Hidup sebagai single parent tak membuat Risa kesulitan dalam membahagiakan putri semata wayangnya. Namun satu hal yang ia lupakan. Safira, putrinya, juga membutuhkan sosok lelaki yang di sebut ayah, yang meski ada tapi terasa tak ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon putrijawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Baru
Setelah acara pertunangan, Rendy lebih sering meluangkan waktu pada calon putri sambungnya itu. Seperti saat ini, dia meminta izin pada Risa untuk menjemput Safira ke sekolah. Dia ingin mengajak Safira membeli mainan untuknya dan Sakha.
Kedekatan mereka membuat semua orang yang melihatnya mengira kalau mereka adalah ayah dan anak kandung. Rendy yang sejak Safira kecil telah berada disekitarnya, membuat dia memahami bagaimana karakter gadis kecil itu. Sifatnya tak jauh beda dengan ibunya. Selalu ingin tahu dan mau mencoba hal - hal baru.
Rendy dan Safira telah berada ditoko mainan. Safira memilih mainan untuk Sakha terlebih dulu. Dia mengambil mobil - mobilan, lego dan beberapa karakter film marvel. Setelahnya dia menanyakan pada Rendy tentang mainan pilihannya untuk Sakha.
"Hem... Kayaknya apapun yang kamu pilih, Sakha pasti suka". Rendy kemudian memasukkam mainan yang dipilih Safira untuk Sakha kedalam keranjang kecil yang dibawanya. "Sekarang giliran Fira yang pilih mainan. Fira suka ini ?", tanya Rendy menunjuk boneka barbie yang berada tepat disampingnya.
Safira menatap boneka barbie tersebut lalu beralih pada Rendy. Wajahnya tampak datar dan sulit diartikan. Lalu dia menggeleng ragu. Rendy menautkan alisnya.
"Kenapa ? Bukannya anak perempuan suka sama boneka ini, ya ? Tante Lita aja sampek sekarang masih punya boneka kayak gini".
Safira tersenyum. "Justru itu, Pa. Tante Lita mau kasih Fia barbie. Jadi Papa gak perlu beliin barbie lagi buat Fia".
Rendy tercenung mendengat alasan Safira. Dia mulai menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Safira berjalan menelusuri toko mainan. Matanya terus mengamati setiap mainan yang terpajang di tempatnya.
'Boneka sudah terlewati. Peralatan masak memasak juga terlewati. Mainan dokter - dokteran juga lewat. Hah... Safira. Sepertinya kamu memang sebelas dua belas dengan Risa'. Batin Rendy sambil terus mengikuti langkah kecil milik Safira.
Rendy terus memutar otaknya untuk mencari mainan yang pas untuk Safira. Sepertinya calon anak sambungnya itu menyukai hal yang tak biasa. Rendy kemudian teringat sesuatu. Dia kemudian menggendong Safira yang bingung dengan apa yang diperbuatnya. Lalu Rendy membawa Safira ke tempat mainan yang menurutnya Safira akan menyukainya.
"Pasti kalo yang ini kamu suka", ucapnya sambil menghadapkan Safira ke berbagai macam mainan puzzle dan Lego.
Mata Safira berbinar. Senyumnya merekah melihat aneka mainan puzzle dan Lego. "Papa tau aja apa yang Fia mau", ucapnya dengan sangat menggemaskan. Dia mulai memilih puzzle dan Lego.
Setelah Safira mendapatkan mainannya, mereka kemudian ke kasir untuk membayar. Lalu Rendy membawa Safira ke rumah Kak Mira untuk menemui Sakha, keponakannya.
Dilain tempat, Risa mulai mengerjakan tugasnya. Memeriksa laporan keuangan dan beberapa bahan dapur yang ada di Kafe. Setelahnya dia kembali menuju Toko untuk melakukan hal serupa. Manda terus mengikutinya karena dia juga bisan jika dirumah sendiri.
Toko sudah mulai lenggang. Manda memperhatikan para karyawan yang sedang bersantai. Toko roti milik Risa sudah dalam nuansa baru. Mereka menyediakan kursi bagi pengunjung yang ingin menikmati langsung roti atau kue dengan ditemani kopi atau teh. Risa juga sudah memperluas tokonya agar bisa menampung beberapa pengunjung yang ingin bersantai, tanpa mengganggu pengunjung lain.
Mata Manda bersitatap dengan Alfin. Pria itu lalu tersenyum sambil menundukkan kepalanya pada Manda.
'Adiknya buk bos. Buat jantungku gak sehat aja', ucapnya dalam hati.
Dia terlihat seperti salah tingkah. Ini bukan kali pertamanya bertemu Manda. Dia sudah berkali - kali bertemu Manda tanpa sengaja. Namun, baru kali ini dia bisa menatap langsung wajah Manda. Sejak pertama bertemu, dia sudah merasakan hal yang aneh dihatinya. Rasa bahagia dan nyaman saat menatap wajah sendu milik Manda.
Sementara Manda, ada rasa yang tak dimengertinya menjalar di hati. Dia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Saat sekolah, dia menuruti ucapan Risa untuk fokus pada pelajaran agar bisa mendapat nilai bagus. Namun, otak Manda memang tak mampu menerima banyak tekanan dari pelajaran disekolah. Alhasil, dia hanya mendapat pringkat dua puluh besar disekolah.
