NovelToon NovelToon
Adharma

Adharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Horror Thriller-Horror / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.

Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.

Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.

Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Persiapan Adharma

Darma duduk di kursi besi tua di dalam gudang yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Gudang ini luas, dengan dinding beton yang mulai retak, atap yang tinggi, dan jejak-jejak bekas peralatan penelitian yang ditinggalkan begitu saja. Tempat ini dulunya digunakan untuk proyek penelitian rahasia, tapi sekarang dibiarkan terbengkalai karena rumor bahwa tempat ini angker.

Namun, bagi Darma, ini lebih dari sekadar tempat aman. Ini adalah markasnya sekarang. Tempat di mana ia akan merencanakan pembalasan terhadap semua yang telah merusak hidupnya.

Sore itu, ia menghisap rokok dalam-dalam, matanya kosong menatap lantai. Masih ada bekas luka di tubuhnya setelah perkelahian dengan para preman beberapa hari lalu. Tapi seperti biasa, rasa sakit hanya membuatnya semakin kuat.

Tiba-tiba, suara deru mesin truk terdengar di luar. Darma langsung berdiri, mengambil salah satu cerulitnya yang tergeletak di atas meja kayu reyot. Ia berjalan ke pintu besar gudang, mengintip keluar.

Sebuah truk besar berhenti di depan. Feny turun dari kursi kemudi, menutup pintu dengan santai, lalu berjalan ke belakang truk.

Darma membuka pintu gudang sedikit lebih lebar. "Kau bawa apa?"

Feny menoleh dan tersenyum tipis. "Hadiah."

Ia membuka bagian belakang truk. Begitu pintunya terbuka, Darma melihat tumpukan peti kayu yang ditata rapi di dalamnya. Ia mendekat, mengamati logo samar yang masih terlihat di sisi peti: simbol sebuah perusahaan ekspor-impor yang sebenarnya hanyalah kedok bisnis senjata ilegal di kota ini.

Feny mengetuk salah satu peti. "Ini senjata-senjata dari jaringan wali kota. Aku ‘meminjamnya’ untukmu."

Darma mendekat, membuka salah satu peti dengan linggis yang ada di dekatnya. Begitu tutupnya terbuka, matanya menyapu isi peti itu—senapan serbu, pistol otomatis, shotgun, bahkan beberapa granat.

Ia mengambil satu pistol, merasakannya di tangannya, lalu mengarahkan pandangan ke Feny. "Bagaimana caramu mencuri ini?"

Feny menyeringai. "Dengan cara yang sangat menarik. Aku harus mengorbankan beberapa peluru, sedikit ledakan, dan tentu saja... tipu daya."

Darma menutup peti itu kembali, lalu menatap Feny. "Kau sadar, setelah ini kau juga akan menjadi target?"

Feny mengangkat bahu. "Sudah lama aku tahu. Aku tetap polisi, tapi aku bukan anjing mereka. Aku ingin melihat kota ini berubah... sama sepertimu."

Darma terdiam sejenak, lalu kembali menatap peti-peti kayu di hadapannya. Kini, ia memiliki semua yang dibutuhkan untuk melancarkan serangan besar. Polisi korup, wali kota, pejabat yang bermain di belakang layar—mereka semua akan merasakan balasannya.

Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap Feny dengan mata penuh ketegasan. "Kalau begitu, mari kita mulai perang ini."

Darma membuka beberapa peti kayu yang berisi berbagai jenis senjata. Ia mengangkat satu senapan serbu, merasakan bobotnya, lalu meletakkannya kembali. Ia tahu senjata api akan berguna, tapi bukan itu yang paling cocok dengannya.

Tangannya meraih dua pistol otomatis, mengecek magasin, lalu memasukkannya ke dalam sarung di pinggangnya. Ia juga mengambil shotgun dengan laras pendek, senjata yang cukup brutal untuk pertempuran jarak dekat.

Saat ia hendak mengambil beberapa amunisi tambahan, Feny yang duduk di atas salah satu peti menatapnya sambil melipat tangan.

"Kenapa kau selalu bawa cerulit?" tanyanya, sedikit mengernyit. "Serius, itu kayak mau tawuran aja. Padahal ada senjata api di mana-mana."

Darma berhenti sejenak, lalu menatap dua cerulitnya yang tergantung di pinggangnya. Ia mengambil salah satunya, mengangkatnya di bawah cahaya redup gudang.

"Senjata api bisa habis pelurunya," jawab Darma. "Tapi senjata tajam? Selama aku masih bisa mengayunkannya, aku tetap bisa membunuh."

Feny mendengus pelan. "Tapi cerulit? Kenapa bukan pisau, pedang, atau golok sekalian?"

Darma menatapnya dengan ekspresi dingin. "Karena ini bukan sekadar senjata. Ini warisan. Guru silatku dulu bilang, cerulit itu bukan cuma buat menebas, tapi juga buat mengunci, menjebak, dan mengendalikan musuh. Dalam tangan yang tepat, ini lebih mematikan daripada peluru."

Feny menatapnya dengan mata setengah menyipit, lalu mengangguk pelan. "Jadi ini lebih dari sekadar senjata untukmu?"

