Ikhtisar :
Untuk menyelamatkan pesantren dari seorang mafia yang ingin menggusur pesantren yang bernama Jack Jatnika, Khalisa Amira rela menjadi istri Jack sekaligus menjadi budaknya. Tapi siapa sangka Khalisa bukan wanita biasa, yang menerima apa yang terjadi padanya. Jack terkejut saat mengetahui masa lalu Khalisa, bahkan dialah tunduk padanya. Taktik apa yang Khalisa gunakan untuk menaklukkan mafia kejam sepertinya itu ?
Baca selengkapnya !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah Mayaddah f, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Tarpisah Dari Orang Yang Tercinta
“Karena aku tangan kanannya seorang mafia besar, apa yang aku lakukan saat ini melanggar aturan markas besar” Jawab Nazir, wajahnya menggambarkan sebuah penyesalan dan dia hanya bisa berandai-andai
“Andai hidupku dulu adalah orang yang baik hari ini aku akan merasa bahagia bersama anak serta istriku, dan kita akan baik-baik saja. nasi sudah menjadi bubur, aku menuai apa yang telah aku tanam dulu” Batin Nazir, andaikan dulu dia seorang yang baik mungkin hidupnya akan tenang dan damai. Tidak aka nada rasa takut dan merasa khawatir yang terus saja menghantuinya, dia bisa menikmati kebersamaan bersama istri dan anak-anaknya.
“Tangan kanan mafia besar ?” Tanya Mayaddah terkejut, dia tampak syok mendengarnya.
Mayaddah tidak pernah tahu siapa Nazir yang sebenarnya, Nazir sangat baik dan sholeh seperti itulah di matanya sampai saat ini. Tangan Mayaddah dingin, wajahnya pucat dan air matanya terus menetes tanpa henti.
“Dulu aku seorang penjahat, aku bukan orang yang baik. Aku sangat menyesal Maya” Ucap Nazir, beribu-ribu kali dia menyesali perbuatannya tetap saja dia menuai apa yang sudah di lakukannya di masa lalu.
“Abi ! Abi !” Kedua anaknya hanya bisa menangis, mereka belum memahami apa yang sedang terjadi. Hanya rasa takut akan berpisah dan di tinggalkan.
“Abi sangat sayang Khalisa, Akhenda dan uma” Ucap Nazir sambil membelai kedua wajah anaknya
“Abi, hiks hiks hiks” Kedua anaknya masih menangis
“Siapa yang akan membantai kita abi ?” Tanya Mayaddah
“Mereka, mereka yang akan membantai kita. Aku sudah memutuskan berhenti dan bertobat dan itu melanggar sumpah dan janjiku untuk setia lalu aku di sebut penghianat dan harus di musnahkan” Jawab Nazir, kepalanya menunduk. Dia tidak berani menatap mata sendu istrinya, wanita yang sangat dia cintainya.
Mayaddah menangis, dia harus bangun dari mimpi indahnya dan meilhat kenyataan pahit yang ada di depannya.
“Pergilah sekarang uma, aku mohon selamatkan anak-anak kita” Titah Nazir sambil berlutut di depan Mayaddah, memohon agar sang istri mau membawa pergi kedua buah hati mereka.
Mayaddah mendekat dan memeluk suaminya.
“Abi” Ucap Mayaddah
Nazir membalas pelukan istrinya untuk terakhir kalinya, dia begitu mencintai wanita yang ada dalam pelukannya.
“Aku sangat mencintaimu Mayaddah” Ucap Nazir
“Aku juga sangat mencintaimu abi” Jawab Mayaddah
Suasana di ruangan itu penuh haru, ada sebuah pepatah kalau ada pertemuan pasti ada perpisahan. Tapi perpisahan kali ini sebuah dampak dari apa yang sudah di tanam Nazir di masa lalunya. Mayaddah berlari membawa kedua buah hatinya, meninggalkan tempat itu sejauh mungkin. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada suaminya, yang ada di pikirannya saat ini bagaimana menyelematkan anak-anaknya.
Hari itu Mayaddah membawa kedua anak-anaknya keluar jawa, dia membawa anak-anaknya pergi ke kota Aceh. Di sana Mayaddah memiliki seorang teman, mungin hanya di sana tempat yang paling aman untuk bersembunyi dan membesarkan anak-anaknya.
Waktu terus berputar, tak tersa sudah 6 bukan Mayaddah dan kedua anaknya tinggal di Aceh. Mayaddah duduk di teras rumah, dia melihat anak-anaknya bermain. Meski mereka masih sering menanyakan abinya, tapi mereka bisa mengerti situasi yang sedang menimpa kedua orang tuanya. Mereka tumbuh seperti anak-anak lainnya, hanya hati Mayaddah yang masih sangat terluka.
“Abi, bagaimana kabar kamu ?. apa abi masih hidup atau sudah pulang ke rahmatullah ?” Ucap Mayaddah dalam hati, matanya berkaca-kaca teringat suaminya yang entah sepserti apa sekarang.
