Sekuel dari novel Cintaku Dari Zaman Kuno
Azzura hidup dalam kemewahan yang tak terhingga. Ia adalah putri dari keluarga Azlan, keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negara Elarion. Namun, dunia tidak tahu siapa dia sebenarnya. Azzura menyamar sebagai gadis cupu dan sederhana semua demi kekasihnya, Kenzo.
Namun, tepat saat perkemahan kampus tak sengaja Azzura menemukan sang kekasih berselingkuh karena keputusasaan Azzura berlari ke hutan tak tentu arah. Hingga, mengantarkannya ke seorang pria tampan yang terluka, yang memiliki banyak misteri yaitu Xavier.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecupan Singkat
Cahaya keemasan menyinari ruang dimensi milik Zanaya. Tempat itu seperti alam dari dunia lain langitnya ungu kehijauan, penuh aura magis, dengan danau spiritual yang jernih memantulkan cahaya dari kristal-kristal mengambang di udara.
Tanaman-tanaman berkilau, angin semilir yang hangat, dan aroma bunga roh yang samar membuat tempat ini terasa sakral, damai dan kuat. Serta mansion yang berdiri megah.
Azzura berdiri terpaku di tengah rerumputan lembut.
“Wah ini tempat rahasia Mommy?” katanya kagum, matanya berbinar menatap ke sekeliling.
Zanaya tersenyum lembut, berdiri di samping putrinya dengan pakaian tempur warna putih yang elegan. “Ini bukan sekadar tempat latihan, sayang. Ini ruang yang hanya bisa diakses oleh penyihir dari garis keturunan kita. Dan sekarang, kamu cukup kuat untuk memasukinya.”
Azzura menoleh, masih terpana. “Serasa masuk dunia lain, Mom.”
Dari dekat danau spiritual, terdengar suara kunyahan popcorn.
Azay, sang penjaga dimensi yang ceria dan suka nyeleneh, duduk santai di atas batu spiritual sambil mengayun-ayunkan kakinya. “He! He ... ayo-ayo! Ibu dan anak bentrok gaya! Aku taruhan Nyonya Zanaya masih unggul, walau nona Azzura mulai jago juga.”
Zanaya menoleh sejenak dan berkata tanpa emosi, “Popcornmu mengganggu aura meditasi, Azay.”
“Ups.” Azay cengengesan dan mengunyah pelan-pelan.
Zanaya kemudian menatap Azzura lagi. “Sekarang, fokus. Gabungkan elemenmu dengan teknik bela diri. Mulai dari elemen angin.”
Azzura mengangguk. Ia menarik napas panjang, merentangkan tangannya, lalu mengayunkan kaki ke depan. Seketika, angin berputar melingkari tubuhnya seperti pusaran lembut. Dalam satu gerakan lincah, Azzura melompat ke udara, menendang ke arah sasaran kristal yang melayang, menghantamnya dengan angin yang terarah.
Crack!
Kristal itu pecah menjadi debu bercahaya.
Zanaya mengangguk puas. “Bagus. Sekarang gabungkan dengan elemen api.”
Azzura menarik tangan kanannya, membentuk bola api. Dengan gesit ia berputar, melempar bola api itu, dan saat api meluncur, Azzura menyusul dengan teknik pukulan tangan kosong, mengarahkan tinjunya tepat setelah ledakan terjadi.
Boom!
Ledakan kecil mengguncang tanah.
“Woooo!! Itu dia!” Azay bersorak sambil menjatuhkan popcorn. “Nona Azzura makin keren!”
Azzura terengah sedikit, keringat mulai menetes di pelipisnya. Ia tersenyum, puas dengan hasilnya.
“Apa sekarang elemen tanaman?” tanyanya.
Zanaya mengangguk. “Tapi yang ini lebih sulit. Elemen tanaman adalah tentang kontrol, bukan ledakan. Rasakan aliran hidupnya.”
Azzura menutup mata, menenangkan diri. Tiba-tiba dari tanah, akar-akar halus merayap perlahan mengikuti gerakan tangannya. Bunga-bunga spiritual tumbuh saat dia menari, ranting muncul dan membentuk pelindung alami di sekelilingnya.
Saat Azzura membuka mata, Zanaya menatapnya dengan bangga. “Kamu cepat belajar.”
Azzura tersenyum. “Aku punya guru terbaik.”
Zanaya menyentuh kepala putrinya. “Dan kamu akan jadi penyihir terkuat di generasimu.”
Azay mengangkat popcorn tinggi-tinggi. “Untuk Azzura, penyihir paling kece se-alam dimensi!”
Azzura tertawa kecil.
"Ayo! Lanjutkan latihanmu sayang, kau harus menguasai elemen tanamanmu baru kita lanjut lagi," kata Zanaya tegas namun lembut.
Azzura mengangguk kembali menenangkan pikirannya. Lalu kembali pohon-pohon bergetar.
Belum sempat Azzura mengatur napas usai menyelesaikan pengendalian elemen tanaman, tiba-tiba Zanaya melompat ke arahnya. Tanpa peringatan.
“Bersiaplah!” seru ibunya.
“Apa—”
Whusss!
Sebuah tebasan angin tajam melesat ke arah Azzura. Refleks, gadis itu melompat ke belakang, membentuk tameng dari akar dan dedaunan untuk menahan serangan. Tanah bergemuruh, angin berdesir kencang, dan hawa panas mulai muncul di antara mereka.
“Mom?!” Azzura berseru, kaget tapi matanya menyala bersemangat.
