"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Malam itu, langit di atas padepokan diterangi cahaya bulan yang pucat. Angin malam berembus pelan, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru saja tersentuh kaki-kaki kuda pasukan Adwapala siang tadi. Di pendopo utama, Lingga duduk bersila berhadapan dengan Argadhanu, sementara Mitha duduk agak di samping, matanya tajam menatap Lingga, seolah mencoba menelanjangi rahasia yang terselip di balik senyum santainya.
Argadhanu menghela napas panjang, sorot matanya penuh curiga namun tetap tenang. "Nak Lingga… aku harus bertanya terus terang. Siapa sebenarnya kau ini? Tak mungkin seorang prajurit biasa mampu menahan tebasan pedang Adwapala dengan tangan kosong… apalagi membengkokkan bilahnya."
Lingga menyandarkan punggungnya ke salah satu tiang pendopo, tangannya disilangkan di dada. Ia tersenyum kecil, tapi ada sorot gelisah yang samar di matanya. "Aku… cuma prajurit biasa dari Agniamartha, Paman," jawabnya pelan namun mantap. "Mungkin tadi hanya soal keberuntungan. Mungkin Adwapala tak mengerahkan seluruh kemampuannya."
Belum sempat Argadhanu membalas, Mitha yang sedari tadi menggigit bibirnya tiba-tiba menyela, nadanya tajam. "Kebetulan?" Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke depan, bola matanya membara. "Mana ada kebetulan seperti itu? Aku lihat sendiri! Kau bahkan tersenyum waktu menahan pedangnya! Prajurit biasa tak mungkin… bahkan Ayah pun bilang, kekuatan Jenderal Adwapala setara sepuluh prajurit elit!"
Lingga terkekeh, meski dalam hatinya ada sedikit getar. "Mungkin aku hanya… lebih beruntung hari ini," ujarnya, kali ini dengan nada bercanda. "Lagipula, siapa tahu jenderal itu sedang kurang tidur."
Argadhanu menggeleng pelan, wajahnya kini lebih serius. "Nak Lingga… aku sudah makan asam garam dunia persilatan. Aku tahu kekuatan saat melihatnya. Jadi, jangan rendahkan dirimu dengan dalih keberuntungan." Ia menatap Lingga dalam-dalam. "Katakan… siapa kau sebenarnya? Apakah kau utusan dari kerajaan lain? Atau… dari golongan yang selama ini bersembunyi dari dunia?"
Lingga terdiam. Di dalam dadanya, ada benturan antara keinginan untuk jujur dan kewaspadaan. Ia tak bisa mengatakan bahwa ia adalah manusia dari dunia lain—dunia modern yang bahkan tak bisa dibayangkan oleh mereka di depannya. Akhirnya, ia menarik napas dan menggeleng. "Aku… hanya orang biasa, Paman. Tidak lebih."
Argadhanu mendesah, lalu mengangkat kedua tangannya menyerah. "Kalau begitu, aku tak akan memaksa. Setiap orang berhak menyimpan rahasia."
Suasana sempat hening, hanya suara cengkerik malam yang menemani. Mitha menunduk, tampak kecewa, namun sesekali mencuri pandang pada Lingga.
Setelah beberapa saat, Argadhanu bersuara lagi. "Kalau begitu… aku ingin tahu, Nak Lingga, apakah kau berniat menetap di sini? Atau… hanya singgah sementara?"
Lingga menatap langit malam sejenak sebelum menjawab. "Untuk sementara… ya, aku ingin tinggal di sini. Aku juga merasa bertanggung jawab atas insiden tadi." Ia menoleh, sorot matanya kini penuh tekad. "Kalau Adwapala benar-benar kembali… aku tak akan tinggal diam. Selama aku di sini, padepokan ini tak akan disentuh oleh siapapun."
Mitha memandang Lingga dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdebar, tersentuh oleh keberanian pemuda itu. Ia menggenggam ujung kainnya erat-erat. "Lingga…" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Argadhanu menghela napas panjang, suaranya kini lebih lirih, penuh kelelahan. "Nak Lingga… aku bersyukur kau bisa mengusir Adwapala tadi. Tapi… kalau benar titah Raja Wesibuwono telah turun, aku… aku tak yakin bisa melawan. Kalau itu sudah kehendak Raja, padepokan ini… mungkin memang harus kurelakan."
Mitha mendongak cepat, air matanya hampir jatuh. "Ayah! Tidak adakah jalan lain? Kita tidak bisa menyerah begitu saja!" rengeknya, suaranya serak.
Argadhanu memejamkan mata, rahangnya mengeras. "Nak, Ayah bukan pengecut. Tapi menentang Raja… itu artinya menantang seluruh kekuatan kerajaan. Kita hanya segelintir orang. Apalah artinya padepokan kecil ini di mata Wesibuwono?"
Lingga menyipitkan mata, dadanya berdegup keras. Ia mengepalkan tangannya. "Dengan segala hormat, Paman Argadhanu… selama aku ada di sini, tak akan ada yang bisa menggusur tempat ini. Biarpun itu Raja sekalipun." Suaranya dingin, tapi tiap katanya menggetarkan malam yang hening.
Argadhanu menatap Lingga lekat-lekat. "Kenapa kau begitu peduli, Nak Lingga? Kita bahkan baru bertemu hari ini."
Mitha mengangguk pelan, suaranya kini lebih lembut, nyaris ragu. "Iya… kenapa, Lingga? Padahal kau… kau bahkan bukan orang sini…"
Lingga tersenyum miring, matanya menatap api pelita yang berkelap-kelip. "Tak ada alasan khusus. Aku hanya… tak suka melihat ketidakadilan. Aku benci melihat orang yang semena-mena hanya karena punya kuasa." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Dan… kupikir, untuk sekarang, aku belum punya tujuan lain di negeri ini. Jadi… mungkin ini cara semesta memberiku arah."
Mitha menggigit bibirnya, wajahnya memerah, antara kagum dan terharu. Argadhanu tersenyum tipis, ada rasa hormat yang tumbuh di dalam hatinya.
"Terima kasih banyak sebelumnya, Nak Lingga."
"Iya, aku juga beruntung bisa bertemu denganmu," imbuh Mitha dengan wajah yang mendadak merona merah.
Sejenak, angin malam berembus lebih kencang, membuat nyala pelita menari liar. Malam di padepokan itu terasa lebih hangat… karena kehadiran seseorang yang baru, namun telah menanamkan akar tekad di tanah mereka.
*