Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Saat mereka akan pulang, motor Karan tiba-tiba oleng.
Ia menghentikan laju kendaraan dan turun untuk memeriksa.
“Ban-nya bocor,” gumam Karan, sedikit kesal tapi tetap berusaha tenang.
Puri turun dan melihat ban yang kempes dimana jalanan sudah mulai gelap dan tidak ada bengkel atau tukang tambal ban terlihat di sekitar.
Lampu jalan pun minim, membuat suasana semakin dingin dan sunyi.
“Kita harus bagaimana, Mas?” tanya Puri pelan.
Karan menatap sekeliling, lalu melihat aplikasi peta di ponselnya.
“Tempat tambal ban paling dekat udah tutup semua. Tapi... di sini ada penginapan kecil nggak jauh dari sini.”
Puri sempat ragu. “Nginep?” wajahnya menunjukkan keberatan.
“Aku janji nggak akan macam-macam, Pur. Aku cuma nggak mau kita kenapa-kenapa di jalan, apalagi malam-malam gini. Kita istirahat dulu, besok pagi cari tambal ban.”
Setelah berpikir sejenak, Puri mengangguk pelan.
“Baiklah. Tapi kamu tidur di lantai, ya.”
Mereka menemukan penginapan sederhana di pinggir pantai.
Hanya satu kamar yang tersisa, dan tanpa pilihan lain, Karan pun menyetujui.
Saat masuk, Puri langsung merebahkan tubuhnya di kasur, tubuhnya lelah, pikirannya penat. Karan hanya tersenyum dan duduk di sisi lain.
Udara dingin merayap masuk lewat sela jendela. Satu-satunya selimut tebal tergantung di sisi tempat tidur.
“Selimutnya cuma satu,” ujar Karan pelan.
Puri membuka matanya, lalu duduk. “Bagi dua aja. Tapi jangan dekat-dekat.”
Keduanya berbaring di sisi masing-masing, saling membelakangi.
Tapi rasa dingin dan keheningan membuat segalanya terasa jauh lebih dekat dari yang terlihat.
Sesaat Karan melirik Puri. Suaranya bergetar pelan saat berkata,
“Pur... aku nggak pernah nyangka bisa sedekat ini sama kamu. Aku takut merusak semuanya.”
Puri membalikkan badan perlahan, kini menghadap Karan.
Tatapannya lembut, matanya sedikit berembun. “Aku juga takut... Tapi lebih takut kehilangan orang yang benar-benar peduli saat aku lagi jatuh.”
Karan menatap dalam-dalam. “Kita sama-sama luka, ya?”
Puri mengangguk. “Tapi aku rasa... luka itu mulai sembuh waktu aku ketemu kamu.”
Hening menyelimuti mereka. Tanpa sadar, Karan menggenggam tangan Puri yang berada di antara mereka.
“Makasih, Mas... udah selalu ada.”
Cuaca yang dingin membuat mereka mengambil satu selimut dan digunakan berdua.
Jantung Karan dan Puri langsung berdetak kencang Karan melihat bibir Puri yang merah dan ia memberanikan diri untuk menciumnya Puri membalasnya ciuman yang diberikan oleh Karan dan mereka yang tidak sadar langsung melakukan ritual olahraga
***
Cahaya pagi menerobos masuk dari celah jendela, membelai lembut wajah Puri yang masih duduk di ujung ranjang.
Air mata mengalir pelan di pipinya, menggambarkan gejolak hati yang tak bisa ia redam. Suara tangisnya yang tertahan membangunkan Karan dari tidurnya.
Karan menoleh cepat. “Pur?”
Puri hanya menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Apa yang sudah kita perbuat, Mas? Kita... kita sudah mengecewakan Mama.”
Tanpa berkata banyak, Karan segera bangkit dan memeluk Puri dari belakang, berusaha meredam gundah yang menyelimuti gadis itu.
“Maaf... Aku yang salah. Aku terlalu menuruti perasaan, dan lupa berpikir panjang.”
Puri terisak pelan dalam pelukannya. Tapi kemudian matanya tertuju pada kalung yang menggantung di leher Karan—sebuah salib perak kecil yang bersinar samar di bawah sinar pagi.
Pandangan Puri membeku. Ia menarik tubuhnya sedikit menjauh. “M-mas Karan... Kalung itu...”
Karan menyadari tatapan Puri. Ia menyentuh kalung itu dengan tenang.
“Iya, ini salib. Aku... Kristen,”
Puri menatap mata Karan dalam diam. Napasnya tertahan.
