NovelToon NovelToon
Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Status: tamat
Genre:Toko Interdimensi / Tamat
Popularitas:336
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.

Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:

Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.

Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian l : seorang wanita yang hilang. Jangan cari aku, aku hilang

Aku tidak pernah menyangka, bayangkan ini muncul setelah sekian lama seolah-olah aku menemukan buku tua yang dipenuhi debu ketika menyelami ruangan perpustakaan kuno disuatu tempat. Sepertinya juga, berbau tajam, kuno, apek dan banyak debu. Tidak suka, jelas sekali muncul dalam benak, dan sepertinya, aku membuangnya saja, takut mengotori tanganku. Kemudian, apa yang terjadi? Aku meninggalkannya dan membuangnya agar tidak memenuhi tempat-tempat.

Buku-buku kuno yang perlahan-lahan dihapus waktu, dihancurkan para serangga dan dikubur debu memang layak untuk dibuang, sama halnya juga dengan tubuh yang Kalian miliki. Jika kalian merasa tidak perlu, hanya perlu membuangnya. Jangan takut, jika Kalian memiliki keyakinan yang kuat untuk melakukannya.

Jika kalian sudah melakukannya, kalian tidak akan bisa kembali. Pintunya sudah ditutup. Tidak boleh ada penyesalan yang muncul, sebab penyesalan itu akan menggerogoti hati yang telah lama dipupuk dan keyakinan yang bersusah payah dibangun.

Mengapa orang memilih bunuh diri? Jelas sekali, mereka tidak butuh tubuh ini. Tidak butuh orang-orang disekitarnya dan tidak butuh bumi ini yang sering diperebutkan dari abad pertama. Semuanya adalah mereka yang sadar jika hidupnya tidak layak untuk dijalankan lagi.

Orang lain tidak akan bisa memperjuangkan mereka. Untuk apa memperjuangkan buku-buku yang usang dan penuh dengan lubang-lubang? Lebih baik, hancurkan saja, bakar saja supaya bisa menghangatkan tubuh-tubuh disekitarnya. Dan siapa tubuh-tubuh di sekitar? Tentu saja, orang-orang yang dimaksud keluarga, kekasih atau bahkan orang jauh yang hanya lewat saja, tapi memiliki ikatan.

...****...

Dua bulan yang lalu adikku meninggal, ditemukan gantung diri menyebabkan lehernya memiliki garis merah, menyulut api kebencian, kemarahan dan kebingungan diantara semua keluarga. Apa yang menyebabkannya mengambil tindakan itu? Apa dia sedang sakit?

Hati seluruh keluarga menjadi abu-abu, tapi hanya satu yang tidak merasakannya. Jauh sekali, diperkotaan yang penuh kebisingan, namun kebisingan itu tidak mampu mempengaruhi telinganya yang terbuka. Dia benar-benar pandai menjaganya. Alih-alih berpikiran aneh, aku menduga gadis kecil itu hanya coba-coba bunuh diri, dan hasilnya ternyata bunuh diri beneran. Ternyata rasa penasaran membunuhnya. Ini hal biasa bukan? Tapi aku merasa terhibur karenanya.

Tapi sayang sekali aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. Tidak apa-apa, semoga dia bisa bertemu dengan para dewa dialam dewa.

Tapi, mungkin saja seluruh keluarga tidak akan menangis jika aku pergi, jauh dari rumah atau bahkan dunia ini, hanya karena mencoreng nama baik keluarga. Nama keluarga itu penting, tapi... Ayolah, itu hanya sebagai jenis huruf yang disusun, tidak hidup, tidak memiliki perasaan apa pun, bahkan hubungan darah.

Jika itu mati, kalian akan baik-baik saja.

Namun jika semua orang dikeluarga berpikir seperti itu, orang lain akan menyebutnya aneh dan tidak menghormati kepintaran leluhur yang dengan sudah payah memeras seluruh isi otak mereka untuk membuat huruf-huruf itu, hingga ketahap ini.

