NovelToon NovelToon
Tarian-tarian Wanita

Tarian-tarian Wanita

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Pada akhirnya dia terlihat menari dalam hidup ini. dia juga seperti kupu-kupu yang terbang mengepakkan sayapnya yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab akhir

Tumpukan busana itu menjadi kenangan masa laluku, menjadi hal yang tidak pernah terlupakan dalam hidupku.

Setelah aku mencari-cari bagaimana cara agar aku bisa bersikap biasa-biasa saja meski ada orang penting yang mati, tetap saja aku manusia; aku tidak akan bisa menyembunyikan perasaanku, tidak bisa juga bersikap seperti biasa, karena orang itu, salah satu bagian terpenting dalam hidupku pergi dan terlepas dari genggamanku.

Ketika ada beberapa orang asing datang ke sekolah, aku pikir ini akan menjadi sesuatu yang baik, sesuatu yang mengubah hidupku.

Saat mereka memilihku di antara beberapa penari di sekolah, aku merasa akan masuk dalam dunia yang baru, dunia yang mengantarkanku ke tahap kehidupan yang lainnya. Namun pada saat itu, aku masih ragu-ragu apa aku harus memberitahunya kepada ibu atau tidak.

Saat aku pulang, aku melihat ibu, datang bersama ayah. Aku belum siap sehingga ingin masuk, tapi ibu berlari mendekatiku.

Kulihat wajahnya lekat-lekat dan aku merasa kasihan dengannya. Ibu sedang sakit parah dan aku merasa tersiksa melihatnya seperti itu.

Kami bercakap-cakap dan aku kemudian memperlihatkan surat dari sekolah. Seperti yang aku bayangkan, ibu menolaknya. Aku merasa kecewa. Kemudian ibu menceritakan alasan kenapa dia melarangku menari dan kenapa aku tidak boleh pentas.

Ibu terlalu khawatir, ibu menganggapku sama seperti temannya. Aku kecewa dan mengatakan akan pulang menyusul.

Aku tidak pulang, tapi pergi ke rumah Mbok Ayu. Aku menjadi malu, tapi tidak punya pilihan.

“Sari ingin menginap?”

Aku mengangguk. “Apa boleh Mbok?”

“Tentu saja. Aku akan ada teman di sini. Silakan masuk.”

Mbok Ayu menyambutku dengan baik dan ramah.

Mulai sejak itu aku tinggal bersama Mbok Ayu.

Semuanya berjalan lancar, tapi Mbok Ayu mulai mempertanyakan mengapa aku pergi dari rumah. Aku mengatakan tidak menyukai ibu yang melarangku pentas, padahal itu adalah sesuatu yang sangat penting.

“Mbok, apa aku salah?” aku bertanya sembari menatap wajahnya lekat-lekat.

“Kita punya pendapat masing-masing. Mbok akan berbicara dengan ibumu.”

“Mbok kenal ibuku?”

“ya, kami teman masa kecil.”

“Benarkah?”

“Iya. Tenang saja semuanya akan baik-baik saja.”

Beberapa hari selanjutnya, Mbok Ayu menyuruhku pulang dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Aku bertanya apa dia sudah berbicara kepada ibu.

“Belum, tapi Mbok yakin, setelah mbok berbicara dengan ibumu, ibumu pasti memperbolehkannya.”

Aku mempercayai Mbok Ayu dan mulai mempersiapkan barang-barangku. Sebelum aku pulang, aku belajar menari beberapa jam hingga keringat meluncur dari dahiku. Aku senang belajar seperti itu dan kemudian berangkat memakai kebaya. Aku dengar ada piodalan di desa. Bersembahyang sebentar kemudian pulang. Aku membawa kunci cadangan rumah sehingga walaupun tidak ada orang di rumah, aku masih bisa masuk.

******

Selama sepuluh hari ke depan, aku merasa bahagia bersama ibu, tapi aku merasa sedih melihatnya semakin memburuk. Aku selalu menyarankannya untuk beristirahat yang cukup, tapi tetap saja semakin hari wajah ibu semakin pucat dan tubuhnya semakin lemah.

