NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32 KEDATANGAN ESTHER

Usai membicarakan kerja sama dengan Tuan Xiao Yan, Arash berdiri di depan cermin toilet dengan dada mengembang. Bayangannya sendiri menyambutnya dengan mimik puas—senyum kecil yang sulit ia sembunyikan. Hari ini, keberuntungannya terasa nyata. Bahasa Mandarin yang ia pelajari bertahun lalu dari rekannya di Singapura yang dulu hanya sekadar keterampilan tambahan kini menjadi jembatan utama yang membuatnya bisa menyegel kontrak lima tahun. Bahkan, Tuan Yan berkata bahwa ia siap memperpanjang kerja sama apabila Arash tetap menjadi penghubung utama.

Sebuah pencapaian yang tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga harga dirinya.

Ia memutar keran, membiarkan air dingin mengalir sejenak sebelum membasuh kedua tangannya. Setelah menyeka dengan tisu, ia menarik napas panjang dan keluar. Suasana toilet yang sunyi seketika tergantikan dengan kehidupan: suara gelak tawa, denting piring, aroma roti panggang, dan percakapan yang bertumpuk dari meja ke meja.

Dengan langkah mantap ia berjalan melewati lorong-lorong kecil di antara kursi, hingga matanya menemukan Celine yang duduk di dekat jendela besar. Cahaya siang menerobos masuk tepat di belakang wanita itu, membuat rambut pirangnya tampak berkilau.

"Makanannya sudah datang?" tanya Arash seraya menarik kursi.

"Sudah," jawab Celine dengan senyum ramah. Ada sedikit antusiasme dalam suaranya, seolah ia ikut merayakan keberhasilan Arash.

Arash baru hendak mengambil garpu ketika suara gesekan kursi dari arah lain terdengar keras, cukup untuk membuat beberapa pengunjung menoleh. Refleks, ia pun menoleh—dan tubuhnya kaku seketika.

"Ava?" gumamnya, alisnya naik, matanya menyipit tak percaya.

Di seberang ruangan, ia melihat Ava berdiri sambil memegang tangan temannya yang tampak ingin beranjak. Wajah Ava tegang, alisnya bertaut rapat seperti menahan emosi. Gerakan bibirnya cepat, meskipun Arash tak bisa menangkap sepatah kata pun dari jarak itu. Namun ia mengenali ekspresi itu—kekesalan yang sedang ia tahan mati-matian.

"Kenapa dia di sini? Apa yang dia lakukan di sini?" pikir Arash, detak jantungnya tak karuan.

"Ada apa?" tanya Celine yang ikut menoleh, matanya membesar. "Kenapa mereka seperti itu?"

Arash tidak langsung menjawab. Ia hanya terpaku, memerhatikan bagaimana Bella akhirnya kembali duduk setelah Ava menariknya. Keheningan yang sempat tercipta di area itu perlahan menghilang saat restoran kembali dipenuhi riuh percakapan biasa.

"Entahlah," ucap Arash akhirnya, mencoba bersikap tenang. "Kau yang wanita… mungkin lebih tahu."

Celine mengangkat bahu ringan. "Mungkin mereka salah paham… atau sedang bertengkar."

Ia kembali ke makanannya, sementara Arash diam saja, tangannya masih memegang garpu yang belum bergerak. Tapi matanya tak bisa lepas dari sosok Ava.

Sedangkan di sudut lain restoran itu—di balik keramaian dan denting sendok-garpu—Bella masih saja mengungkit hal yang sama sejak beberapa menit lalu. Ia mencondongkan tubuh, menurunkan suara seolah yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang tidak boleh terdengar oleh siapa pun.

"Kau yakin tidak mau menghampirinya?" bisiknya, alisnya terangkat tinggi, mencerminkan rasa penasaran yang tak terbendung.

Ava meletakkan garpunya dengan sedikit terlalu cepat, hingga terdengar bunyi logam yang lembut namun jelas. “Aku sudah katakan padamu, itu bukan urusanku!” tegasnya untuk ketiga kalinya. Ia mencoba terlihat biasa saja, padahal suara hatinya terasa seperti kaca yang retak sedikit demi sedikit.

