Kevin Xander AdiJaya adalah cowok yang sangat susah mendapatkan kebahagiaan yang tulus dalam hidupnya. Kevin selalu di setir oleh papah angkatnya sehingga membuatnya menjadi sangat muak dan memutuskan untuk pergi dari rumah.
Namun Kevin masih bertahan sejauh ini karena ada satu wanita di hidupnya, yaitu Adara Syila Alterina. Namun Kevin selalu gengsi menunjukan perasaannya kepada Dara, jadi ia selalu mencari cara agar bisa ribut dengan Dara.
Sampai suatu hari ada sepasang suami istri yang mengaku sebagai orang tua kandung Kevin, siapakah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjemputan Kevin
Dara menunduk, wajahnya masih memerah. Tapi kali ini ia tidak lagi menghindar.
"Oke... gue coba."
Kevin tersenyum lega. "Gue pulang duluan, ya."
Biasanya Kevin selalu menebeng sepeda Dara, tapi hari ini ia memilih jalan kaki. Ia ingin memberi ruang pada Dara. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Dara baik-baik saja.
Namun baru beberapa langkah keluar dari gerbang sekolah, tiga pria berpakaian hitam menghampirinya. Postur mereka besar, wajahnya serius dan dingin.
"Kamu Kevin?" tanya salah satu dari mereka.
Kevin mengangguk, sedikit waspada,namun tetap santai.
"Pak Tomo menyuruh kami menjemput kamu. Kamu harus pulang sekarang."
Kevin mengerutkan dahi. "Nggak. Saya nggak mau pulang. Bilang aja ke dia."
"Ini perintah," sahut salah satu pria dengan nada keras.
Kevin menolak mundur. "Saya bilang nggak."
Dari kejauhan, Dara melihat Kevin sedang berbicara dengan tiga pria asing. Wajah mereka kaku, Kevin tampak bersitegang. Dara mulai panik, jantungnya berdebar tak karuan.
"Kevin..." gumamnya, matanya tak lepas dari kejadian itu.
Akhirnya, setelah perdebatan singkat, Kevin menyerah. Ia menghela napas panjang dan mengangguk. Ketiga pria itu menggiringnya menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di tepi jalan.
Dara hanya bisa menyaksikan dari jauh, tak mampu berbuat apa-apa. Ia menatap mobil itu melaju perlahan, membawa Kevin pergi entah ke mana.
Dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa.
‘Semoga kamu baik-baik saja, Kevin…’
*** Ternyata dugaan Kevin benar, ia di bawa oleh 3 preman itu ke kantor pak Tomo.
"Masuklah, pak Tomo sudah menunggu di ruangan nya." ucap salah satu orang suruhan pak Tomo itu.
Kevin pun langsung di giring masuk ke dalam hingga mencapai ruangan pak Tomo.
Pintu kayu berwarna coklat tua itu terbuka perlahan, menampakkan sosok Pak Tomo yang duduk di atas sofa hitam, kaki disilangkan, tangan bertumpu di atas lutut, dan tatapannya begitu dingin menembus jantung.
“Masuk,” ucap Pak Tomo, pendek dan tegas.
Kevin melangkah masuk tanpa suara, lalu duduk di sofa seberang, tepat di hadapan pria paruh baya itu. Tegang, tapi tetap berusaha tenang, meski jantungnya berdetak tak karuan.
“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu, Kevin?” tanya Pak Tomo dengan nada datar.
Kevin mengangguk pelan. “Aku bisa tebak. Tapi lebih baik papah jelaskan langsung.”
Pak Tomo menyipitkan mata, lalu menarik napas panjang. “Amira jatuh sakit.”
Kevin terdiam. Wajahnya berubah. “Mamah?”
“Dia sakit karena kamu pergi begitu saja. Sejak kamu tinggalkan rumah, dia seperti kehilangan semangat hidup. Tidak makan, tidak tidur... kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari kehilangan? Menjadi rumah bagi seseorang yang tidak pernah pulang.”
Kevin terhenyak. Kata-kata itu menampar batinnya. Meski Pak Tomo sering bersikap dingin bahkan kasar padanya, tapi Bu Amira selalu memperlakukannya dengan kasih sayang. Seperti anak kandung sendiri.
Namun Kevin menegakkan punggungnya. “Maaf pah, tapi aku tidak bisa pulang.”
Pak Tomo memijit pelipisnya, kemudian bersandar sambil menggeleng pelan. “Kamu keras kepala. Tapi dengar baik-baik, Kevin. Kalau kau terus bersikeras seperti ini, saya akan pastikan hidupmu tidak semudah yang kamu bayangkan. Saya bisa mempersulit sekolahmu, pekerjaanmu... semuanya.”
Kevin menatap Pak Tomo dalam-dalam. Tatapannya tak gentar. “Silakan, Pah. Tapi aku sudah memutuskan. Aku pergi bukan untuk menyakiti siapa pun, tapi karena aku perlu menjaga diriku sendiri.”
Tanpa menunggu respons, Kevin berdiri. Ia membalikkan badan dan melangkah keluar, meninggalkan Pak Tomo yang kini menatap punggungnya dengan mata menyala amarah.
Begitu berada di luar kantor, langkah Kevin mulai melambat. Wajah Bu Amira terbayang-bayang dalam pikirannya.
Perempuan itu... satu-satunya orang yang tulus menyayanginya di rumah itu. Dan kini... sedang sakit karenanya.
Tanpa ragu lagi, Kevin segera menyetop taksi di pinggir jalan. “Pak jalan terus, dan ikuti instruksi saya,” katanya pada sopir taksi, cepat dan mantap.
Perjalanan terasa begitu panjang. Hatinya diliputi kecemasan. Entah apa yang akan ia lihat nanti. Yang pasti, ia hanya ingin memastikan Bu Amira baik-baik saja.
Ia tahu, Pak Tomo sedang di kantor. Itu berarti Bu Amira sendirian di rumah. Ini kesempatan untuk bertemu tanpa gangguan.
Sesampainya di depan rumah, Kevin segera mengetuk pintu beberapa kali. “Mamah?” panggilnya. Tapi tak ada jawaban.
Ia mencoba memutar kenop pintu—tak terkunci. Pelan-pelan, ia melangkah masuk. Suasana rumah terasa sepi, dingin, seperti tak berpenghuni. Ia menyusuri ruang tamu, dapur, dan kamar Bu Amira, tapi semua kosong.
Hanya satu tempat yang belum ia periksa.... kamarnya sendiri. Dengan napas berat, Kevin berjalan ke arah pintu yang sudah lama tak ia sentuh. Namun, sebelum sempat mengetuk, ia mendengar sesuatu dari balik pintu itu.