Ketika acara itu tiba, aku tidak memaksa ibu datang, tapi dia akan datang yang membuatku Senang.

Namun tidak pernah menyangka, itu adalah hari terakhirnya.

Aku merasa bahagia menari dengan penari lainnya. Kami menjadi pusat perhatian.

Ketika Tarian pertama di mulai, ibu belum datang dan aku percaya ibu atau ayah pasti datang. Aku tidak fokus dan terus mencari keberadaan mereka berdua. Hingga akhirnya melihatnya. Aku bahagia. Mata ibu dan aku bertemu dan kami sangat bahagia.

Aku menari dengan bangga dan melakukan apa saja yang bisa aku lakukan. Namun setelah tarian pertama selesai, aku melihat orang-orang mengerumuni di tempat ibu berada. Aku penasaran dan hatiku menjadi tidak baik. Kemudian aku lihat ayah membawa ibu tidak sadarkan diri pergi secepat mungkin. Aku ingin mengejar, tapi ada beberapa tarian lagi yang harus aku lakukan untuk menyelesaikannya. Aku dilanda bingung saat itu. Aku terpaksa menari dalam kesedihan dan kekhawatiran menyelimuti punggungku. Aku tidak fokus lagi menari dan semua khawatir kepada ibu keluar.

Teman-temanku bertanya mengapa aku terlihat gelisah, aku mengatakan tidak apa-apa.

Kemudian setelah semua selesai, tanpa berganti pakaian, aku pergi ke rumah sakit setelah menelepon ayah. Ada sesuatu yang terjadi setelah aku mendengar nada ayah. Itu seperti mengandung kesedihan yang mendalam.

Ketika aku tiba di rumah sakit bersama Mbok Ayu, ayah duduk di kursi. Wajahnya pucat dan menunduk. Melihatku datang, dia mengambil uang dari saku celananya. “Luh, belikan ibu kamen batik.”

Hatiku jatuh dan aku lagi-lagi merasakan kesedihan yang sama ketika kakek meninggal. Aku mengambil uang itu dan pergi dari sana. Mbok Ayu tidak berkata-kata dan diam di sana. Aku tahu dia pasti merasa kesedihan yang mendalam.

Ibu meninggalkan kami. Hanya itu yang terjadi.

Setelah kami membawa jenazahnya, sanak keluarga menyambut kami dengan penuh kesedihan. Ayah tidak menangis, tapi aku melihat matanya berkaca-kaca. Ayah berusaha tetap tegar tapi keadaan seperti itu mengguncang jiwanya. Nenek, paman ayah menangis. Namun yang paling terpukul dengan peristiwa itu, kakek, ayah ibu. Menangis kemudian pingsan, tidak kuat menyaksikan petugas ambulans mengeluarkan jenazah yang terselimuti kamen batik itu.

Jenazah ibu di tempatkan di kamar, aku dan ayah menjaganya. Kami tidak saling berkata-kata dan hanya ada kebisuan. Aku berusaha tidak menangis tapi tidak bisa. Aku hanya manusia biasa yang akan menangis ketika ada orang terdekat meninggal. Sementara ayah beberapa kali kudengar menghela nafas. Wajah dan matanya memerah. Ayah tidak melakukan apa pun selama beberapa jam.

Ketika jam enam malam, aku di suruh ayah untuk makan dan aku menjawab, “Ayah juga harus makan, ibu tidak akan senang melihat ayah seperti ini.”

Ayah tersenyum, itu bukan senyuman lembut ataupun kebahagiaan, itu adalah senyuman kesedihan.

“Ayah sebentar lagi akan makan.”

“Ayah harus janji.”

Ayah mengangguk.

“Baiklah aku makan dulu dan akan membawakan ayah makanan jika ayah tidak mau makan.”

“Tidak perlu.”