“Lagipula, itu mungkin… rekan kerjanya,” tambah Ava, meski suaranya terdengar seperti alasan yang dibuat terburu-buru. Ia mengambil sepotong makanan dan memasukkannya ke mulut, meskipun selera makannya sejak tadi perlahan menguap begitu saja.

Bella menghela napas kecil, matanya melembut. “Kau mau kita pindah, Tuan Putri?” tanyanya, menggunakan panggilan kesayangannya untuk mencairkan suasana. Ia sangat paham: cemburu tidak butuh izin untuk muncul, bahkan ketika seseorang tidak pernah mengaku sedang jatuh cinta.

Ava menggeleng. “Tidak perlu. Anggap saja hanya ada kita di sini.” Ucapannya terdengar kuat, namun kedua matanya tidak bisa berbohong.

Karena sesekali, tatapannya tetap terlempar ke arah meja dekat jendela. Ke arah Arash. Ke arah senyum itu—senyum lembut yang jarang sekali ia lihat ditujukan padanya. Senyum yang kini justru ia lihat tersungging untuk wanita berambut pirang itu.

Ada rasa panas yang merambat dari dada ke tenggorokannya. Perasaan yang ia tidak mau akui, namun mustahil ia abaikan. Ia meraih gelas airnya dan meminumnya cepat-cepat, berharap air itu bisa meredakan sesuatu yang membakar dari dalam.

Dia bahkan tidak menoleh ke arahku… batin Ava, terasa seperti bisikan pahit. Ia mengunyah makanannya perlahan, hambar, seolah semua rasa menghilang dari lidahnya.

Bella memperhatikan Ava dalam diam. Sementara itu, tanpa Ava sadari, sepasang mata dari kejauhan sesaat memandang ke arah mereka. Mata milik seseorang yang mendapati pipi Ava menggembung karena potongan makanan terlalu besar—sebuah detail kecil yang justru membuat ekspresi pria itu berubah, hanya sepersekian detik, menjadi sorot yang sulit ditafsirkan.

...----------------...

Hari telah benar-benar tenggelam dalam gelap ketika Ava tiba di rumah. Lampu-lampu taman menyala redup, memantulkan cahaya kuning lembut pada dinding teras. Begitu membuka pintu, aroma masakan yang hangat langsung menyambutnya—aroma bawang yang ditumis, kaldu yang mendidih perlahan, dan wangi nasi yang baru matang. Aroma yang jarang ia dapati di jam seperti ini.

Alis Ava mengerut pelan. Ia meletakkan tasnya begitu saja di meja konsol, lalu berjalan ke dapur dengan langkah ingin tahu.

“Tumben bibi masak makan malam,” ujar Ava sambil berdiri di samping Bi Ana, yang tengah sibuk mengaduk panci besar.

Bi Ana menoleh sambil tersenyum lembut. “Iya, Nona. Tuan Arash meminta bibi untuk masak lebih banyak hari ini.”

Ava spontan terkejut, tubuhnya menegang sejenak. “Kenapa? Apa Mama dan Papa akan datang?” tanyanya, mencoba menebak alasan paling masuk akal.

“Entahlah, bibi kurang tahu, Nona,” jawab Bi Ana sambil kembali fokus pada panci. Nada suaranya santai, namun membuat Ava semakin penasaran.

Suasana dapur yang hangat mendadak pecah oleh suara bel pintu yang nyaring. Ava dan Bi Ana saling menoleh hampir bersamaan.

“Sepertinya ada tamu,” ujar Bi Ana sambil meletakkan spatula dan bersiap berjalan keluar.

“Tunggu, Bi. Biar Ava saja yang buka,” ucap Ava, berusaha terdengar ringan meski hatinya terasa sedikit gelisah. Bi Ana mengangguk dan kembali ke pekerjaannya.

Ava berjalan menuju pintu depan dengan langkah perlahan, merasakan udara malam yang merembes dari bawah celah pintu. Begitu pintu dibuka, ia terdiam sesaat.

“Esther?” Ava menyipitkan mata, tak menyangka melihat adik iparnya berdiri di sana dengan senyum selebar senyum model iklan. “Jadi kau tamu yang dimaksud Arash?”

