Cerita ini kelanjutan dari( Cinta tuan Dokter yang posesif).
Reihan Darendra Atmaja, dokter muda yang terkenal begitu sangat ramah pada pasien namun tidak pada para bawahannya. Bawahannya mengenal ia sebagai Dokter yang arogan kecuali pada dua wanita yang begitu ia cintai yaitu Mimi dan Kakak perempuannya.
Hingga suatu hari ia dipertemukan dengan gadis barbar. Sifatnya yang arogan seakan tidak pernah ditakuti.
Yuk simak seperti apa kisah mereka!. Untuk kalian yang nunggu kelanjutannya kisah ini yuk merapat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novi Zoviza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Gagal pindah
"Jangan membantah Jessi," ujar Reihan menatap Jessi dengan tajam. Ia paling tidak suka ada yang membantah perintahnya. Gadis yang ada didepannya ini benar-benar keras kepala.
"Jika aku tidak mau?," tanya Jessi.
"Kamu harus mau," jawab Reihan mengungkung tubuh Jessi ke dinding dengan kedua tangannya.
Jessi menegang saat aroma tubuh Reihan menguasai indra penciumannya. Jarak mereka sangat dekat bahkan Jessi bisa merasakan hembusan nafas Reihan menerpa wajahnya.
"Kamu mau pria tadi kembali mengganggumu?. Sepertinya dia begitu terobsesi denganmu dan saya yakin dia pasti akan berbuat lebih dari tadi," ucap Reihan.
"Di sini keamanannya tinggi dan tidak sembarang orang bisa datang untuk bertamu," sambung Reihan lalu mundur ke belakang memberi jarak pada gadis itu. Ia tidak tahu kenapa ia bisa kelepasan seperti ini mendekati gadis itu dengan jarak yang sangat dekat. Jika ada orang yang melihatnya dari kejauhan mungkin mereka mengira mereka tengah berciuman.
Jessi menatap Reihan dengan tatapan tidak terbaca, Ia bingung dengan sikap Reihan padanya yang ia rasa sedikit berlebihan untuk dirinya yang hanya berstatus asisten pribadinya. Tapi apa yang dikatakan Reihan benar jika ia akan disini dari Rio yang terus mengejarnya. Bahkan beberapa menit yang lalu Rio mengirimkan pesan padanya jika ia akan melakukan apa saja untuk memilikinya dan membayangkan itu semua membuatnya bergidik ngeri.
"Baiklah saya akan tetap tinggal disini," jawab Jessi setelah menimbang semuanya.
Sebuah senyuman terbit dibibir Reihan tanpa disadari oleh Jessi."Good girl," ucap Reihan hampir tidak terdengar namun Jessi bisa mendengarnya karena jarak mereka yang masih dekat hanya berjarak beberapa sentimeter saja.
Jessi tersenyum canggung lalu mengangguk pelan. Gadis itu terlihat menghela nafas beratnya dan mengalihkan pandangannya kearah lain karena Reihan masih saja menatapnya.
"Ayo mampir dulu, Dokter," ucap Jessi saat teringat jika mereka saat ini berada di depan unit apartemen yang ia tempati.
Reihan mengangguk pelan dengan tatapan lurus pada Jessi. Namun tatapan mata itu terlihat datar dan dingin dan lebih terlihat Arogan.
Jessi menekan beberapa tombol kunci pintu apartemen dan tidak lama kemudian pintu apartemen terbuka. Jessi mempersilahkan Reihan untuk masuk meski sejujurnya ia tidak nyaman memasukkan pria kedalam hunian yang ia tempati. Tapi ia tidak mungkin menyuruh Reihan pulang sementara pemilik hunian ini adalah Reihan sendiri.
Jessi mempersilahkan Reihan untuk duduk di ruang tamu apartemen sementara itu ia sendiri langsung ke belakang menuju dapur untuk membuatkan Reihan minuman. Gadis itu memutuskan untuk membuatkan teh hangat untuk Reihan.
"Hanya ada ini," ucap Jessi menghidangkan teh hangat buatannya diatas meja yang ada di hadapan Reihan.
"Iya, tidak masalah," jawab Reihan menipiskan bibir tersenyum kecil pada Jessi. Tanpa sadari itu adalah senyuman pertamanya pada orang lain yang notabenenya orang lain yang bukan keluarganya. Selama ini ia jarang tersenyum kecuali pada pasiennya dan juga keluarganya. Dan ia adalah pertama kalinya ia tersenyum pada asistennya itu.
Sejenak Jessi terhipnotis oleh senyuman Reihan yang menurutnya sangat manis sekali bahkan sangat mempesona. Tapi ia buru-buru menepis pikirannya dengan mengalihkan pandangannya kearah lain. Setelahnya ia duduk di kursi tunggal tepatnya di sebelah kiri Reihan.
