Rio seorang master chef yang menyukai seorang wanita penyuka sesama jenis
bagaimana perjuangan Rio akankah berhasil mengejar wanita yang Rio cintai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayunda nadhifa akmal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
aku di undang untuk suatu event di sebuah kota,aku dan beberapa team berangkat untuk mengikuti event masak itu.
kita menyusun masakan apa saja yang harus kami buat, tentu saja kami ingin merebut gelar juara di event masak itu.
Kami mulai memasak makanan special untuk di hidangkan di depan juri,suara wajan dan alat dapur lainnya tampak beradu.
Akhirnya kami bisa menyelesaikan tantangan ini dengan tepat waktu,dan finally kami menunggu keputusan para juri.
"bang Rio,kita menang nggak ya"ujar salah satu teamku.
"mudah mudahan saja"ujarku sambil menepuk nepuk bahu nya
Aku tidak ingin terlalu percaya diri dengan apa yang belum menjadi sebuah kepastian.
Detik detik para juri mengumumkan siapa juara di antara kami, hatiku begitu deg degan, jantungku serasa mau copot.
Akhirnya kami menjadi pemenang dalam event masak ini,aku dan team berpelukan erat.
POV REY
Sudah hampir setahun Rey tak bertemu Rio.
Ia selalu bilang pada teman-temannya bahwa ia baik-baik saja. Bahwa hidupnya berjalan seperti biasa. Bahwa ketidakhadiran Rio tidak membuatnya goyah. Tapi pada malam-malam sepi, saat lampu kamarnya satu-satunya cahaya yang hidup, Rey sering tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Selama ini ia selalu tampil tomboy—kaos longgar, celana jeans, dan sepatu sneakers yang ia pakai bertahun-tahun. Itu gaya yang nyaman, gaya yang ia kenal. Tapi kepergian Rio meninggalkan ruang kosong yang membuatnya bertanya:
“Aku ini siapa kalau tidak jadi Rey yang tomboy itu? Aku ini siapa kalau tidak ada yang mengenalku seperti dulu?”
Pertanyaan itu tidak dijawab dengan menangis. Tidak juga dengan marah. Pelan-pelan, jawaban itu muncul lewat hal-hal kecil… yang bahkan Rey sendiri awalnya tak menyadari.
Perubahan Pertama: Keinginannya Merawat Diri
Suatu pagi, setelah begadang karena shift bar, Rey melihat kantong matanya menghitam.
Ia menatap cermin dan menghela napas.
“Capek banget keliatannya, Rey…”
Tanpa sadar ia membeli krim mata saat belanja kebutuhan dapur.
Awalnya cuma iseng. Tapi malam itu ia memakainya.
Esoknya ia memakai lagi.
Dan lagi.
Untuk pertama kalinya, ia merasa merawat diri bukan sesuatu yang memalukan atau “nggak tomboy.”
Perubahan Kedua: Rambut
Rey biasanya membiarkan rambutnya pendek dan berantakan. Namun beberapa bulan terakhir, ia membiarkannya memanjang. Bukan niat sengaja—lebih karena ia sibuk dan lupa memotong.
Tapi suatu sore, ia menyadari rambutnya kini sudah menyentuh bahu.
Temannya, Nadya, yang bekerja sebagai pramusaji, terbelalak melihatnya.
“Rey… rambutmu bagus lho kalau dipanjangin.”
Rey menggeleng, malu.
“Terlalu ribet.”
“Coba diikat sedikit dari samping.”
Rey menurut.
Dan ketika melihat pantulan dirinya di kaca lemari bar—wajah dengan sedikit rambut jatuh di sisi pipi—ia tertegun.
“…cantik juga,” gumamnya lirih.
Bukan untuk Rio.
Bukan untuk siapa pun.
Tapi untuk dirinya.
Perubahan Ketiga: Pakaian
Ia mulai memilih kemeja hitam yang lebih pas badan, bukan yang kebesaran.
Kadang ia memakai gelang tipis yang ia temukan di toko murah.
Sepatu sneakers-nya diganti dengan model yang lebih ramping.
Semua kecil.
Semua sederhana.
Tapi setiap perubahan membuatnya merasa hidup lagi.
“Rey… kamu makin glowing sekarang,” komentar pelanggan bar.
Rey tersenyum kecil.
Dulu ia akan menyangkal atau merasa tidak nyaman.
Sekarang?
Ia hanya merasa… baik.
Perubahan Keempat: Hatinya
Perubahan fisik itu datang dari perubahan dalam dirinya.
Pada awalnya ia merasa kehilangan Rio seperti kehilangan arah.
Namun tanpa sadar, kehilangan itu membuatnya belajar berdiri lebih kuat.
Belajar mencintai dirinya sendiri.