“Khalisa, Akhenda udahan mainnya” Titah Mayaddah
“Iya uma” Jawab keduanya,
Meraka melangkahkan kakinya menghampiri Mayaddah, baru akan memasuki rumah tiba-tiba terjadi gempa yang cukup besar. Mereka langsung panik dan berlari menjauh dari rumahnya.
Bruuuuk …
Rumah kayu itu ambrukterkoyak gempa yang cukup besar.
“Uma rumah kita” Seru Khalisa dan Akhenda
Mayaddah terdiam, dia jutru mengkhawatirkan sesuatu yang lain dengan gempa bumi itu. Mayaddah merasa resah dan gelisah.
“Tsunami, Tsunami” Semua orang berteriak dan berlarian ke sana kemari
Air laut yang tadinya tenang, kite terlihat sedang mengamuk. Memporak-prandakan hati-hati yang serakah dan sombong seperti bangunan-bangunan yang kokoh dan mewah. Menghancurkan segala nafsu dan ambisi serta meratakan yang kuat dan yang lemah. Dimana sebuah air yang menunjukkan kekuasaan Allah yang begitu besar dan nyata.
“Lari” Teriak Mayaddah menyuruh kedua anak-anaknya untuk berlari secepat mungkin
“Uma” Teriak Khalisa dan Akhenda yang ketakutan
Air laut terus meluap semakin tinggi dan mendorong penghalang, dia menunjukkan kehebatannya melahap apa pun yang ada di depannya. Semua atas izin Allah subhanahu wata’ala.
Khalisa, Akhenda dan Mayaddah terendam air.
“Uma ! Uma !” Teriak Akhenda dan Khalisa yang berusaha menyelamatkan diri dari gelombang air
“Akhenda ! Khalisa !” Teriak Mayaddah bersusah payah berenang kea rah kedua anaknya, namun apa daya kekuatan air tak mampu di lawan oleh mereka.
*****
1 minggu kemudian, Khalisa hanya anak kecil yang sebatang kara sama seperti anak kecil lainnya. Mereka sudah tidak memiliki keluarga, semua keluarganya mati di lahap tsunami. Mereka kini hanya anak kecil yang mengalami trauma yang menakutkan, kehilangan semua anggota keluarga.
Khalisa hanya diam bersama anak kecil lainnya, meratapi kesedihan dan penderitaan yang mereka alami. Seiring pulihnya tempat itu, Khalisa dan puluhan anak kecil yang lainnya yang di pindahkan dari Aceh. Ikut dengan orang-orang yang mengaku sebagai pahlawan kemanusiaan, mereka di bawa meninggalkan Acek dan pergi ke kota Jakarta.
“Khalisa, perutku lapar” Keluh Seseorang anak kecil di samping Khalisa. Dia bernama Ruby tema Khalisa selama mengemis dan mengamen di jalanan.
“Kita tidak bisa makan sebelum mendapatkan uang Ruby” Jawab Khalisa, dia dan puluhan anak kecil lainnya harus mengisi perut-perut kelaparan. Tak jarang mereka di siksa karena tidak mendapatkan uang dari mengamen.
“Aku lemes khal, aku gak kuat jalan lagi” Keluh Ruby
“Kita minum air aja ya ?” Tanya Khalisa, dia dan puluhan anak lainnya kerap mengganjal perutnya dengan air kran yang ada di tepi jalan
Ruby mengangguk, mereka tidak memiliki orang tua dan datangnya sang pahlawan pun seperti mimpi buruk untuk mereka. Kedua anak kecil dengan perut laparnya harus meminum air kran yang mentah dan tidak bersih, itu hanya untuk mengisi perut apar mereka.
“Khalisa, kalau kita seperti ini terus kita akan mati kelaparan” Ucap Ruby sambil duduk di bawah pohoh, tubuh mereka sudah lemah dan sakit
Khalisa terdiam, ingin rasanya pergi jauh membawa semua teman-temannya. Dia tidak tega melihat teman-temannya seperti itu, Khalisa sudah menganggap mereka seperti keluarga.
“Khalisa” Seorang anak laki-laki menghampiri Khalisa, dia bernama Rian seusia Khalisa
“Kenapa Rian ?” Tanya Khalisa
Rian mengatur nafasnya, dia berdiri di depan Khalisa.
“Kita bisa bebas dari sini” Jawab Rian
“Bagaimana caranya ?” Tanya Khalisa, dia dan teman-temannya sudah berusaha kabur tapi tetap saja kembali tertangkap.
“Ada orang yang ingin menyelamatkan kita dan memberi kehidupan lebih baik dari ini, kita semua akan bebas” Jawab Rian
Ruby tampak senang sedangkan Khalisa hanya diam berpikir.
“Apa itu aman untuk kita semua ?” Tanya Khalisa
“Aman, Kiko sudah ikut lebh dulu sebelum kita. Itu sebabnya Kiko mengajak kita ikut bersamanya” Jawab Rian
Khalisa terdiam, dia memang ingin bebas khususnya untuk teman-temannya. Khalisa ingin mereka mengarasakan kembali kebahagiaan.