Deretan huruf yang dapat mengantarkan kerinduan seseorang, perasaan yang tersimpan lewat huruf-huruf dan usaha untuk melakukannya. Namun... untuk apa kita memikirkannya? Jagan terlalu dipikirkan ya. Ini adalah kata-kata omong kosong dari orang yang ingin hidup, merasakan keindahan dari sudut pandang lain. Ingat, aku tidak gila, aku bersuka cita karena kecerobohan seorang adik yang periang itu. Kamu pastinya bertanya mengapa aku bersuka cita? Tentu saja aku menertawakan kecerobohannya, seperti melihat anak kecil yang melakukan kesalahan dan itu lucu. Aku aneh? Aku gila? Itu adalah orang-orang yang tidak pernah benar-benar memahami dunia. Tapi, ingat jangan pernah memahami dunia. Dunia itu kejam ya.

Para petani harus memotong tubuh sayur untuk dimakan, peternak harus membudak, membunuh hewan peliharaannya. Para pekerja diperas untuk bekerja hingga batas kemampuannya dan dikendalikan orang diatas dengan kata-kata, ‘begitulah dunia harus bekerja.’ Para nelayan dan semuanya, mereka adalah pembunuh, penjahat dan bahkan aku yang menulis cerita ini untuk membuat kalian membacanya dan tertarik. Tulisannya tidak baik dan tidak berguna untuk kehidupan kalian, jadi jangan pernah menganggapnya serius. Anggap saja aku seorang kesepian yang mencari perhatian dengan menulis seperti ini.

Di dunia ini aku hidup damai, kemudian menikah dan kami membuat kesepakatan untuk tidak saling mencampur urusan satu sama lainnya, bukan karena dijodohkan, tapi itulah dunia kami, dunia yang aneh juga unik.

Suamiku bekerja dan pulang hanya untuk tidur. Aku selalu menulis di ruangan kerja tanpa menyadarinya pulang. Tentu karena dia tidak selalu menyapaku. Dia tidak bertanya mengapa aku tidak pulang menyaksikan pemakaman adikku. Jika pun dia bertanya seperti itu, maka aku akan menjawab, untuk apa mengistimewakan sisa-sisa kehidupan yang sudah tidak berguna? Perlu tanam saja, supaya berguna untuk tumbuhan dan tanah, buang semua Fotonya dan anggap dia tidak ada. Mengapa? Karena dia benar-benar sudah pergi. Jika kamu punya manisan dan kamu sudah memakannya, apa kamu akan mengenang pembungkusnya? Jangan pernah menjadi bodoh. Bakar saja, itu bisa menghidupkan api, menghangatkan tubuh. Tapi kemudian orang bertanya, ini kan manusia? Manusia punya perasaan. Kamu tahu, karena perasaan itu yang membuatmu menderita. Karena sebuah perasaan akan muncul, lalu menjadi sisa-sisa, dan ini menjadi kenangan dan kenangan ini akan menumpuk didalam diri manusia, dibawahnya hingga mati. Oleh sebab itu, gadis kecil yang belum mengalami banyak perasaan akan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik, karena dia tahu kapan harus membuang hal-hal yang tidak berguna.

Foto yang kamu simpan hanya akan menyisakan kenangan yang menyakitkan.

Aku mulai teringat ibu saat ayah meninggal. Dan hidupnya menjadi muram seperti seorang pelukis yang melukis tanpa perasaan. Itu indah, tapi menyedihkan.

Ibu, oh ibu. Kau benar-benar harus menyimpan banyak sampah didalam dirimu sehingga itu membuatmu kesulitan berjalan. Saat kamu membakarnya kamu pun ikut terbakar.

Karena perasaan, orang hidup menyedihkan, semakin berusaha mengingatnya, semakin pula tersiksa. Beberapa orang menikmatinya, tapi itu bukan aku. Aku yang hidup sendiri dan membuang semua sisa-sisa kehidupan sebelumnya.

Aku hidup, tapi sejujurnya aku kosong seperti satu buku yang belum dituliskan. Mungkin aku harus menulis dengan hati-hati agar tidak hancur. Tapi aku merasa juga bukan buku kosong seperti itu.

Hidupku mungkin sudah hancur dan keluargaku membuangku tanpa perasaan apa pun. Mudah ya, membuang orang yang menurut mereka tidak layak untuk dikenang, tapi mereka kesulitan membuang perasaan-perasaan sampah didalam diri mereka. Di sini, siapa yang menyedihkan? Aku atau keluargaku?

Aku menikah diusia muda, bukan karena cinta, bukan karena harta, tapi janji. Saat malam pernikahan kami, aku berkata, “Tolong ya, tempatkan sisa kehidupanku di desa, di bawah kebun bunga yang banyak. Aku ingin menumbuhkan bunga-bunga yang indah yang menarik para serangga cantik.”