Darma menyelipkan kembali cerulitnya ke sarung di pinggangnya. "Ini pengingat. Bahwa aku berperang bukan cuma dengan senjata, tapi dengan prinsip."

Feny terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Kau ini memang aneh."

Darma tidak menjawab, hanya melanjutkan mempersiapkan persenjataannya. Malam ini, ia sudah siap untuk langkah berikutnya.

Feny menghela napas panjang sebelum menyalakan mesin truknya. "Aku harus memastikan mobil ini tidak bisa dilacak. Akan kubuat seolah-olah ini kecelakaan biasa."

Darma mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu Feny cukup cerdik untuk menghilangkan jejaknya. Saat Feny melajukan truknya keluar dari gudang, malam mulai merayap perlahan. Langit semakin gelap, hanya diterangi lampu-lampu jalanan kota yang temaram.

Darma duduk di atas salah satu peti kayu, menyalakan rokok, lalu mengecek ponselnya. Notifikasi pesan dari Rini muncul di layar. Ia membukanya dan mendapati daftar nama yang baru saja dikirimkan oleh kenalan Rini.

DAFTAR TARGET:

Komisaris Besar Wibawa – Kepala kepolisian yang melindungi jaringan korupsi.

Letnan Hendra Saputra – Orang yang diduga membunuh suami Rini.

Mayor Sudrajat – Tangan kanan Wali Kota, yang mengendalikan bisnis ilegal di balik layar.

Benny Kusnadi – Jaksa yang membebaskan para kriminal kelas kakap dengan uang suap.

Darma menghisap rokoknya dalam-dalam. Matanya menatap nama-nama itu dengan penuh kebencian. Masing-masing dari mereka adalah bagian dari sistem busuk yang telah menghancurkan hidupnya dan banyak orang lainnya.

Pikirannya mulai menyusun strategi. Ia tidak bisa langsung menyerang semuanya sekaligus. Harus ada rencana, harus ada eksekusi yang rapi.

Ponselnya kembali bergetar. Pesan dari Rini:

"Kau yakin ingin melakukan ini? Hati-hati, Darma."

Darma tersenyum miring. Ia mengetik balasan singkat:

"Aku sudah melewati batas untuk kembali. Ini saatnya aku mulai memotong kepala ular ini."

Ia mengunci ponselnya dan berdiri, membuang sisa rokoknya ke lantai dan menginjaknya.

Malam ini, pemburuannya dimulai.

Darma berdiri di depan cermin tua yang berdebu di dalam gudang tersembunyi itu. Kini, tubuhnya telah terbungkus rapat dalam kostum hitamnya yang khas. Trench coat-nya menjuntai, menyembunyikan persenjataan yang kini lebih lengkap dari sebelumnya. Dua cerulit tergantung di punggungnya, sementara dua shotgun tersimpan di sarung khusus di sisi tubuhnya. Senjata-senjata api lainnya tersembunyi di berbagai tempat strategis di tubuhnya, siap digunakan kapan saja.

Ia menarik napas dalam, merasakan beratnya peralatan ini di tubuhnya. Tapi bukan itu yang paling berat—melainkan apa yang akan ia lakukan malam ini.

Tanpa suara, ia melangkah keluar dari gudang, menaiki motornya, lalu melaju ke tempat yang selalu ia kunjungi sebelum menjalankan misinya.

---

Darma berjalan pelan di antara batu nisan, langkahnya terhenti di depan dua makam yang sudah tak asing baginya.

SINTA DARMA

DWI HANDAYANI

Dua nama itu terpahat jelas di batu nisan yang dingin. Malam ini, kuburan itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah.

Darma berjongkok di depan makam Sinta, menyentuhkan jarinya ke ukiran nama istrinya. Dadanya terasa sesak.

"Sinta... aku semakin jauh ke dalam kegelapan," suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi aku tak punya pilihan lain. Hukum di kota ini sudah mati. Kalau aku tidak melakukannya, tidak akan ada yang melakukannya."

Ia mengalihkan pandangannya ke makam kecil di sampingnya. Dwi. Putrinya yang masih begitu muda, yang seharusnya bisa tumbuh besar, menjalani hidupnya, merasakan dunia.

"Ayah rindu, Nak," bisiknya. "Tapi Ayah berjanji, mereka semua akan membayar. Ayah akan membuat mereka merasakan penderitaan yang lebih buruk dari ini."

Darma mengepalkan tangannya. Matanya yang kosong kini dipenuhi api kebencian yang membara. Ia tidak akan berhenti. Tidak sampai semua yang bertanggung jawab atas kematian mereka hancur.

Ia berdiri perlahan, menatap nisan itu sekali lagi sebelum akhirnya membalikkan badan dan berjalan pergi. Malam ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Ia menaiki motornya, menyalakan mesin, lalu melaju ke dalam kegelapan.

1
NBU NOVEL
jadi baper ya wkwkwkk
Xratala
keluarga Cemara ini mah /Smirk/
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
total 3 replies
Xratala
waduh ngena banget /Chuckle/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!