“Kenapa tidak? Ayah harus makan!!”

Aku makan dan membawakan ayah makanan.

Di luar banyak orang-orang desa datang menjenguk dan suasana di luar sangat ramai. Aku kembali masuk membawa makanan untuk ayah.

*******

Ketika metuuun, kami sekeluarga pergi ke berbagai tempat dan itu adalah percakapan aku dan ibu untuk terakhir kalinya. Roh ibu masuk ke tubuh seseorang dan mengatakan dia pergi dengan damai. Ibu juga mengatakan tidak perlu menangisinya, karena dia sudah baik-baik saja dan memerintahku untuk menikah. Tentu saja aku dan semuanya menerima pesan terakhirnya.

Tapi aku, ayah, nenek dan ayah ibu, tentu saja tidak merelakan kepergiannya dan mereka menangis tersedu-sedu.

Ibu hanya tersenyum dan aku memperhatikannya. Roh yang ada di tubuh itu benar-benar roh ibu. Ibu memiliki senyum yang menawan dan indah. Aku baru dapat memastikan itu roh itu ketika beberapa kali mengunjungi tempat.

Ketika pemandian jenazah, aku membelikan ibu kebaya merah muda, kamen batik, selendang kuning. Aku merias wajah ibu dengan pupur dan wajah itu terlihat lebih cantik, meletakkan kebaya, Kemen dan selendang di atasnya lalu orang-orang memuji kecantikan ibu. Itu adalah pujian terakhir orang-orang dan aku. Mbok Ayu memberikan ibu uang dan aku juga ikut memberikannya. Semoga ibu dapat berbelanja di surga nanti dengan uang itu.

Sementara ayah hanya terdiam menatap kecantikan ibu yang sudah di rias. Dia terpukul berat dan air matanya mulai menetes dan aku menarik tangannya. “Ayah, jangan menangis, ibu sudah pergi dengan tenang. Ayah harus tersenyum. Ibu tidak akan suka melihat ayah seperti ini.”

Ayah mengusap air matanya dan berusaha tersenyum.

“Seperti itu, baru kelihatan indah! Ibu akan senang melihatnya.”

Tubuh ibu kemudian di selimuti tikar lalu di ikat dan di masukkan ke dalam peti.

Ketika di sore hari, kami membawanya ke kuburan, memakamkannya. Walaupun aku berusaha menghibur orang-orang aku tidak bisa menghibur diriku sendiri.

Tiga hari selanjutnya di pagi hari yang cerah, kami berziarah dan mengucapkan doa kepada ibu. Aku berdoa semoga ibu bahagia di sana.

Dan waktu pun berlalu.

Tidak terasa sudah sepuluh tahun peristiwa itu terjadi dan sekarang aku sudah menikah. Ayah hidup bersama nenek dan ayah ibu, akhirnya meninggal dan aku mengambil warisannya.

Menatap busana itu beberapa saat, aku kemudian memasukkan ke dalam lemari.

Tidak beberapa lama suara langkah berlari terdengar kemudian suara itu semakin mendekat.

Sosok kecil memakai kebaya hijau itu datang. Bija di dahinya berhamburan dan nafasnya terengah-engah. Namun dia sangat lucu ketika melakukannya.

Dia kemudian melompat ke arahku dengan riangnya.

“Ibu! Ibu! Bunga tadi menonton pertunjukan tarian di pura. Kakak-kakak cantik itu menari dengan indah! Aku ingin seperti mereka, apa ibu bisa mengajarkannya?”

Aku tersenyum. “Setelah bunga tumbuh besar, ibu akan mengajarkannya. Di mana Nenek?”

“Terima kasih ibu! Bunga menyayangi ibu!” gadis cantik itu mencium pipiku. “Nenek di belakang menyusul. Nenek sangat lambat berjalan!”

Dia adalah anakku. Aku memberinya nama Ni Wayan Bunga Kumala Putri.

...----------------...

^^^Terima kasih untuk orang itu ^^^

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!