Dia hanya mengangguk waktu itu, tanpa bertanya dan membuat ekspresi. Entah mengapa, aku merasa dia benar-benar orang yang selaras denganku, menerimaku apa adanya tanpa banyak bertanya seperti tumbuhan yang senang tiasa menerima hujan meksipun mereka sudah kedinginan.

Aku tidak merasa aneh dan ibu juga bilang begitu.

Ketika aku kecil, aku sering menangkap jangkrik dikebun, disore hari yang terang dan dibawah cahaya matahari kuning yang menyala. Kemudian meletakkannya didalam toples. Memberinya lubang dan beberapa halai daun. Juga meletakkan cangkir kecil yang dipenuhi air.

Malam harinya, aku duduk, menghadap toples itu, mengamati jangkrik yang hinggap di atas daun yang kutaruh sebelumnya, mengamatinya, dan ketika ia mulai mengeluarkan suara, aku memejamkan mata, merenung dan berpikir apa maksud dari suara yang dikeluarkannya.

Aku melakukannya beberapa kali. Ayah, ibu dan adikku mengamatinya. Ayah tak peduli. Adikku hanya mengganggu beberapa kali dan menyerah. Tapi hanya ibu yang selalu mengamatiku dalam diam dan kemudian berkata, “Kamu memiliki hiburan yang unik. Nanti barangkali mungkin kamu akan menjadi orang besar.”

Ibu kemudian pergi dan tidak pernah mengganggu.

Aku melanjutkan apa yang kusukai. Adik perempuanku bertanya, “Kakak, mengapa menyukai jangkrik-jangkrik itu? Lihat, mereka ketakutan karena kakak!”

Aku hanya tersenyum. Senyuman adalah alat terkuat untuk menekan penolakan. Segera aku dianggap aneh dan sedikit berbicara. Adik Perempuanku sering mengatakan aku aneh dan aku tidak peduli dengan itu. Mengapa? Kamu harus tahu, orang yang paling menderita didunia ini adalah orang yang terlalu peduli dengan pendapat orang lain. Jangan seperti itu ya, jangan. Itu menyakitkan. Sebenarnya, kamu hanya perlu menjaga dirimu sendiri, tidak pernah sok menjadi pahlawan untuk satu keluarga. Kamu tidak akan bisa melawan siklus kehidupan yang mengalirkan darah, membawa kita entah kemana. Apa itu ke muara sungai yang jauh dan bertemu laut asin, tempat bagi jutaan mahkluk hidup didalamnya? Atau... Harus diserap tanah hingga tidak tersisa sedikit pun?

Jika kamu sangat peduli dengan orang lain, maka akibatnya kamu akan memberikan beban kepada tubuhmu. Itu tidak salah, hanya saja kamu harus tahu berapa beban yang bisa kamu bawa. Dan aku, tidak ingin memiliki beban itu. Aku hanya ingin berjalan sendiri, tanpa orang lain disisikku. Bagiku, mereka adalah sumber kesedihan dan menciptakan sisa-sisa kehidupan dimasa lampau yang menumpuk dihati kemudian perlahan-lahan melemahkan kehidupan yang singkat ini.

Aku setiap malam yang dingin, dengan hembusan angin sawah, aroma wangi rerumputan, diam diruangan kecil, mendengar jangkrik yang berbunyi. Mereka seolah melodi kesedihan yang mendalam diantara malam yang kelam. Mendengarnya sembari bersandar dimeja dan sering kali aku tertidur.

Ini adalah caraku menikmati musik dalam kesederhanaan anak seorang petani desa yang tidak mengetahui megahnya dunia kota yang penuh dengan kebisingan.

Jika aku tahu, kota itu adalah mahkluk hidup yang tidak pernah beristirahat, maka aku tidak akan pergi ke sana. Mahkluk itu adalah kehidupan, dan karena tidak pernah beristirahat, menjadi gila, bingung dan kacau. Kamu akan melihat udara yang dipenuhi debu, suara kendaraan motor yang menyakitkan telinga, orang-orang yang begitu banyak dan sampah yang menumpuk karena tidak ada tempat untuk mereka. Sampah, ya sampah. Tidak ada tempat teraman bagi mereka, mereka adalah kumpulan yang tidak pernah dipandang bagi manusia yang terlalu sibuk dan kesulitan hidup.

