NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:946
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 29

Amina menekan napasnya saat dia melangkah perlahan ke dalam kamarnya. Pintu ditutup tanpa suara, dan dia langsung bersandar, menutup matanya sejenak. Jantungnya masih berdebar.

"Lorenzo pasti gak akan tinggal diam," pikirnya.

Matanya beralih ke jaketnya. Dengan gerakan cekatan, dia mengeluarkan dokumen-dokumen yang tadi berhasil dia selundupkan. Kertas itu terasa dingin di tangannya, seolah-olah menyimpan rahasia yang sudah terlalu lama terkubur.

Dia duduk di lantai, membentangkan lembaran-lembaran itu di atas meja kecil. Cahaya redup dari lampu meja menciptakan bayangan yang bergerak di permukaan dokumen, seakan menari-nari dengan isi pikirannya yang semakin penuh pertanyaan.

Nama-nama ini…

Beberapa di antaranya dikenal Amina sebagai anggota mafia biasa. Tapi yang lainnya? Tidak masuk akal. Ada nama dari lingkaran elite. Politisi. Pengusaha. Bahkan seseorang yang selama ini dianggap sebagai sosok netral dalam dunia kriminal.

"Jadi ini bukan cuma soal mafia," gumamnya.

Amina menyipitkan mata, mencari pola di antara daftar itu. Ada garis tipis yang menghubungkan mereka dengan sebuah peristiwa pembunuhan yang terjadi bertahun-tahun lalu. Kasus yang nyaris terlupakan.

Sebuah ketukan keras di pintu membuatnya tersentak.

Refleks, Amina mengumpulkan dokumen-dokumen itu dan menyelipkannya di bawah kasur. Napasnya masih belum stabil ketika dia berdiri dan berjalan ke pintu.

“Siapa?” tanyanya, mencoba terdengar santai.

“Buka.”

Suara itu… Alexander.

Amina menarik napas, lalu memutar kenop pintu. Begitu pintu terbuka, sosok tinggi dan berwibawa itu berdiri di depannya. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat bulu kuduk Amina meremang.

"Kita harus bicara," kata Alexander singkat, lalu melangkah masuk tanpa menunggu undangan.

Amina menutup pintu, lalu berbalik menghadapnya. “Tentang apa?”

Alexander menyelipkan tangannya ke dalam saku jasnya. "Kau tahu, aku selalu bisa mencium kebohongan dari jarak jauh."

Darah Amina terasa membeku. Tapi dia tidak menunjukkan reaksi. "Oh? Menarik. Apa yang membuatmu berpikir aku sedang berbohong?"

Alexander tersenyum tipis, tapi matanya tetap tajam. "Kau terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja tertangkap basah di lorong rahasia."

Sial.

Amina mengangkat bahu. "Aku bilang aku tersesat."

"Dan aku bilang aku tidak mudah percaya," balas Alexander, melangkah mendekat. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan, tapi memiliki tekanan yang cukup untuk membuat jantung Amina berdegup lebih kencang.

Mereka saling menatap. Amina bisa merasakan udara di ruangan ini semakin menegang.

Alexander mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu berkata pelan, "Kau bermain dengan api, Amina. Aku harap kau siap dengan akibatnya."

Amina menahan napas, tetapi tetap membalas tatapan itu tanpa gentar. "Aku selalu siap."

Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, Alexander melangkah mundur. Dia menghela napas pendek, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya—sebuah amplop.

"Ada hal yang lebih mendesak sekarang," katanya sambil meletakkan amplop itu di meja.

Amina melirik benda itu, lalu kembali menatap Alexander. "Apa ini?"

"Masalah besar."

Keesokan paginya, situasi di markas mafia berubah drastis.

Bisikan-bisikan memenuhi lorong-lorong. Orang-orang berkumpul dalam kelompok kecil, berbicara dengan suara pelan. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut yang tak kunjung hilang.

Amina berjalan melewati mereka, mencoba menangkap potongan-potongan percakapan.

“…gak ada yang nyangka…”

“…dibunuh dengan brutal…”

“…ini bukan kerjaan orang dalam…”

Amina mempercepat langkahnya menuju ruang pertemuan. Begitu dia masuk, pemandangan di depannya membuatnya terdiam.

Di tengah ruangan, terbujur mayat seorang pria. Darah masih segar menggenang di lantai, menciptakan bau anyir yang menusuk hidung. Tubuhnya penuh luka, seakan pembunuhnya ingin memastikan dia mati dengan cara paling menyakitkan.

Dan pria itu bukan sembarang orang.

Dia adalah salah satu orang kepercayaan Alexander.

Alexander berdiri di sisi ruangan, ekspresinya gelap. Lorenzo ada di dekatnya, wajahnya mengeras. Michael duduk di kursi, jari-jarinya mengetuk meja dengan irama lambat.

Amina melangkah lebih dekat, matanya menelusuri tubuh korban. Luka di dadanya dalam. Bukan hanya tikaman, tetapi lebih mirip eksekusi.

“Siapa yang menemukannya?” tanya Amina.

“Salah satu anak buahku,” jawab Alexander. “Dia ditemukan pagi ini, saat ruangan ini seharusnya kosong.”

Amina berlutut, memperhatikan luka-luka itu lebih detail.

“Ini bukan kerjaan orang biasa,” gumamnya.

Lorenzo menyilangkan tangan di dadanya. “Aku gak suka ini. Kita sudah cukup punya musuh di luar, sekarang ada pembunuh di dalam juga?”

Michael akhirnya berbicara, suaranya rendah. “Atau seseorang dari luar sedang mencoba mengacaukan kita dari dalam.”

Alexander menatap mayat itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Ini bukan hanya pembunuhan. Ini pesan."

Amina merasakan bulu kuduknya meremang.

"Apa maksudmu?" tanyanya.

Alexander menoleh, matanya berkilat dingin. "Orang ini bukan target sembarangan. Dia tahu sesuatu. Dan sekarang, dia dibungkam sebelum bisa berbicara."

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!