“Ayo kita pergi sebelum anak buah mereka tahu” Ajak Rian
Khalisa masih terdiam, dia di segani oleh teman-temannya sebagai seorang panutan.
“Khal, ayo kita pergi” Ucap Ruby merengek sambil memegang tangan Khalisa
“Tapi …” Khalisa merasa ragu
“Ini kesempatan untuk kita bisa kabur” Ujar Rian, dia sudah Lelah hidup dalam penjara orang-orang yang di sebut pahlawan itu
Khalisa mengaguk ragu, dia dan teman-temannya mengikuti mengikuti orang itu yang memberikan janji manis. Tanpa sedikit pun kecurigaan, hanya Khalisa yang ragu dari beberapa anak yang ikut bersamanya. Mereka naik ke dalam mobil dan di bawa pergi entah kemana.
*****
Beberapa bulan berlalu, Khalisa dan teman-temannya ada di dalam ruangan yang bisa di bilang seperti sel. Ruby terus menerus menangis sedangkan anak-anak yang lainnya merasa ketakutan.
“Nasib kita lebih buruk dari sebelumnya” Keluh Rian
Khalisa terdiam, rasanya sakit saat melihat teman-temannya terkurung. Beberaap temannya entah dibwa kemana, dari berita yang seliweran mereka ada yang di jual ke luar negeri, ada yang di angkat budak, ada yang di jadikan untuk pendonor organ.
Khalisa menghampiri Rian, dia menarik kerah bajunya.
“Kamu bilang kita akan lebih baik ?, nyatanya kita hanya di jadikan seperti binatang. Bahkan teman-teman kita yang lainnya entah di bawa kemana” Sarkas Khalisa, dia benar-benar sudah marah besar. Dia dan teman-temanya sudah percaya pada Kiko, tapi justru di khianati olehnya.
Kiko hanya diam dan menunduk, dia merasa sangat bersalah pada Khalisa dan teman-teman yang lainnya.
“Kiko, kamu penghianat” Sarkas Rian kesal, kemuadian dia menarik Kiko dari tangan Khalisa dan hendak memukulnya dan untung saja Khalisa menghentikan apa yang akan di lakukan Rian
“Sudah Rian” Gertak Khalisa
Rian terdiam, dia menepi lalu menangis. Khalisa mengepalkan tangannya, keadaaan di tempat itu semakin buruk dari waktu ke waktu. Satu per satu temannya entah di bawa kemana, dia dan teman-teman lainnya seperti binatang peliharaan.
Pada suatu hari Khalisa sudah Lelah, apalagi keadaan Ruby terus memburuk. Dia sering sakit sedangkan orang-orang yang menculik mereka tidak ada yang peduli.
“Aku ingin bebas, aku ingin keluar dari sini Khalisa. Aku ingin melihat matahari” Ucap Ruby sambil memegang tangan Khalisa
Khalisa menangis, teriris hatinya mendengar permintaan Ruby. Dia rela berada di tempat itu selamanya asalkan teman-temannya di bebaskan.
“Uma ! Abi ! Akhenda” Khalisa teringat keluarganya yang entah masih hidup atau tidak. Tangisnya pecah padahal selama ini Khalisa berusaha menahannya agar teman-temannya tidak bersedih, dan sekarang dia berada di titik terlemah.
Brug …
Seorang penjaga meletakkan daging dengan tulang belulang dengan piring yang sudah di masak ke dalam ruangan selnya Khalisa.
“Asyik kita makan !” Seru Teman-teman Khalisa menghampiri piring besar itu dan makan dengan lahap, mereka hanya tahu makan dan minum. Tempat itu membuat mereka lupa arti sebuah kehidupan.
Khalisa hanya menatap piring kosong yang menyisakan satu tulang.
“Khalisa kamu tidak makan ?” Tanya Rian
Khalisa hanya menggelengkan kepalanya, perutnya yang lapar bukan lagi tujuannya. Tangannya mengepal, dia meraih tulang itu dan mengigitnya hingga menjadi runcing.
***
Beberapa bulan berlalu, Khalisa mulai merencanakan sesuatu dengan semua teman-temannya yang di dalam sel. Di penampungan itu sangat banyak anak-anak yang di kurung, dia mengatur rencana meski pun sering kali gagal hingga tak terasa tahun pun berganti. Khalisa menjadi yang di tuakan di tempat itu.
Kini Khalisa genap berusia 13 tahun, dia sudah tumbuh dewasa. Waktu membuatnya banyak belajar dari rasa sakit, kehilangan, rasa rindu, air mata dan penderitaan sudah kenyang di rasakan selama ini. Khalisa yang sekarang menjadi gelap dan berambisi, tidak ada lagi air mata karena air matanya sudah mengering selama di sana.
“Pak, tolong aku” Ucap Khalisa memanggil penjaga sel
“Mau apa ?, kabur ?”
#Apa yang akan Khalisa lakukan untuk dapat kabur dari sana ?#
#Akankah dia berhasil dalam misinya untuk kabur dari neraka itu ?#