Sementara diantara pegunungan yang menghadang awan-awan lewat, seperti meminta hujan. Hamparan sawah Hijau yang membuat hati sejuk, disinilah aku hidup. Masa kecilku yang sering menikmati jangkrik yang berbunyi, kerbau yang mengaung dan anak-anak yang berlarian melintas pedesaan yang asri, jauh dari kehidupan kota yang serba sibuk dan cepat.

Ah, aku memiliki semuanya, padahal itu adalah masa yang berlalu dua puluh tahun yang lalu. Bagaimana dengan gubuk kecil yang ada ditengah sawah itu sekarang? Apa masih berdiri? Apa sawahnya masih asri dan dipenuhi warna kehijauan?

Aku bisa, sangat bisa untuk pergi melihatnya sekarang, namun aku tidak melakukannya. Itu adalah tindakan yang bisa membuatku kecewa. Kamu tahu, mungkin yang paling baik adalah diam disuatu ruangan yang tenang, memegang secangkir teh yang sudah basi, melihat pergerakan asapnya yang pelan-pelan diterbangkan angin.

Asap, oh asap. Aku merasa kehidupanku seperti asap yang terbang, perlahan-lahan atau cepat–tergantung bagaimana cara angin meniupnya. Ingin bergerak tinggi, lebih tinggi tanpa sadar teh dibawahnya mulai mendingin dan akhirnya tidak bisa menciptakan asap lagi, kemudian kehidupan asap itu memudar seperti orang yang lama pergi lalu perlahan-lahan terlupakan.

Tehnya basi, aku tidak berbohong. Teh ini sudah lama dikeringkan dibungkus dengan rapi kemudian ditambahkan pengawet. Tidak salah bukan menyatakannya sudah basi?

Saat aku meminumnya, rasa basi, aroma yang lembut dan keringat para petani bercampur dalam tenggorokanku. Begitu menyedihkan aku meminum seteguk teh ini dari banyak orang yang bekerja didalamnya tapi akhirnya terasa basi ditanganku ini. Aku mengingat ini, bagaimana orang berusaha untuk hidup yang baik, namun kematian dengan cepat mengambil semuanya. Dia tidak mengambilnya tapi merampasnya dari kehidupan kita. Dunia itu kejam, tapi seri sering kali kita menutup mata untuk tidak melihatnya. Ini tidak salah, hanya saja apa kamu terus berdiam diri tanpa melihat kenyataan yang ada didalamnya? Aku bukan Plato yang hebat itu, aku hanya mengambil dalam perenungan yang muncul dalam perjalanan hidupku yang singkat. Jika dibandingkan dengan sejarah, kehidupanku tidak ada apa-apa dan bahkan itu terasa tidak berguna. Mungkin benar adanya. Jika kamu melihatku berjalan dijalan kosong dan tidak mempedulikan hal disekitarnya, kamu tidak aka mencari tahu siapa aku dan apa yang aku lakukan. Kamu hanya berpikir aku adalah seorang wanita yang berjalan, ingin kesuatu tempat, melakukan sesuatu dan akhirnya kembali pulang. Begitu saja, hanya begitu. Kalian egois bukan? Kalian tidak akan berubah melihat caraku melangkah, melihat kepedihan yang aku sembunyikan dari cermin kedua mataku. Tapi... Kalian tidak salah. Sekali lagi, aku bukan siapa-siapa, aku juga bukan alat kalian, jadi secara alami kalian tidak akan memedulikanku. Kalian adalah orang egois.

Tehnya sudah hampir setengah habis dalam keheningan total. Ini sesuatu yang indah, dalam kehinaan ada keheningan, dalam penderitaan ada penderitaan. Semuanya tidak kosong bukan?

Aku tumbuh menjadi anak gadis cantik. Aku tidak pernah percaya dengan kecantikanku, karena semua itu membuatku sombong. Sesuatu yang tidak abadi tidak perlu dipuji-puji atau dirias. Jika kalian menyukainya, silahkan, tapi aku tidak. Aku suka itu, tapi ironis karena menyadari, aku akan mati, ayah akan mati begitu juga adik perempuanku akan mati.

