Lidia yang sudah menunggu di dekat pintu.
Di rumah, Lidia langsung menanyakan kondisi keponakannya. Dia begitu khawatir melihat wajah Alana yang lesu dan sedikit pucat saat keluar dari ruang dr. Rian tadi.
"I'm fine, Tante. Oh ya, jangan bilang Papa Mama soal ini ya, cukup kita bertiga yang tahu." Alana melangkah ke arah tangga dan mulai menapaki satu per satu sampai di lantai dua.
Dia segera masuk kamar, menguncinya lalu berteriak dengan mulut tertutup bantal.
Kata-kata dr. Rian kembali menari dalam benak, terlebih saat dia mengatakan jika kondisi ginjalnya sedang dalam masalah. Meski bukan masalah besar, namun perlu perhatian khusus mengingat dirinya hanya memiliki satu ginjal sejak lahir.
Kenapa? Kenapa harus aku, Tuhan? Kenapa aku nggak bisa normal seperti yang lain?
Alana menangis dalam diam, dia tak berani membaginya pada siapa pun termasuk tante Lidia yang begitu mencemaskan keadaannya. Dia juga sudah berpesan pada dr. Rian agar merahasiakan kondisinya.
Ponsel di tempat tidur bergetar, panggilan masuk dari mamanya membuat Alana buru-buru menghapus air mata.
"Halo, Ma?" Alana tersenyum saat panggilan video itu diterima. Wajah ibunya yang lelah terlihat di layar, membuat Alana merasa iba.
"Kamu di mana, Nak? Udah pulang? Maaf ya, Mama belum bisa pulang hari ini, kemungkinan besok atau lusa. Kamu mau dibawain apa, Sayang?" Hanna terlihat menunggu jawaban anaknya.
"Nggak usah, Ma. Yang penting Mama pulang dengan selamat itu udah bikin Alana seneng."
Mendengar itu, Hanna menitikkan air mata. Dia segera tersenyum, "Mama kangen kamu, Nak. Maafin Mama karena jarang di rumah ya."
Alana mengangguk, matanya mulai terasa panas.
"Ya udah, nanti lanjut lagi ya, Ma. Alana mau mandi, gerah banget nih." Alana sengaja mengalihkan topik agar air matanya tak terlihat oleh sang ibu.
"Oke, Sayang. Baik-baik kamu di sana ya, tunggu Mama pulang."
Sebelum ibunya menutup panggilan, Alana segera berkata lirih. "Ma, i miss you so much."
Hanna tak kuasa membendung air mata, "Mama juga rindu, Nak."
Alana menatap layar ponsel yang gelap seperti hidupnya selama ini. Gelap, sunyi dan kosong.
Rumah yang besar dan terbilang mewah, tak membuat hari-harinya berwarna, justru setiap menginjakkan kaki di rumahlah kekosongan dan perasaan hampa seketika datang menghampiri tanpa permisi.
Ponsel kembali bergetar, panggilan dari ayahnya.
"Halo, Pa?"
Alana mengangguk lalu menjawab setiap tanya yang ayahnya ucapkan, dia juga tersenyum kala ayahnya mengucapkan kata maaf sama seperti ibunya.
Alana merasa hambar oleh kata-kata itu. Kata yang selalu diucapkan dan kembali dilakukan setiap saat tanpa ada perubahan sedikit pun.
"Nanti Papa usahakan pulang cepat, Nak. Kamu jangan tidur dulu ya, Papa ada sesuatu buat kamu." Bastian tersenyum setelah mendengar jawaban anaknya. Dia meletakkan ponsel di meja kerja, lalu kembali berkutat dengan tumpukan dokumen yang tak ada habisnya.
*
jika berkenan mampir juga yuk ke karya ku.