Zanaya berdiri tegak, matanya tajam. “Kau sudah bisa mengendalikan elemen. Tapi kau belum siap menghadapi musuh nyata, sampai kau bisa membaca niat lawan.”
Azzura mengepalkan tangan. “Kalau begitu, aku akan buktikan padamu!”
Azay, yang duduk santai di atas batu spiritual, langsung duduk tegak, popcornnya jatuh berserakan.
“Oke, oke, ini makin panas! Duel ibu-anak berdarah murni! Aku harus siapkan bantal!”
Pertarungan pun dimulai.
Zanaya menyerang cepat, menggunakan angin untuk mempercepat gerakan tubuhnya, lalu menggabungkan api di telapak tangan.
Azzura menangkis dengan akar-akar tebal, lalu membalas dengan serangan pusaran angin miliknya sendiri. Keduanya bergerak lincah, menari di tengah ladang magis penuh energi spiritual.
Tendangan Zanaya melesat, namun Azzura menghindar dan menendang balik dari bawah. Terdengar suara tendangan.
Dugh!
Lalu mereka terpisah beberapa meter, saling mengukur kekuatan satu sama lain.
“Aku tidak akan kalah darimu, Mom!” seru Azzura, napasnya teratur meski cepat.
Zanaya tersenyum tipis. “Bukan soal kalah atau menang, tapi seberapa tangguh kau melindungi yang kau cintai.”
Azzura mengangkat tangan ke atas. Keempat elemennya angin, api, dan tanaman serta cahaya mulai berpadu dalam satu gerakan.
“Kalau begitu, aku akan tunjukkan semua yang kupelajari darimu!”
Seketika, pusaran angin tercampur dengan kelopak-kelopak bunga menyala api mengepul di sekitar tubuh Azzura. Ia melesat ke arah ibunya, dan keduanya saling bertabrakan bukan dengan niat saling melukai, tapi sebagai ujian kekuatan dan kemauan.
Duaarr!
Ledakan energi membumbung ke udara, membuat Azay harus melompat ke belakang. “Whoa!! Aku gak nyangka pertarungannya bakal se-sengit ini!”
Saat debu dan cahaya mulai mereda, terlihat Azzura dan Zanaya berdiri berseberangan, napas tersengal, tapi keduanya tersenyum.
Zanaya melangkah pelan, lalu menepuk pundak putrinya. “Kau lulus, Azzura. Tapi kau harus tahu pertarungan di luar sana jauh lebih kejam dari ini.”
Azzura mengangguk pelan. “Tapi kali ini, aku siap.”
Azay dari kejauhan berseru, “Wuhuuu! Kalian berdua beneran kayak pinang dibelah dua! Sama-sama cantik, kuat, dan bikin gemetar tanah!”
Zanaya hanya tersenyum kecil, sedangkan Azzura tertawa geli.
“Terima kasih, Mom,” bisik Azzura.
“Selalu,” jawab Zanaya. “Kau adalah harapan kita dan dunia ini belum tahu siapa kau sebenarnya.”
Dan di bawah langit dimensi magis itu, mereka berdua ibu dan anak, guru dan murid melanjutkan latihan mereka, mempersiapkan Azzura untuk takdir besar yang menantinya.
****
Setelah latihan intens bersama ibunya di ruang dimensi, Azzura akhirnya bisa menikmati mandi air hangat yang menyegarkan tubuh dan pikirannya.
Butiran air masih menetes di ujung rambutnya saat ia melangkah keluar dari kamar mandi, mengenakan piyama santai dan membenahi handuk kecil di tangannya.
Namun langkahnya langsung terhenti.
Matanya membulat sempurna.
Seseorang sedang duduk santai di ranjangnya lebih tepatnya, setengah berbaring dengan satu tangan menumpu kepala, tampak seperti pria yang benar-benar tak tahu aturan.
"Xavier?!" seru Azzura, wajahnya memerah antara malu dan marah. "Apa yang kamu lakukan di sini?!"
Xavier mengangkat alis santai, menatapnya seolah hal ini biasa saja. "Hanya mampir sebentar. Aku merindukan Luna-ku."
Azzura mendengus, menghampiri dengan langkah cepat dan menunjuk ke arah pintu. "Dasar gombal! Kau tahu nggak ini kamar anak gadis? Gimana kalau Mommy atau Daddy-ku tahu?! Bisa-bisa kamu dibakar hidup-hidup!"
Xavier terkekeh pelan, lalu perlahan bangkit dari ranjang. “Tapi bukankah kau juga sedikit merindukanku?”
Azzura memutar bola matanya. “Yang aku rindukan itu kamar yang tenang tanpa manusia gila masuk sembarangan.”
Xavier berjalan menuju pintu dengan langkah malas. “Baiklah, baiklah. Aku pergi sebelum aku disulap jadi arang oleh mertuaku.”
Namun sebelum ia membuka pintu, dengan kecepatan luar biasa, Xavier memutar tubuhnya dan memberikan kecupan cepat di pipi Azzura.
Cup!
Azzura membeku di tempat. Mata hijaunya membelalak.
“Xavier!!” serunya dengan suara tinggi.
Tapi pria itu hanya tertawa, melambaikan tangan sebelum menghilang secepat kilat lewat balkon.
Azzura berdiri terpaku di tempat. Wajahnya kini benar-benar merah padam.
“Dasar pria gila tidak tahu malu,” gumamnya pelan, menyentuh pipinya yang masih hangat.
Tapi di balik omelannya, senyum tipis tanpa sadar mulai muncul di sudut bibirnya
🌹 ☕ 4u..