Adik perempuanku yang perlahan-lahan disamarkan oleh kehidupan dan dihancurkan oleh harap-harap. Hanya manusia yang kolot jika terus memegang kepercayaan akan ada harapan yang baik dan semua itu akan terjadi. Beberapa orang berusia melakukan, beberapa orang hanya diam, untuk berharap. Dua tipe yang aku benci. Aku membenci harapan. Oleh sebab itu, kepergianku ke kota membawa kehancuran bagi harapan keluargaku yang sederhana didesa, yang tidak pernah tahu kejamnya kehidupan dikota. Mereka bertanya-tanya mengapa aku melakukannya. Aku tidak akan menjawab. Diam jauh lebih tajam dari jawaban yang menguras kehidupanku.

Aku mungkin membenci ini karena sikap ibu dan ayah yang menaruh harapan besar dipundakku, sementara mereka tidak tahu apa yang aku alami. Aku merasa jauh dari harapan dan bahkan mengecewakan mereka. Mereka selalu dihantui dengan keberadaanku dirumah yang aku bangun. Jauh dibukit yang memiliki pemandangan yang indah dengan ruangan yang indah dan luas. Aku tidak ada disana, tapi mereka menyadari aku masih disana, anak yang menghancurkan seluruh harapannya dan mereka akan selalu tenggelam disana untuk selamanya. Biarkan saja! Aku tidak peduli dengan mereka.

Rumah itu berdiri megah, menghadap kelembah yang luas. Cahaya matahari bersinar terang dari timur. Pemandangan rumah-rumah penduduk didepannya bisa terlihat dari sini. Rumah ini tidak hanya mewah, juga berada jauh diatas rumah-rumah yang lainnya. Aku pernah berkata, “Ibu lihat, lihatlah rumah-rumah dibawah ini. Di sana rumah lama kita. Di sana kita tinggal sederhana dan terbatas. Sekarang kita bisa berdiri disini, dan melangkahi rumah-rumah yang lainnya.”

Ibu bahagia waktu itu dan bangga melihat putri kecilnya tidak hanya tumbuh besar, juga tumbuh dengan kehidupan yang lebih baik darinya dan mampu membuatnya tidak pernah khawatir tentang masa depan yang suram. Namun, sikap ibu berubah ketika rumah megah dibukit itu dibangun atas lubang wanita yang dihancurkan oleh puluhan laki-laki dan tubuh wanita telanjang yang direkam kemudian disebarkan.

Aku tidak pernah peduli dengan tubuhku. Rusak? Biarkan saja, tubuhku akan rusak pada waktunya dan yang merusakkan tidak lain adalah waktu itu sendiri. Ibu orang bodoh. Tidak ada pekerjaan didunia ini yang rendah, semuanya indah dan dibutuhkan orang. Aku, sebagai perempuan sudah melakukan segalanya dan bahkan mengorbankan tubuh ini untuk mencapai apa yang kita impikan sejak lama. Ibu tidak pernah mengerti jika semua pekerjaan menghancurkan tubuh, entah itu cepat atau lambat. Dunia yang kejam, begitu aku pahami sekarang harus diperlakukan dengan kejam, jika tidak, kehancuran akan tiba. Jika kamu ingin menghancurkan batu, kamu harus memiliki palu yang sangat keras, jika lemah, nanti bisa saja palu itu yang akan hancur. Kamu harus menggantinya atau membelinya dengan yang baru. Tapi jiwa? Manusia diberikan satu jiwa, dan tidak pernah lebih. Jika itu hancur, maka tidak ada di toko yang menjualnya. Aku sudah menempa jiwaku sangat kuat dan aku tidak punya rasa malu ketika melakukannya.

Darah yang keluar dari lubang adalah pertanda dari proses penempaan jiwa. Setiap kali aku melakukannya, pikiranku kosong dan seperti mati suri. Aku bisa melakukannya saat empat tahun menjalaninya. Jiwa yang suci ini tidak sudi melihat tubuhnya di hancurkan seperti itu, sehingga mati suri.

Jiwa ini sangat kuat, tapi akhirnya dihancurkan oleh pondasinya sendiri, yaitu kalian, ayah, ibu, adik perempuan. Kalian menghancurkan jiwa ini seperti menjatuhkannya hingga retak. Kini masih membekas retakkannya, tapi jauh lebih baik. Kemudian adikku yang cantik mati bunuh diri. Aku tidak akan datang mengunjunginya. Kalian adalah sumber kematian bagi jiwa-jiwaku.

Ibu menelepon kemarin malam. Suaranya lirih menyampaikan kabar buruk itu. Aku hanya berkata, “Aku akan hilang, jangan cari aku.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!