"Silahkan di minum Dokter," ucap Jessi yang benar-benar merasa canggung sekarang hanya berdiam dengan Reihan di apartemen ini.
Reihan mengangguk pelan lalu mengambil cangkir berisi teh hangat itu dan menyesapnya dengan pelan.
"Dokter... boleh saya memakai dapurnya untuk memasak?. Rencananya saya akan membuat makan untuk nasi kotak yang nantinya akan saya bagikan ke anak panti dalam rangka tujuh hari meninggalnya ibu saya," ucap Jessi dengan hati hati takutnya Reihan tidak mengizinkannya.
Reihan mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Jessi. Kenapa gadis ini malah meminta izinnya untuk memasak di sini."Tentu saja boleh. Kenapa kamu meminta izin sama saya. Apakah selama tinggal disini kamu tidak memasak?," tanya Reihan masih dengan kening berkerut.
Jessi menggeleng pelan, selama tinggal disini ia memang tidak pernah memasak. Untuk sarapan dan makan malamnya ia tinggal beli saja karena takut jika Reihan marah besar sudah menyentuh dapurnya.
"Mulai sekarang pakai saja dapurnya," ucap Reihan. Ia tidak ingin tahu alasan Jessi selama tinggal disini tidak menggunakan dapurnya untuk memasak. Ia rasa hanya buang-buang energi saja hanya untuk sekedar berbasa-basi dan itu bukan dirinya banget.
"Terimakasih Dokter," jawab Jessi dengan senyuman lebarnya. Tiga hari lagi bertepatan dengan tujuh hari meninggalnya sang ibu dan ia berencana untuk membagikan nasi kotak pada anak panti.
"Ya...," angguk Reihan.
"Oh ya besok saya ada seminar di luar kota, apakah kamu bisa ikut saya?," tanya Reihan. Ia memang memberikan cuti berkabung pada Jessi tapi ia akan sedikit keteteran jika pergi tanpa asistennya.
"Berangkat jam berapa Dokter?," jawab Jessi kembali bertanya.
"Jam 05:00 subuh karena acaranya akan dilangsungkan jam 09:00 pagi dan takutnya macet dijalan," jawab Reihan. Ia sedikit lega jika Jessi bersedia untuk ikut dirinya ke kota B.
"Baiklah," angguk Jessi. Ia lebih baik ikut Reihan ke luar kota dari pada berdiam diri di apartemen. Yang ada ia semakin larut dalam kesedihan.
"Saya akan menjemput kamu kesini nantinya," ucap Reihan.
"Terimakasih Dokter, apakah tidak merepotkan?. Atau nantinya kita bertemu di depan rumah sakit saja?," tanya Jessi.
"Tidak perlu, biar saya jemput kamu disini," jawab Reihan. Ia tidak mungkin membiarkan gadis itu keluar dari apartemennya jam lima subuh.
"Oke," jawab Jessi akhirnya. Atasannya ini ternyata memang tidak bisa dibantah jika sudah membuat keputusan.
***
Jessi tampak sudah rapi dengan pakaian kerjanya dan tidak lupa ia memakai sweater nya karena udara diluar pastinya masih dingin apalagi waktu masih menunjukkan pukul 04:55 subuh.
Jessi keluar dari apartemennya dan memutuskan untuk menunggu Reihan di basement apartemen. Ia memang sudah siap lima belas menit yang lalu dan ia tidak ingin merepotkan Reihan untuk menjemputnya kesini karena ia rasa tidak perlu.
Saat Jessi sampai di basement apartemen bertepatan dengan mobil yang di kendarai Reihan berhenti di parkiran khusus mobilnya. Reihan tampak turun menghampiri Jessi yang berdiri beberapa meter dari mobilnya.
"Ayo!," ujar Reihan kini dengan tatapan dinginnya.
Jessi menghela nafas panjangnya lalu mengikuti langkah Reihan menuju mobilnya. Terkadang ia tidak mengerti dengan sikap atasannya ini. Reihan terkadang bersikap dingin, kadang arogan dan terkadang juga ramah dan friendly. Pria ini sikapnya sangat sulit ditebak dan yang ia tahu dari Reska jika Reihan sulit untuk di dekati dan ia akui itu.
Jessi memasuki mobil Reihan dan duduk di sebelah pria itu. Sungguh saat ini rasanya ia sulit untuk bernafas karena benar benar gugup.
"Pria yang terobsesi denganmu mengikuti kita dari belakang," ucap Reihan melirik sekilas pada kaca spion mobilnya.
"Ha?"
...****************...