NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23 — Kebenaran yang Tak Bisa Ditunda

​Setelah insiden mobil yang penuh amarah dan kecemburuan, Dion kembali ke penthouse dalam keadaan kacau. Aira, masih terisak, langsung menuju kamar Arvan, meninggalkan Dion sendiri dalam keheningan yang mematikan. Dion tidak kembali ke ruang kerjanya. Sebaliknya, ia berjalan menuju bar minimalis di ruang tamu utama. Ia mengambil sebotol single malt yang paling tua dan menuangnya ke dalam gelas batu yang tebal.

​Namun, ia tidak menyentuhnya. Alkohol tidak akan memadamkan api di dadanya.

​Telapak tangannya, yang sudah terbalut dari insiden pecah kaca malam sebelumnya (Bab 21), kini berdenyut-denyut. Denyutan itu terasa seperti pengingat fisik akan kekacauan yang terjadi di kepalanya. Di ponselnya, email dari laboratorium masih belum dihapus, menunggu untuk dibaca kembali, seolah-olah mata Dion membutuhkan pengulangan untuk memercayai kebenaran yang tak terbayangkan itu.

​Ia duduk di sofa, tubuhnya yang biasanya tegap kini terlihat membungkuk. Keangkuhan seorang Arganata runtuh di bawah beban realitas yang dibangun Aira. Ia mencoba menyaring semua yang terjadi: ancaman, hukuman, kecemburuan, dan janji yang baru ia buat di desa. Semua itu bermuara pada satu pertanyaan: bagaimana ia harus menghadapi fakta bahwa Arvan adalah putranya?

​Dion meraih ponselnya lagi. Ia membuka kembali dokumen hasil DNA. Ia memaksakan dirinya untuk membaca setiap kata, setiap angka, setiap istilah ilmiah. Dia mencari celah, kemungkinan kesalahan, baris yang bisa disalahartikan. Tetapi tidak ada. Laporan itu adalah kesimpulan medis yang pasti dan tak terbantahkan.

​Di bawah bagian "Analisis Alel", matanya terpaku pada baris yang dicetak tebal, hasil yang menghancurkan semua kebohongan dan keraguannya selama ini.

​Probabilitas Paternitas: 99,98%

​Dion merasakan napasnya tertahan. Jantungnya berdebar-debar liar, bukan karena terkejut, melainkan karena konfirmasi yang menakutkan. Dia tahu. Dia sudah merasakan. Arvan adalah darahnya, penerusnya, pewaris tunggalnya, yang selama empat tahun dibesarkan di bawah atap reot dan udara desa yang sederhana.

​Kabar itu menghantam Dion seperti gelombang sonik. Itu bukan hanya sekadar angka, melainkan empat tahun yang tercuri, malam-malam tanpa tidur, kekosongan yang tidak ia sadari selama ini.

​Dion bangkit, gemetar. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu.

​Putraku. Anakku. Benihku.

​Dia telah memperlakukan Ibu dari putranya sendiri seperti sandera. Dia telah memaksa Aira ke dalam kontrak yang memalukan. Dia telah menghukum Aira, secara fisik dan emosional, untuk menuntut penjelasan atas kebohongan yang sebenarnya adalah kebenaran.

​Dan yang terburuk, Aira menangis di pelukannya di mobil tadi, mengira Dion kembali menjadi tiran hanya karena kecemburuan butanya, padahal Dion sudah memegang bukti mutlak ini di sakunya. Aira tidak mengerti betapa besarnya pengkhianatan yang baru saja ia konfirmasi.

​Kemarahan Dion memuncak. Kemarahan itu bukan lagi hanya ditujukan pada Aira; itu ditujukan pada dunia, pada takdir, dan pada dirinya sendiri karena begitu mudahnya tertipu. Bagaimana mungkin dia, pria yang melihat setiap detail di pasar global, bisa melewatkan detail sebesar ini di dalam hidupnya sendiri?

​Dion meninju dinding di sebelahnya. Bukan dengan kekuatan penuh, tetapi cukup untuk membuat buku-buku jarinya yang diperban terasa sakit. Dia butuh rasa sakit fisik untuk menandingi rasa sakit di jiwanya.

​Dia ingat semua kata-kata Aira: “Saya tidak ingin dia tahu bahwa Ayahnya adalah seorang tiran tanpa hati.” Aira telah melindungi Arvan dari Dion yang ia benci, dari Dion yang sekarang. Dan sekarang, Dion harus menerima bahwa dia memang seorang tiran tanpa hati.

​Dion berbalik, matanya tertuju pada gelas kristal berisi whiskey di meja. Dengan gerakan cepat dan brutal, ia meraih gelas itu.

​Ia tidak meminumnya. Ia meremasnya.

​Kaca kristal yang keras, simbol kemewahan dan kerapuhan, hancur di tangan Dion. Suara pecahan itu adalah suara ledakan amarah yang tidak bisa lagi ia tahan.

​Darah segar segera membasahi balutan di tangannya, mewarnai saputangan sutra itu menjadi merah tua. Kali ini, rasa sakitnya lebih parah, lebih nyata. Tetapi Dion tidak berteriak. Dia hanya berdiri di sana, di tengah ruang tamu mewah, darah menetes dari tangannya, napasnya memburu.

​Pikirannya kini berputar-putar liar, mencari cara untuk memahami kebohongan empat tahun ini. Aira pasti tahu. Aira pasti tahu siapa dia. Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa? Kenapa dia membiarkan Dion menjalani hidupnya tanpa mengetahui bahwa ada benih Arganata yang tumbuh di luar sana?

​Dion menundukkan kepalanya, membiarkan rambutnya menutupi mata yang bergetar. Dia merasa hampa dan penuh amarah pada saat yang sama.

​“Empat tahun…” desis Dion, suaranya parau dan tercekik. “Kau mencuri empat tahun hidupku sebagai seorang Ayah.”

​Emosi itu terlalu besar. Ia adalah Ayah. Bukan Ayah kontrak, bukan Ayah tiri, tetapi Ayah kandung. Arvan adalah darahnya.

​Dion menjatuhkan pecahan gelas terakhir ke lantai. Matanya, merah karena frustrasi dan shock, menatap pintu kamar Arvan yang tertutup.

​Ia tahu, ia tidak bisa lagi menyalahkan Aira atas kebohongan. Dia harus menghadapi Aira atas kebenaran yang tak bisa ditunda ini.

​Dion mengambil langkah pertamanya, meninggalkan jejak darah di karpet mahal itu.

​Dia harus mencari Aira. Dia harus menuntut penjelasan.

​Akan tetapi, hanya ada satu pertanyaan yang berhasil lolos dari bibirnya, sebuah pertanyaan yang dipenuhi kepedihan dan amarah.

​“Aira… bagaimana bisa kau menyembunyikan darahku sendiri?”

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!