Alfin yang sejak awal telah menaruh hati pada Manda, juga tak berani bersikap lebih. Dia sangat menghormati Risa yang selalu membantu keluarganya. Dia merasa tak mungkin baginya menggapai Manda yang seorang adik Bos ditempatnya bekerja. Mereka beda level.
"Jangan diliatin mulu, Fin. Disamperin. Biar gak penasaran". Pria itu terkejut saat mendengar suara Risa yang menyadarkan lamunannya.
"Eh, Ibu... Eh, maksudnya Mbak. Maaf mbak, saya ngelamun", ucapnya tergagap saat Risa memergokinya tengah menatap lekat sang adik.
Risa tersenyum melihat tingkah lucu karyawannya. "Udah gak ada yang perlu dianter kan ?"
"Udah kelar semua kok, Mbak", ucapnya cepat. Dia takut Risa menganggapnya berleha - lega sementara masih banyak pekerjaan yang menanti.
"Yaudah. Ayo duduk", ajak Risa pada karyawannya untuk bergabung di mejanya.
Alfin terkesiap dengan ajakkan bosnya. Dia terdiam sesaat sampai akhirnya Risa melambaikan tangan untuk menyadarkan lamunannya.
"Sini, Fin duduk. Kamu kok melamun terus sih ? Ada masalah ? Atau lagi sakit ? Wajah kamu pucet tuh", cecar Risa pada Alfin yang masih mematung.
"Eh, enggak Mbak Risa. Saya baik kok. Maaf mbak saya duduk ya", ucapnya sopan saat mulai memberanikan diri duduk di samping Risa.
Alfin sedikit kikuk berada di dekat Bos dan adiknya. Sesekali dia melirik Manda yang ternyata juga memperhatikannya. Kelakuan mereka tak luput dari perhatian Risa. Dia tahu apa yang kini dirasakan oleh Alfin. Tapi dia juga khawatir, jika adiknya malah tak membalas perasaan pria yang menjadi karyawannya itu.
Suasana toko sudah mulai sepi karena akan memasuki akhir waktu. Risa telah menceritakan pada Manda mengenai tokonya. Juga bercerita tentang perjuangan Alfin yang bekerja banting tulang untuk membiayai Ibu juga dua adiknya yang masih sekolah. Usianya sama seperti Zein. Dua puluh empat tahun. Ayahnya telah meninggal dunia sejaka dua tahun lalu. Baik keluarga Ayah maupun Ibunya tak ada yang mau tahu tentang kehidupan mereka. Seolah tutup mata dengan setiap kesusahan yang dialami keluarga Alfin.
Manda yang mendengar cerita Alfin sedikit tersentuh. Dia ingat bagaiman dulu Risa berjuang menyekolahkan Zein dan dirinya. Dan setelah memiliki Safira, kakaknya tetap membantu kedua orang tuanya membiayai sekolah mereka. Hampir mirip dengan perjuangan Risa.
"Kak, besok kakak masih mau ke toko lagi ?", tanya Manda saat mereka telah diperjalanan pulang.
"Mungkin iya. Bosen juga kalo harus dirumah terus. Safira pasti kalo udah pulang sekolah ke rumah Kak Mira atau ke rumah Rendy. Dia sekarang menomor sekiankan aku", ucap Risa sedikit kesal.
"Iyalah. Kamu sih, kalo dirumah kerjanya molor mulu. Bukannya merhatiin anaknya. Ngambek dia sama kamu". Sahut Manda yang malah memojokkan Risa. "Oh, iya kak. Kakak kapan fitting baju pengantinnya ? Trus udah cetak undangan belum ?".
Risa bergeming. Dirinya memang tak memikirkan tentang fitting baju ataupun kartu undangan. Toh, ini juga pernikahan keduanya. Jadi tak perlu banyak mengundang orang. Cukup keluarga terdekat saja pikirnya.
"Aku udah bilang sama Bapak dan Ibu, kalo pernikahanku cuma akad aja. Cuma keluarga terdekat aja yang diundang. Aku belum tanya ke Rendy maunya gimana. Kalo masalah baju pengantin. Aku masih punya satu gaun yang sama sekali belum pernah aku pakek. Rencana dulu aku beli itu buat acara launching Kafe. Tapi setelah aku pikir - pikir, itu terlalu mewah kalo cuma acara kayak gitu. Aku rasa kamu juga bakalan setuju samaku kalo udah liat gaunnya".
Manda tampak mengingat seperti apa gaun yang dimaksud Risa. Dia sama sekali tak mengingat ada gaun saat membuka lemari Risa saat mencarikan pakaian diacara pertunangan kemarin. Karena kalau dia melihatnya, sudah pasti gaun itu yang akan dipakaikannya pada Risa.
Mereka telah sampai dirumah. Risa sengaja membawa mobilnya lagi kerumah. Dia mulai mengabaikan cerita - cerita miring tentangnya. Biarkan saja mereka lelah bercerita dan beranggapan. Toh yang menjalani semua adalah Risa. Dan hanya Tuhan yang tahu tentang cerita yang sebenarnya. Membungkam banyak mulut orang sangat tidak mungkin. Yang perlu dilakukan adalah menutup telinga agar tak memdengat ocehan yang tak berfaedah.
saya masih penulis baru, yang butuh masukan dan motivasi dalam penulisan cerita saya.
Di penulisan selanjutnya saya akan mencoba lebih baik 🙏
trima kasih sudah setia membaca sampai akhir ☺️