Esther mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Tamu? Aku adiknya. Kenapa harus bertamu?” sentaknya ringan, penuh percaya diri. “Lagipula aku datang karena kemauanku sendiri, bukan karena Kak Arash.”

Ava menghela napas kecil—perlu tenaga ekstra menghadapi Esther dalam mode energik seperti ini. “Ada apa menemuiku?” tanyanya.

Esther langsung mendekat setengah langkah, matanya berbinar antusias. “Aku ingin mengajak Kakak pergi dan bersenang-senang!”

“Kemana?” Ava memiringkan kepala, setengah curiga, setengah jengah.

Esther tersenyum misterius. “Ikut saja. Nanti Kakak pasti tahu.”

Beberapa menit setelah kepergian Ava, meja makan sudah tertata rapi. Nasi mengepul dalam mangkuk keramik putih, sayur berwarna hijau lembut mengeluarkan uap hangat, dan aroma bumbu yang kaya memenuhi ruang makan. Bi Ana berdiri tegak, memastikan sendok garpu tersusun sempurna di sisi piring. Ia baru saja merapikan serbet terakhir ketika suara langkah kaki terdengar dari arah lorong.

“Selamat malam, Tuan. Makan malam sudah siap,” ucap Bi Ana dengan hormat.

Arash masuk dengan langkah mantap, aroma parfumnya mengikuti setiap gerakan. “Terima kasih, Bi,” katanya singkat, lalu menoleh ke belakang dan menuntun Celine yang berdiri rapi dengan setelan kerja elegan untuk duduk di kursi yang biasa ditempati Ava.

Bi Ana tidak bisa menahan tatapannya. Siapa wanita ini? batinnya bergejolak. Apakah ini kekasih tuan Arash? Kalau begitu… bagaimana dengan Nona Ava?

Arash menyapu ruangan dengan pandangan cepat, hingga matanya berhenti pada tas Ava yang tergeletak di meja konsol.

“Di mana Ava?” tanyanya, nada suaranya tenang tapi sarat pertanyaan.

“Nona Ava pergi dengan Nona Esther, Tuan,” jawab Bi Ana sopan.

Alis Arash bertaut. “Esther? Ke mana?”

“Bibi tidak tahu, Tuan,” jawabnya pelan sebelum undur diri kembali ke dapur, meninggalkan suasana canggung di antara Arash dan tamunya.

Arash duduk, membetulkan posisi kursi sedikit, lalu mulai menikmati makan malam itu bersama Celine. Suasana meja terasa asing—rumah yang biasanya sepi kini mendadak terasa berbeda. Celine menghadapi hidangan dengan senyum kecil, sementara Arash tampak memikirkan sesuatu yang tidak ia ungkapkan.

“Kau tahu,” ujar Arash akhirnya sambil menatap piringnya, “aku pikir kau akan mengundurkan diri setelah kejadian tadi.”

Celine meletakkan sendoknya dengan anggun. “Aku tidak akan mengundurkan diri karena aku tidak membuat kesalahan, Arash,” jawabnya mantap. “Lagipula, aku heran… kenapa kau sering mengganti sekretaris?”

Arash menghela napas panjang, kepalanya sedikit menunduk. “Karena mereka meremehkanku,” jawabnya jujur, nada lembut bercampur kekesalan. “Saat aku memberi instruksi, mereka memandangku seperti anak kecil yang tidak mengerti apa-apa. Dan akibat sikap mereka, aku kehilangan beberapa klien penting.” Rahangnya mengeras. “Papa menyalahkanku karena itu.”

Celine menatapnya dengan lebih lembut, nada bicaranya turun beberapa oktaf. “Kalau begitu, pasti sekarang Paman Agam bangga,” ujarnya. “Karena kau bukan hanya berhasil menarik perusahaan Cina, tapi juga membuat mereka menandatangani kontrak besar.”

Arash menahan senyum. Ada secercah harapan yang muncul di matanya—harapan yang tampak rapuh namun tulus.

Semoga benar, batinnya. Semoga kali ini… aku bisa menjadi kebanggaan Papa.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌 Jangan lupa like dan komen yang banyakkk yaaa

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!