Rey duduk di balkon apartemennya pada malam yang sunyi, memeluk kakinya sambil menatap langit kota.
“Kalau suatu saat aku ketemu Rio lagi… aku harap dia bisa lihat aku yang baru. Bukan karena aku berubah untuk dia. Tapi karena aku berubah untuk aku sendiri.”
Dan malam itu untuk pertama kalinya sejak lama, Rey tertidur dengan perasaan ringan.
Feminin bukan berarti menghilangkan sisi tomboy-nya.
Feminin hanya membuka bagian baru dari dirinya—yang selama ini tersembunyi.
Hujan rintik-rintik turun ketika Rey keluar dari kedaj kopi miliknya. Rambutnya yang kini sedikit panjang terikat rapi di belakang kepala, beberapa helai jatuh lembut di sisi wajahnya. Ia mengenakan kemeja hitam pas badan, parfum vanila tipis masih menempel di kulitnya.
Ia merapatkan jaket tipis dan berjalan cepat menuju minimarket yang masih buka. Malam itu ia ingin membeli air mineral sebelum pulang.
Bel pintu cling saat ia masuk.
Rey menunduk, menyibukkan diri memilih minuman, tidak sadar bahwa seseorang di ujung lorong sudah menatapnya sejak ia melangkah masuk.
Langkah itu seharusnya biasa.
Tapi detik berikutnya, suara yang sudah berbulan-bulan tak ia dengar memecah kesunyiannya.
“Rey?”
Rey membeku.
Suara itu…
Tidak mungkin.
Perlahan, ia menoleh.
Dan di sana—di depan rak mie instan—berdiri Rio.
Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir Rey ingat. Mata itu yang dulu menatapnya dengan hangat… sekarang tampak terkejut, seperti sedang melihat seseorang yang baru sama sekali.
Rio terpaku.
“…Rey?” ulangnya pelan, suaranya hampir bergetar.
Rey menelan ludah. Tangannya yang memegang botol air mineral bergetar sedikit.
“Hey,” ujarnya datar, tapi suaranya lebih lembut dari biasanya.
Rio mendekat beberapa langkah. Tatapannya turun dari wajah Rey, ke rambutnya yang kini lembut, ke bibirnya yang tampak lebih terawat, ke pakaian Rey yang begitu jauh berbeda dari dulu.
“Kamu…” Rio berhenti, mencari kata.
“…berubah.”
Rey tersenyum kecil, senyum yang jarang sekali Rio lihat.
“Aku cuma… mulai ngerawat diri.”
Rio terdiam lama.
Lalu matanya melembut, ada sesuatu yang berputar di sana—kaget, kagum, dan rindu yang tak bisa ia sembunyikan.
“Kamu cantik,” katanya akhirnya.
Rey menghela napas perlahan, menatap lantai sebentar.
“Aku nggak berubah buat kamu, Rio,” ucap Rey pelan namun tegas. “Aku berubah karena… aku akhirnya berusaha sayang sama diriku sendiri.”
Rio mengangguk pelan, seperti menerima kenyataan itu menusuk dadanya.
“Tapi tetap saja… aku senang melihat kamu seperti ini.”
Diam.
Hanya suara hujan di luar.
Rey menatapnya untuk pertama kalinya malam itu—benar-benar menatap.
“Kamu keliatan capek,” gumam Rey.
Rio tersenyum tipis.
“Aku kangen kamu.”
Rey membuang napas pendek—bukan kesal, tapi seperti menahan emosi yang tiba-tiba meluap naik.
“Aku juga kangen…”
Ia terhenti, mengepalkan tangan.
“…tapi waktu udah jalan lama, Rio.”
Rio melangkah lebih dekat, jarak mereka hanya setengah lengan.
Rey bisa mencium aroma kopi dari jaket Rio, aroma yang dulu sangat familiar.
“Rey,” panggilnya lembut.
Rey menatap mata itu—mata yang pernah ia hindari, mata yang pernah ia cari.
Untuk sesaat, dunia terasa diam.
Rio mengangkat tangan, ragu, seolah takut menyentuh sesuatu yang rapuh.
“Boleh… aku peluk kamu?”
Rey menatapnya lama, bibirnya bergetar halus.
Lalu ia mengangguk kecil.
Rio menariknya masuk ke dalam pelukannya—perlahan, hati-hati, seakan memeluk seseorang yang berbeda dari dulu.
Rey menutup mata. Dadanya terasa penuh. Entah hangat… entah sakit… entah rindu yang menumpuk terlalu lama.
Hujan semakin deras di luar, namun di antara rak minimarket itu, dunia berhenti sejenak.
Mereka akhirnya bertemu.
Dalam versi diri yang sudah berubah.
Dalam jarak hati yang tidak lagi sama.