“Kenapa Mas Kara. nggak bilang dari awal?”
Karan menghela napas panjang. “Karena aku takut kamu menjauh.
Tapi aku nggak niat menyembunyikan. Aku serius sama kamu, Pur.
Kalau kamu bersedia, aku siap jadi mualaf. Aku ingin membangun masa depan sama kamu.”
Puri mengusap air matanya. “Mas... Ini bukan soal agama aja. Ini soal kepercayaan Mama juga. Dia nggak akan mudah menerima ini.”
“Aku tahu,” jawab Karan lirih. “Makanya... jangan bilang dulu ke Mama. Biarkan aku yang bicara saat waktu sudah tepat. Aku janji akan menjelaskan semuanya dengan baik.”
Mereka saling menatap dalam diam. Penuh rasa takut, tapi juga keyakinan. Di balik luka dan keraguan, cinta mereka mulai diuji dengan kenyataan.
Karan mengelus pipi Puri lembut. “Sekarang kamu mandi, ya. Kita cari tukang tambal ban, terus pulang. Aku akan tetap pegang janjiku, Puri.”
Puri mengangguk pelan, matanya masih berkaca. Ia berjalan ke kamar mandi dengan langkah berat, tapi di hatinya mulai tumbuh keberanian—bahwa cinta yang sejati harus dihadapi, bukan disembunyikan.
Setelah selesai menambal ban, Karan dan Puri melaju pulang dengan perasaan campur aduk.
Jalanan pagi itu terasa lebih panjang dari biasanya, dan dalam diam, mereka tahu ada sesuatu yang menunggu di rumah—penjelasan, mungkin juga amarah.
Ketika motor mereka berhenti di depan rumah, sosok Mama sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Tapi tatapannya tajam, seperti tahu ada yang disembunyikan.
Puri turun lebih dulu dan menunduk dalam.
“Assalamu’alaikum, Ma...”
“Wa’alaikumsalam,” jawab Mama tanpa tersenyum.
“Puri, masuk ke kamar dulu.”
Puri menoleh sebentar ke arah Karan, lalu masuk perlahan dengan kepala tertunduk.
Karan berdiri tegak, walau ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia mendekati Mama dengan sopan.
“Ibu, saya minta maaf. Tadi malam ban motor saya bocor, dan sudah terlalu malam untuk cari bantuan. Jadi kami terpaksa menginap... tapi kami tidak melakukan apa-apa, Bu. Saya pastikan kami tidur di tempat terpisah.”
Mama menatap Karan tajam, seakan menilai ketulusan dalam setiap katanya. Hening sejenak, lalu Mama bicara dengan suara datar tapi tegas.
“Lain kali, jangan ulangi. Ibu paling tidak suka anak gadis ibu berada di situasi seperti itu, meskipun tidak terjadi apa-apa. Reputasi, Mas Karan. Dan kepercayaan.”
Karan mengangguk cepat. “Saya mengerti, Bu. Saya benar-benar minta maaf.”
Mama tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah ke dalam rumah.
“Saya pamit pulang dulu, Bu,” ucap Karan pelan, lalu berbalik meninggalkan rumah dengan hati yang berat.
Mama masuk ke kamar Puri. Puri sedang duduk di tepi ranjang, masih memikirkan semuanya.
“Ma...” ucap Puri lirih, tanpa berani menatap.
Mama duduk di sampingnya. “Puri, kamu tahu Mama nggak pernah keras sama kamu. Tapi ada batas yang nggak bisa kamu lewati. Kamu perempuan. Kamu harus tahu bagaimana menjaga dirimu... dan menjaga kepercayaan Mama.”
Air mata Puri langsung mengalir. Ia meraih tangan Mama dan menggenggamnya erat.
“Maafkan Puri, Ma... Puri janji nggak akan ulangi. Puri... cuma nggak mau Mas Karan kenapa-kenapa di jalan. Tapi Puri sadar... ini salah.”
Mama menghela napas panjang, lalu mengelus kepala Puri.
“Jaga dirimu, Pur. Dan hati-hati dengan perasaan. Jangan sampai cinta bikin kamu buta mana yang benar, mana yang tidak.”
Puri memeluk Mama erat. “Maafkan Puri, Ma... dan... terima kasih sudah tetap peluk Puri meskipun Puri salah.”
Di dalam hatinya, Puri menjerit pelan—karena selain kesalahan yang belum bisa ia ungkap, ia juga menyimpan satu kebenaran yang belum sanggup ia ceritakan. Ma... aku minta maaf, aku belum bisa jujur sepenuhnya.